Di dalam ruangan luas yang telah resmi menjadi kamar Win, Mew menggenggam erat tangan Win sejak dokter mulai melakukan perawatan atas luka Win.
"Sudah selesai?" tanya Mew pada dokter yang baru saja menutup kotak P3K setelah selesai membalut luka Win.
"Tampaknya kau sering mendapatkan luka?" tanya dokter itu dibarengi dengan tawa kecil.
"Yang ini sudah lama, bekasnya sulit hilang," jawab Win memperhatikan pergelangan tangannya.
"Harap sedikit lebih berhati-hati, kau tidak bisa mendapatkan luka terus menerus di tanganmu," tegur si dokter.
"Aku tidak akan terluka lagi, daddy tidak akan membiarkan itu," jawaban Win yang begitu yakin membuat Mew dan si dokter menahan tawa. Win sudah cukup besar sekarang saat Mew memegang tangan putranya itu, tapi tetap saja ia masih anak-anak yang menggemaskan bagi Mew.
"Saya akan kembali jika waktunya mengganti perban. Jika memungkinkan, harap jangan gunakan tanganmu terlalu sering untuk beberapa hari kedepan," saran si dokter sebelum berpamitan.
"Sakit tidak?" tanya Mew pada putranya. Win menggeleng, sebenarnya luka itu sudah tidak terlalu sakit sejak pertama Win mendapatkannya.
"Beritahu daddy jika sakit, oke?" pinta Mew menatap wajah putranya.
Win menatap tangan Mew yang menggenggam tangannya, sentuhan itu masih terasa seperti mimpi bagi Win.
"Bagaimana dengan daddy? Apa daddy tidak sakit?" Win melontarkan pertanyaan setelah melihat bekas luka di punggung tangan Mew.
"Ini?" tanya Mew menutupi tangannya yang sejak tadi diperhatikan oleh Win. "Ini hanya bekas luka, tidak sakit sama sekali."
"Jika saat itu Win tidak marah pada daddy dan tidak meminta daddy untuk segera berpisah dengan papa, apa kecelakaan itu mungkin tidak terjadi?" tanya Win pelan.
Win tidak pernah melupakan segalanya di masa itu, bagaimana keegoisan dirinya yang terus membuat Mew merasa tertekan. Win membenci Mew dan marah padanya, bahkan menuduh Mew yang meninggalkan keluarga mereka. Bahkan saat Win tau kalau Gulf adalah satu-satunya orang yang bersalah, Win membiarkan Mew untuk tidak mengetahui apapun yang secara tidak langsung ia mendukung kesalahan Gulf. Saat Win tidak tau apakah Mew mampu untuk mengakhiri semuanya, Win menekan Mew untuk meninggalkan Gulf.
"Jika Win tidak memaksa daddy untuk berpisah dengan papa, padahal Win tau daddy mungkin tidak bisa, apa kecelakaan itu tidak akan terjadi? Win yang membebani pikiran daddy, kan?" tanya Win lagi.
Mew menggeleng pelan seraya mengeratkan genggamannya pada tangan sang putra. "Semua ini tidak ada kaitannya dengan itu. Daddy terlalu sibuk dengan pekerjaan saat itu, salah daddy karena tidak memperhatikan sekitar, karena daddy lalai, bukan salah Win," jelas Mew pelan.
"Daddy hanya tidak ingin Win merasa bersalah, kan?"
"Kenapa berpikir begitu? Bagaiman? Ingin daddy ceritakan dari awal?" tawar Mew mengalihkan pembicaraan.
Win mengangguk, itulah yang ia tunggu sejak awal.
"Sebelum kecelakaan itu, daddy memang memikirkan tentang perceraian. Jadi, daddy bicara dengan teman daddy, dia seorang pengacara. Perceraian tidak semudah yang daddy pikirkan diluar apakah daddy bisa hidup tanpa papa, karena antara papa dan daddy, hanya ada satu yang bisa mendapatkan hak asuh. Itu sebabnya daddy tidak bisa cepat memenuhi keinginan Win untuk meninggalkan papa," jelas Mew pelan dengan harapan agar putranya bisa mengerti keadaan saat itu, bahwa Mew tidak memikirkan perasaannya sendiri.
"Kecelakaan itu, daddy tidak terlalu ingat setelah truk besar menghantam mobil yang daddy kendarai. Tapi saat daddy membuka mata, dokter mengatakan kalau seseorang yang terlibat kecelakaan itu tewas."
KAMU SEDANG MEMBACA
ENNUI 2 : PERFECT
Fanfiction"Kau selalu terobsesi dengan kesempurnaan, aku akan menunjukkan padamu apa itu sempurna." Kehidupan terkadang membuat manusia kalap, ambisi mereka untuk meraih kata sempurna membangkitkan keegoisan dalam jiwa. Tak akan ada kata sesal dalam hidup si...