Hampir satu jam lamanya Mew berdiri menatap sang putra yang terbaring tak sadarkan diri di atas brankar. Gips yang terpasang di kaki Win membuat Mew semakin menyalahkan diri sendiri. Sampai kapan ia akan lengan dan membuat putranya menjerit meminta pertolongan.
"Tuan," Up menyapa lirih tuanya yang mematung sejak lama, "Anda benar, Gulf memang berada di rumah rumah sakit tempat Alice dirawat," sambung Up pelan.
Mew diam, tak memberi Up jawaban.
"Tuan, Vito ingin menemui Anda untuk menyerahkan berkas."
"Up," Mew akhirnya membuka suara dan mulai mengusap gusar wajahnya. "Apa kau tidak melihat keadaan Win sekarang?" tanya Mew.
Terlalu banyak kekhawatiran bagi Mew untuk saat ini, kepada Win, dan keadaan hubungan mereka setelah Win sadar nanti. Mew dengan jelas mengingat bagaimana ia mengatakan kepada Win untuk berhenti berada di pihak Gulf, ia bahkan menyebut Gulf dengan sebutan bajingan di hadapan Win.
Mew tau apa yang ia lakukan tanpa berpikir tiga kali itu dapat mempengaruhi pandangan Win terhadapnya. Namun apa boleh buat? Mew tak bisa menahan diri. Kekesalan Mew kian memuncak melihat Win menangis khawatir untuk Gulf yang bahkan meninggalkan kompor dalam keadaan api menyala. Terlebih ketika Mew tau Gulf yang membuat Win cidera akibat kelalaiannya memberi obat.
Kenapa Win harus menempuh jalan menyedihkan seperti sekarang? Tetap saja Mew tidak bisa berbuat banyak, sejak awal Win yang memilih untuk bertahan bersama Gulf. Mew hanya menyalahkan dirinya yang tak memeriksa keadaan putranya setelah berjanji untuk melindunginya.
"Maaf, Tuan. Kalau begitu saya akan memberitahu Vito untuk membatalkan berkasnya sekali lagi."
"Tarik juga juga berkas dari toko furnitur. Aku tidak memerlukan tanda tangan Gulf lagi."
"Berkas apa?" suara serak terdengar dari Win yang baru membuka mata.
"Win sudah sadar?" Mew segera mendekati Win dan memberinya segelas air putih untuk sekedar membasahi tenggorokan yang kering.
"Bagaimana keadaan Papa?" tanya Win, "Papa baik-baik saja, kan?"
Mew mengangguk, tak sanggup mengucapkan kata. Bahkan dibandingkan keadaannya sendiri, Win masih lebih mengkhawatirkan Gulf.
"Jadi, di mana Papa sekarang?"
Mew tetap diam, lagipula bagaimana ia akan mengatakan kalau Gulf sedang berada dengan Alice sekarang?
"Daddy bohong, kan?" tanya Win lagi. "Kalau Papa baik-baik saja, daddy tidak mungkin berada di sini sekarang. Kak Up, di mana papaku? Kau tau di malam dia, kan?"
Up menunduk, tak berani menjawab pertanyaan Win dengan mendahului Mew.
"Apa daddy sangat membenci papa?" tanya Win tiba-tiba.
Mew merasa seperti lehernya sedang dicekik, seakan Win akan tetap kecewa padanya meskipun Mew menjawab "iya" atau "tidak"?
"Berkas apapun yang daddy ku minta untuk kau menariknya, jangan lakukan. Beritahu juga temanmu itu," Win memerintah Up, membuat Up kembali mengangkat wajah.
"Up, tinggalkan kami berdua," pinta Mew.
"Saat kau keluar, jangan lupa melakukan yang aku minta," Win mengingatkan.
"Win, daddy tau daddy salah bicara sebelumnya, daddy minta maaf. Cukup. Tenang dan istirahatlah."
"Win mendengarkan sebelum Win membuka mata. Berkas apapun itu, jangan tarik, daddy," Win mengulangi kalimatnya.
"Apa yang Win dengar?" tanya Mew.
"Papa berada di rumah sakit tempat Alice dirawat," Win tersenyum tipis sembari menatap Mew.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENNUI 2 : PERFECT
Fanfiction"Kau selalu terobsesi dengan kesempurnaan, aku akan menunjukkan padamu apa itu sempurna." Kehidupan terkadang membuat manusia kalap, ambisi mereka untuk meraih kata sempurna membangkitkan keegoisan dalam jiwa. Tak akan ada kata sesal dalam hidup si...