"Aku tinggal di sini," ucap Alice memberitahu Mew. Gadis itu kembali tersenyum setelah Mew mengangguk.
"Nah," Mew mengulurkan tangan, memberi Alice kartu namanya. "Hubungi aku jika ada hal lain yang harus aku pertanggungjawabkan." sambung Mew setelah Alice menerima kartu nama yang ia berikan.
Alice termangu menatap kartu nama Mew. Tertulis nama Gavrie diatasnya, lalu pemilik Ilya Palace. Serius? Apa Mew sama seperti orang dewasa lain yang suka memamerkan diri?
"Terimakasih," ucap Alice turun dari mobil Mew.
Bruuum...
Alice berjalan pincang usai kepergian Mew. Setelah mengira Mew berbohong tentang identitasnya, rasanya Alice ingin melemparkan kartu nama pemberian Mew ke dalam tampat sampah.
Ceklek.
Diruang tamu, Kao yang duduk seraya menyilangkan kaki memperhatikan Alice yang melewatinya dengan wajah datar.
"Ada apa dengan kakimu?" tanya Kao setelah menyadari bahwa ada perban yang melilit lutut putrinya. Namun, Alice tak menghiraukan Kao sampai Kao menghampirinya.
"Sakit!" pekik Alice pada Kao yang menahan lengannya.
Suara Alice yang terdengar samar membuat Gulf meoleh ke arah pintu. Pria manis itu segera meletakkan kartu akses yang Mew berikan ke dalam buku agenda yang ia punya, menyimpan benda itu baik-baik sebelum meninggalkan ruang kerja untuk memeriksa keributan yang terjadi.
"Darimana kau dapat luka itu? Berhenti main ice skating jika kau tidak bisa menjaga dirimu! Tidak ada gunanya."
Alice menepis tangan Kao dengan penuh amarah. "Ini terjadi karena daddy tidak menjemputku, daddy memintaku menunggu tapi daddy tidak datang. Mungkin jika aku mati tertabrak mobil hari ini, daddy tidak akan tau."
"Ada apa? Sayang, ada apa dengan kakimu?" tanya Gulf seraya menghampiri Alice.
"Kenapa tidak gunakan taksi jika daddy tidak menjemput?" tanya Kao pelan.
"Aku tidak akan menunggu jika daddy tidak mengirim pesan padaku." balas Alice acuh. Kao tidak pernah menyadari setiap kali Alice mencoba untuk patuh, pada akhirnya Alice hanya disalahkan.
"Sudah diobati atau belum, papa akan telpon dokter."
"Tidak usah, aku sudah pergi ke rumah sakit." Alice melanjutkan langkah pincang nya menuju kamar.
Brak!
Gulf sedikit terperanjat saat Alice membanting pintu. "Kao, cobalah untuk mengerti putrimu, jangan membuatnya kesal." ucap Gulf pelan.
Tak serumit keadaan di luar, Win tampak tenang di dalam kamarnya. Ia yang biasa duduk tegap di meja belajar, kini duduk bersila di atas kasur. Win sengaja mematikan lampu kamarnya, agar ia dapat melihat cahaya bintang dengan lebih jelas. Raut wajah tegangnya tampak jelas tersorot cahaya layar smartphone.
Dreeet...
Win membuka lebar matanya untuk membaca dengan seksama e-mail yang ia terima. Lalu, kedua sudut bibir Win trangkat mengukir senyum lebar hingga menampakkan sepasang gigi kelinci yang dari dulu tampak menggemaskan.
"Yes!" seru Win, ia tak kuasa menahan kesenangan setelah tau dirinya lulus pretes. Win melempar smartphone miliknya ke sembarang arah, beralih untuk meraih foto Mew yang terletak di atas meja kecil tak jauh dari ranjangnya.
"Daddy, Win lulus." Win berucap pada foto yang ia genggam ditangannya. Sayang sekali, Win hanya bisa berbagi kebahagiaan dengan gambar diatas kertas.
Win merebahkan diri diatas kasur, mengangkat tinggi-tinggi foto Mew yang tak dapat ia alihkan dari pandangannya. Rindu, Win tidak tau sebesar apa rindunya pada Mew. Hanya saja, Win merasa sangat sesak setiap kali mengingat rindu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENNUI 2 : PERFECT
Fanfiction"Kau selalu terobsesi dengan kesempurnaan, aku akan menunjukkan padamu apa itu sempurna." Kehidupan terkadang membuat manusia kalap, ambisi mereka untuk meraih kata sempurna membangkitkan keegoisan dalam jiwa. Tak akan ada kata sesal dalam hidup si...