Di ruang tamu, Kao duduk ditemani pencahayaan yang remang. Raut wajahnya berubah setelah pintu rumah mereka terbuka dan menampakkan sosok Gulf yang terlihat lesu.
"Kau sudah pulang?" pertanyaan Kao memperlambat gerakan Gulf.
"Kenapa?" Kao menahan lengan Gulf, khawatir dengan mata sembab pasangannya. "Aku tau, aku tidak akan menganggumu jika kau perlu waktu sendiri. Aku hanya ingin minta maaf, perkataanku berlebihan."
"Sebenarnya aku sangat tidak ingin membahas ini, tapi aku harap kau ingat janjimu sebelum kita menikah." Gulf mengingatkan Kao, jika saja yang berdiri di hadapannya adalah Mew, mungkin Gulf tak perlu mengingatkan janji yang diucapkan padanya.
"Aku minta maaf, Gulf."
"Kau bilang tidak akan menggangguku karena aku perlu waktu untuk sendiri, kan? Jadi biarkan aku pergi, aku lelah." Gulf melirik tangannya yang digenggam oleh Kao, mengisyaratkan agar Kao segera menjauhkan tangannya dari Gulf.
"Gulf, apa kau merasa kalau sesuatu di antara kita mulai berubah setelah kita kembali ke tempat ini?" tanya Kao sebelum Gulf melangkah menjauh darinya.
Gulf kembali balik badan untuk menatap Kao.
"Bukan hanya kita, tapi anak-anak juga."
"Semuanya sama saja menurutku." jawab Gulf jengah.
"Kita sangat renggang, komunikasi, bahkan tidak sempat makan malam bersama, kau lebih keras pada Win dan-"
"Kalau masalah itu kau tanyakan saja pada dirimu sendiri, apa kau pernah menghubungiku jika akan pulang terlambat? Apa kau ada di rumah ketika waktunya makan malam? Kau selalu tidak punya waktu untuk menjemput putrimu, dan kau tidak memberitahuku, entah apa alasanmu. Apa kau tidak bisa mempercayakan putrimu padaku? Kau masih tidak bisa menganggap aku layak untuk membesarkan Alice bersamamu, atau bagaimana?"
Kao menghela napas, lagi-lagi bicaranya mengundang kesalahpahaman bagi Gulf.
"Aku berusaha untuk merobohkan dinding yang Win bangun untuk menjaga jarak darimu dan putrimu, Kao, tapi kau bilang aku kasar? Sekali saja berkacalah, caramu menjaga putrimu juga tidak sesempurna bayanganmu. Demi Tuhan, aku sangat lelah, jangan mengajakku berdebat."
Win melepaskan earpod-nya, keributan di luar menembus irama musik yang ia putar dengan volume full, mengusik konsentrasinya dalam berusaha menggerakkan tangan menyalin tulisan yang harus dikumpulkan besok.
Kesempurnaan apa yang sebenarnya Gulf cari? Bahkan setelah menghancurkan Win dengan mengorbankan keluarga kecil mereka, Gulf masih tak bahagia dengan pilihan barunya? Seakan hidup orang yang ia hancurkan demi kesempurnaan itu tak berarti.
"Ayolah Win," ucap Win menyemangati dirinya sendiri. Tengah malam hampir berlalu, dan Win masih tak bisa menggunakan tangannya dengan leluasa. Daripada rasa sakit, Win lebih takut tidak bisa mendapatkan nilai sempurna.
Win menarik napas panjang sebelum memgambik keputusan besar. Ia menatap yakin pulpen yang ia pegang dan mengeratkan genggamannya, mengindahkan rasa ngilu.
Win terus menulis, hingga perban yang membalut tangannya perlahan berubah merah. Sesekali Win menarik beberapa lembar tisu untuk menahan darah yang keluar agar tidak mengenai bukunya.
Lagi dan terus menerus, hingga wajah pucat Win mengukirkan seulas senyum, catatannya selesai, dan tisu bernoda darah berserakan di lantainya.
Win duduk di lantai setelah mengambil kotak P3K, ia kesampingkan tisu-tisu yang berserakan dan mulai membuka perban yang membalut lengannya.
"Ini tidak sakit, buktinya aku bisa menahannya sampai tugasku selesai," gumam Win seraya membersihkan darah pada lukanya.
Win merapikan kembali semuanya setelah selesai mengganti perban. Mungkin hanya tersisa sedikit waktu sampai matahari terbit, tapi Win akan tidur. Walaupun tidak bisa istirahat, setidaknya Win bisa memejamkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENNUI 2 : PERFECT
Фанфик"Kau selalu terobsesi dengan kesempurnaan, aku akan menunjukkan padamu apa itu sempurna." Kehidupan terkadang membuat manusia kalap, ambisi mereka untuk meraih kata sempurna membangkitkan keegoisan dalam jiwa. Tak akan ada kata sesal dalam hidup si...