Sebuah mobil taksi berhenti di depan gerbang yang terbalut tumbuhan merambat. Win berjalan lambat, remaja laki-laki yang menenteng keranjang berisi kelopak bunga itu melirik setiap nisan yang ia lewati tapi belum juga berhasil menemukan dimana tempat peristirahatan sang daddy.
Lalu, langkah Win terhenti tak jauh dari sebuah pohon rindang. Win tersenyum perih saat membaca rangkaian huruf di atas nisan yang akhirnya berhasil ditemukan letaknya.
Belum sempat Win meletakkan keranjang bunga yang ia bawa, air mata tiba-tiba mengalir di pipinya. Win tak bermaksud menampakkan kesedihannya di depan Mew, hanya saja kerinduan yang Win simpan berubah menjadi rasa sakit dalam dadanya.
"Maaf karena tak pernah menjenguk," batin Win penuh sesal pada gundukan tanah yang ditumbuhi rumput liar.
Win duduk tepat di samping makam Mew dan mulai mencabuti rumput liar seraya menahan isak. Win menganggap Mew sebagai hal yang paling berharga baginya, tetapi Win membiarkan tempat peristirahatan terakhir Mew berada dalam kondisi tak terawat.
"Daddy tidak rindu Win?" monolog Win yang mulai menaburkan kelopak bunga diatas makam Mew usai menyingkirkan rumput liar.
"Win baik-baik saja, hanya sedikit kesulitan karena daddy tidak ada." adu Win pada gundukan tanah di hadapannya.
Win mendongak menatap pohon yang menaungi makam sang daddy. "Disini sejuk, tidak bisakah Win tinggal dan menemani daddy?"
"Win." Win terdiam saat sebuah tangan menyentuh pundaknya. "Kenapa nomormu tidak bisa dihubungi?"
Win bangkit dan membersihkan butiran tanah yang melekat pada seragamnya. Remaja laki-laki itu menatap buket yang Gulf bawa dalam dekapannya, Gulf mengunjungi makam Mew? Sungguh?
"Kenapa kau terlambat? Papa sudah mengirim pesan, kan? Bangun lebih awal dan datang ke apartemen Paman Kao untuk mengambil seragam sekolah barumu, kenapa tidak menemui Papa?" tanya Gulf.
Win menatap datar wajah Gulf, apa Gulf sadar dengan yang ia katakan? Win yakin Gulf tidak buta, seharusnya Gulf melihat bahwa Win tengah mengenakan seragam sekolahnya sekarang, apa masalahnya?
"Kepala sekolah menelpon Papa, darimana kau dapatkan seragam ini?" tanya Gulf lagi. Win tak menemuinya untuk mengambil seragam, mustahil Win menebus seragam baru sementara Risak High School memiliki banyak proses yang perlu dilalui hanya demi sepasang seragam.
Win tak menjawab pertanyaan Gulf, tepatnya Win tak menganggap serius ucapan Papanya itu, yang terpenting untuk Win adalah dirinya telah memenuhi tugasnya untuk datang ke sekolah.
"Win, Papa menepati ucapan Papa untuk membawamu kembali ke tempat ini, dan kau sepakat untuk menuruti apa yang Papa katakan." gertak Gulf. "Kau memblokir nomor Papa?" tebak Gulf, Win tak mungkin mematikan smartphone miliknya.
"Itu hak ku, papa mengganggu konsentrasi belajarku jika terus menelpon." jawab Win.
"Win-"
"Aku tau, beritahu saja diri Papa untuk tidak mengusikku, satu-satunya hal yang mengganggu adalah Papa." sela Win sebelum meninggalkan Gulf begitu saja.
"Lihat? Putra kita sudah cukup dewasa untuk menentangku. Mew, keadaannya mungkin tak akan seburuk ini jika kau masih ada." ucap Gulf turut meletakkan bunga di atas gundukan tanah dihadapannya. Memangnya Gulf bisa apa? Win selalu membantah perkataan Gulf.
••• • •••
Langit mulai gelap, tetapi perjalanan Win dalam mengunjungi tempat yang ia rindukan belum usai.
Remaja laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah itu berdiri di depan bangunan yang lampunya menyala begitu terang. Win menadahkan tangannya saat rintik air mulai berjatuhan, ia kemudian mendongak dan membiarkan butir air mendarat di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENNUI 2 : PERFECT
Fanfiction"Kau selalu terobsesi dengan kesempurnaan, aku akan menunjukkan padamu apa itu sempurna." Kehidupan terkadang membuat manusia kalap, ambisi mereka untuk meraih kata sempurna membangkitkan keegoisan dalam jiwa. Tak akan ada kata sesal dalam hidup si...