Kao berdiri di depan pintu kamar putrinya, hampir sepanjang malam ia mengetuk pintu dan tidak ada respon dari putrinya itu.
Hingga saat Alice keluar kamar setelah siap dengan seragam sekolahnya, Alice mengabaikan Kao yang tersenyum hangat kepadamya.
"Alice, sudah siap? Ayo sarapan, lalu daddy antar ke sekolah." Alice melepaskan tangannya dari genggaman Kao, wajah gadis itu datar tanpa ekspresi, kakinya melangkah melewati meja makan tanpa melirik apa yang mungkin sudah Kao siapkan untuknya.
"Tidak apa-apa kalau Alice tidak mau sarapan, tapi pastikan Alice makan dengan baik di sekolah, oke?" nasihat Kao ketika membukakan pintu mobil untuk putrinya.
"Dimana Win?" tanya Kao sebelum mereka berangkat.
"Dimana lagi? Dia pasti sudah berangkat. Dia sudi berbarengan dengan kita karena papa terus memaksanya. Papa sudah tidak bicara lagi, Win bebas sekarang."
"Alice, Alice pasti dengar perdebatan tadi malam diantara papa dan daddy, kan? Jangan salah paham daddy bisa jelaskan."
"Alice tidak mau dengar, juga tidak peduli. Sudah Alice katakan daddy harus berbaikan dengan papa apapun yang terjadi. Alice tidak mau kehilangan papa."
"Kenapa berpikir sampai sejauh itu? Kau tidak akan kehilangan siapapun, papa atau saudara, tidak akan," kau mencoba meyakinkan putrinya sekuat yang ia bisa.
"Tapi papa sudah membenci daddy. Mana yang harus Alice percaya? Pecahan kaca tadi malam atau ucapan daddy sekarang?"
Alice tak mendapatkan sedikitpun jawaban hingga mereka tiba di Risak High School, Alice sudah menduga ini, mungkin apa yang Gulf katakan tentang Kao benar, bahwa Kao mengkhianati keluarga mereka.
"Jangan lupakan ulang tahun papa hari ini, daddy harus pulang lebih awal. Jika daddy buat kesalahan lagi ..., jika daddy kehilangan papa maka daddy juga akan kehilangan Alice. Alice tidak bercanda saat Alice bilang tidak ingin kehilangan sosok bunda."
Kao memejamkan mata setelah Alice pergi dengan membanting pintu mobil. Kao sangat lelah didalam pikirannya, terlalu banyak beban dan tidak ada yang bisa membantu atau sekedar mendengarkan. Kao tau ini salahnya, tapi kenapa semua masalah itu datang bersamaan?
Kao menuju ke kantornya, bagunan yang dulu selalu diagung-agungkan itu kini terlihat lebih sepi, ada lebih banyak tumpukan surat pengunduran diri di atas meja kerjanya dan investor semain gencar menuntut ganti rugi.
"Aku bisa gila," keluh Kao memeriksa satu per satu surat pengunduran diri.
Kao berjalan meninggalkan perusahaannya, sejenak ia tatap tempat itu, tempat yang ia bangun dan kembangkan susah payah selama bertahun-tahun, dan hancur hanya dalam beberapa hari?
Kao hampir menaiki mobilnya, jika ia tidak melihat Up yang tampak kesulitan di seberang jalan. Pria yang kemarin ia peluk penuh sesak itu kini tengah berjalan tertatih memegangi perutnya seraya bertumpuan pada dinding sebuah toko.
Kao benar-benar tak ingin memperkeruh masalahnya dengan Gulf, tapi Up yang beberapa kali hampir terjatuh membuatnya tak bisa menahan diri.
Kao menyebrang jalan dengan tergesa-gesa, menghampiri Up secepat yang ia bisa.
Up terkejut saat Kao tiba-tiba menopang tubuhnya dan membantunya duduk di sebuah kursi tak jauh dari tempat mereka sekarang.
"Kau sakit?" tanya Kao seraya berjongkok di hadapan Up.
"Tidak," jawab Up singkat.
"Bukankah sudah ku katakan? Hubungi aku jika kau dalam masalah, kenapa kau tidak melakukannya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ENNUI 2 : PERFECT
Fanfiction"Kau selalu terobsesi dengan kesempurnaan, aku akan menunjukkan padamu apa itu sempurna." Kehidupan terkadang membuat manusia kalap, ambisi mereka untuk meraih kata sempurna membangkitkan keegoisan dalam jiwa. Tak akan ada kata sesal dalam hidup si...