EPILOG

366 86 53
                                    

Gulf duduk sendirian di ruang kerja toko furnitur miliknya. Sebuah meja kayu besar berada di tengah ruangan, dipenuhi dengan sketsa-sketsa furnitur yang belum selesai. Di dinding, terdapat berbagai foto hasil karya yang pernah ia buat dengan tangan dan pikirannya. Tapi semuanya terasa hampa. Semua hal yang pernah ia banggakan kini hanya menjadi pengingat betapa kosong hidupnya.

Di atas meja, ada foto keluarga yang sudah bertahun-tahun ia biarkan di sana. Sebuah kenangan yang selalu menghantui. Foto itu menunjukkan Gulf, Mew, dan Win, sebuah potret masa lalu yang tak lagi bisa ia gapai. Senyum mereka, terutama senyum Win, terasa begitu jauh sekarang.

Gulf menunduk, tangannya mengelus permukaan kayu yang ia desain sendiri. Begitu banyak kayu yang dibentuk, begitu banyak kehidupan sempurna yang ia bangun melalui furnitur yang dijualnya, namun keluarganya sendiri tak pernah berhasil ia bangun.

Penyesalan membanjiri dirinya, seperti setiap hari sejak Mew pergi. Win pun kini turut jauh darinya, memilih memihak Mew, meninggalkan Gulf sendirian. Ia telah kehilangan segalanya, bukan karena nasib buruk, melainkan karena kesalahannya sendiri, kesalahan yang ia ulangi berkali-kali tanpa peduli akan akibatnya.

Tiba-tiba, smartphone yang tergeletak di meja bergetar, suaranya menggema di dalam ruangan yang sepi. Gulf meraih smartphone itu dengan cepat, seakan berharap itu adalah sesuatu yang bisa mengubah hidupnya. Nama Mew muncul di layar, dan dadanya terasa berat.

Setelah menatap layar beberapa detik, Gulf menarik napas dalam dan mengangkat telepon itu. "Halo?"

Di ujung sana, terdengar suara Mew yang tak terduga datang begitu tiba-tiba. “Aku akan membawanya pergi,” ucap Mew, suaranya tenang namun ada sesuatu yang terasa berbeda.

Gulf mengerutkan kening, merasa ada yang tak beres. “Membawa siapa? Ke mana?”

Mew menghela napas panjang sebelum menjawab, “Win. Dia ingin pergi ke Rusia.”

Rusia? Gulf merasakan jantungnya berdegup kencang. Tempat yang begitu jauh, begitu asing. “Kenapa Rusia?” tanyanya dengan suara parau.

“Dia ingin memulai hidup baru di sana,” jawab Mew singkat. “Ini adalah permintaannya sendiri, Gulf. Aku sudah bicara panjang lebar dengannya, dan dia berpikir ini adalah yang terbaik untuknya. Aku tidak bisa menolaknya.”

Gulf duduk tegak, menahan rasa sakit yang tiba-tiba menusuk dadanya. “Tapi... kenapa sejauh itu? Apa kalian benar-benar harus pergi?”

“Win ingin menjauh dari semua ini. Dari kenangan yang menyakitkan, dari luka-luka yang sudah terlalu lama ia rasakan,” jawab Mew dengan nada serius. “Dia tidak membencimu lagi, Gulf. Tapi dia belum siap untuk benar-benar membangun hubungan lagi. Dia butuh waktu. Dan aku setuju dengan keputusan ini.”

Gulf hanya bisa terdiam. “Aku bisa bicara dengannya?” tanyanya, berharap bisa mendengar suara putranya, meski hanya sebentar.

Ada jeda yang panjang di telepon sebelum Mew akhirnya menjawab. “Gulf, Win tahu apa yang dia inginkan. Aku akan menyampaikan pesanmu padanya, tapi dia sudah membuat keputusan.”

Kata-kata Mew terasa seperti palu yang menghantam hati Gulf. Mew dan Win, satu-satunya keluarga yang pernah ia miliki, akan pergi jauh dari hidupnya. Jauh lebih jauh dari yang bisa ia jangkau. Mungkin mereka akan pergi untuk selamanya, tanpa pernah kembali.

“Kumohon, jaga dia baik-baik,” ucap Gulf, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku tidak bisa jauh dari dia, Mew.”

“Aku akan,” jawab Mew dengan nada lebih lembut. “Gulf... ini bukan akhir dari semuanya. Jika waktunya tiba, mungkin Win akan mencarimu lagi. Tapi untuk saat ini, beri dia ruang yang dia butuhkan.”

Panggilan itu berakhir, meninggalkan Gulf dalam keheningan yang lebih dalam dari sebelumnya. Para pekerja dan pegawai toko mulai meninggalkan ruangan. Gulf tetap duduk di sana, matanya terpaku pada foto keluarga di mejanya. Dia merasa hampa, seolah setiap hal yang pernah ia ciptakan tak lagi memiliki makna.

Penyesalan merayap seperti kabut, memenuhi setiap sudut pikirannya. Gulf sudah lama sadar akan kesalahannya, tapi setiap kali ia mencoba melupakan, bayangan masa lalu datang menghantui lebih kuat. Betapa bodohnya ia, memilih Kao dan memaksa Win untuk menyaksikan kehancuran keluarganya.

"Kalau saja..." gumamnya, tapi kata-kata itu tak pernah selesai. Tidak ada "kalau saja" yang bisa memperbaiki kesalahan yang telah diperbuatnya.

Gulf menatap ke luar jendela, melihat matahari yang semakin tenggelam di cakrawala. Di balik rasa sakit dan penyesalan, ada harapan kecil, walau samar, bahwa suatu hari, entah kapan, Win akan kembali mencarinya.

Namun untuk saat ini, yang tersisa hanyalah bayang-bayang masa lalu dan penyesalan yang terus merundung. Gulf menundukkan kepalanya, air mata perlahan mengalir di pipinya. Rasanya, semua yang pernah ia miliki telah lenyap, tapi di dalam hatinya, ia akan terus menunggu kesempatan yang mungkin tak pernah datang.

Di kejauhan, Win dan Mew mungkin sedang bersiap untuk perjalanan panjang mereka menuju Rusia. Sebuah tempat yang sangat jauh dari jangkauan Gulf, baik secara fisik maupun emosional.

"Papa menunggumu, nak," bisik Gulf pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara angin yang berhembus melalui celah-celah jendela. "Aku akan menunggu kalian, berapa lama pun itu."

••• • •••

Dengan segala penyesalan yang tertinggal, dan harapan yang samar di kejauhan, Gulf kini berada di persimpangan hidupnya. Semua yang pernah ia miliki telah pergi, meninggalkannya untuk menanggung kesalahan masa lalu.

Meski Win telah memilih jalannya sendiri, dan Mew telah menjalani takdirnya, Gulf tetap menanti dengan hati yang rapuh. Di balik setiap senja dan makan malam yang ia lewati sendirian, tersimpan sebuah penantian akan kesempatan ketiga yang mungkin tak akan pernah datang.

Perjalanan mereka telah mencapai akhir, namun jejak kenangan yang tertinggal akan terus hidup di dalam hati, membiarkannya merasakan bahwa tak semua cerita harus menemukan penutup yang sempurna.

Atas dasar ini, ENNUI kembali undur diri.




***

Maafkan setiap kesan buruk sepanjang alur.

ENNUI 2 : PERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang