Zero

1.1K 16 1
                                    

Hai, aku Erine Rose Defina, putri dari pasangan bernama Santi dan Adi. Aku tinggal disebuah desa kecil yang masih subur dengan sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani . Tidak ada yang spesial dariku, aku tidak cantik, aku tidak tinggi, tinggiku hanya sekitar 152 cm saja, aku juga bukan siswa yang tergolong pintar.

Aku hanya wanita biasa-biasa saja, yang sangat jauh dari sempurna. Aku begitu banyak kekurangan. Aku bisa saja berbuat salah dan bersikap menyebalkan.

Saat ini aku sedang menantikan kelulusanku, ya aku sudah menyelesaikan ujian nasional dan ujian lainnya di SMA ku. Sebuah SMAN biasa di sebuah kecamatan dekat tempat tinggalku. Bukan SMA favorit, hanya saja untuk mempertahankan nilai tetap baik dan tidak terpaut jauh dari teman-temanku disekolah dengan masuk kelas unggulan sudah sangat bersyukur bagiku. Sudah aku bilang kan bahwa aku tidak pintar?

"Er, bengong aja. Beneran gak ingin kuliah ambil SNPTN nih atau SBMPTN?"

Aku tersenyum miris menanggapi Nana teman sebangkuku dan sudah lumayan dekat denganku karna kita dua tahun duduk sebangku.

"Gak PD aku Na, nilai raportku naik turun."

"SBMPTN aja, yuk coba yuk. Siapa tau tebak-tebak berhadiah. Aku pengen masuk Universitas Brawijaya. Aku kalau liat alumni pake almamater UB tuh kaya keren aja gitu"
Kata Nana dengan mata berbinar-binar.

"Universitas Brawijaya ya? Keren sih emang kampusnya, tapi dari kating terkenal tidak mau diduakan, sulit masuknya dan mahal itu?"

Nana tertawa menanggapi pertanyaanku, entah apa yang membuatnya tertawa terbahak-bahak. Padahal menurutku pertanyaanku wajar dan tidak mengandung unsur lucu.

"Er kamu tau mas Sugeng? Mantan bendahara OSIS tahun lalu? Yang suka godain kamu di ekstra PMR dulu"

"Iya tau"

"Dia jalur SBMPTN di UB, dia dari IPA tapi ambil jalur tes karna ingin masuk Fakultas Ilmu Administrasi. Katanya sih dia gak ada uang gedung ya, SPP nya juga di angka 3 jutaan Er. UB gak selalu mahal"

"Emang kamu gak ingin lanjut kuliah Er?"
Sri yang dari tadi diam menyimak obrolan kita, kini ikut bertanya padaku.

"Pengen, aslinya aku pengen banget masuk Fakultas Hukum Sri. Kaya keren gitu lihat seorang pengacara yang membela kliennya, atau seorang hakim yang memimpin jalannya sidang"

"Terus?"

"Sama mama gak boleh hahaha"
Tawaku terdengar miris karna ingat permintaan mamaku yang beliau inginkan aku harus mengikuti jejaknya menjadi seorang guru SD.

"Ibuk pingin kamu jadi guru beb?"
Nilla, sahabat baikku dari SD kini bersuara sambil memandangku prihatin, dan aku jawab dengan anggukan.

"Sabar ya beb, mungkin ibuk punya alasan ingin kamu seperti beliau"

"Iya Nilla, terimakasih"

Aku berlari kecil menuju gerbang sekolah ketika temanku satu persatu sudah meninggalkan sekolah, dan di handphoneku muncul sebuah pesan dari seseorang yang mengabarkan bahwa dia sudah berada di depan sekolah. Setelah Ujian Nasional selesai, murid kelas duabelas atau kelas tiga SMA yang sudah pengumuman kelulusan di sekolah hanya seperti pengangguran yang berfungsi hanya meraikan sekolah atau kantin. Mereka berkeliaran tanpa arah di sekitar sekolah karna sudah tidak ada kegiatan, hanya menunggu waktu wisuda saja.

Aku tersenyum ketika melihat sudah terparkir motor vixion warna merah di sebelah gerbang utama. Tatapan kami sempat beradu sebelum aku berjalan mendekatinya, dan aku bisa melihatnya tersenyum dari balik helm full facenya.

"Sudah lama?"
Tanyaku berbasa-basi.

"Gak, baru aja. Naik yuk keburu hujan"

Aku mengangguk dan menuruti perintahnya naik motornya yang sudah dia body sedemikian rupa. Rok span panjang membuatku sedikit kesulitan ketika harus menaiki motor laki-laki yang sedikit tinggi dari motor matic. Sedikit repot memang duduk dengan posisi bonceng miring menggunakan motor model seperti ini, harus siap-siap encok ketika bonceng lebih lama.

Kami berhenti disebuah caffe kecil. Aku turun dari motor dan berjalan beriringan masuk dalam caffe tersebut dengan Whily. Yah... pria tersebut bernama Whily, Hizky Kusuma Whilyam.

Aku mengenalnya ketika kami mengikuti les di Ganesha. Dia siswa yang pintar, kurang bersosialisasi dengan teman sekitar, namun sebenarnya sangat baik. Dia beda sekolah denganku, dia bersekolah di Sekolah Menengah Atas bergengsi di Kota Malang.

SMAN 3 Malang, yang juga dikenal sebagai Smanti atau Bhawikarsu. Sekolah ini terletak di kawasan Tugu. Salah satu sekolah terfavorit di Kota Malang, dimana siswanya dikenal pintar-pintar dan pilihan. Sekolah ini terletak di dalam satu kompleks dengan Stasiun Kota Baru Malang yang dikenal dengan sebutan SMA Tugu, bersama-sama dengan SMA Negeri 1 Malang dan SMA Negeri 4 Malang.

"Er"
Pangilnya tegas sambil menatapku yang sedang menikmati kentang goreng kesukaanku.

"Ya"
Jawabku singkat dan menatapnya yang terlihat serius.

"Kamu ada rencana daftar kuliah dimana?"

Aku menghembuskan napasku kasar, kenapa bahasan dari tadi dengan temanku soal kuliah melulu. Dan sekarang Whily juga bertanya demikian.

"Mama ingin aku masuk UM, PGSD"

"Lalu?"

"Aku pengen masuk FH, tapi kayaknya gak mungkin"

"Why?"

"Mamaku gak ngebolehin whil"

"Dan kamu gak coba negosiasi sama mama?"
Aku menggeleng lemah menanggapi pertanyaan Whilly.

"Orangtua pasti akan memberikan yang terbaik untuk anaknya, terbaik dari segi orangtua. Tapi dari segi anak belum tentu baik kan? Coba bicara pelan-pelan. Pasti mama ngerti"

"Er, aku ketrima di Univ Leiden"

"Wah selamat.. selamat ya Whil, but Leiden? Dimana? Kok baru dengar? Jakarta ya? Apa luar Jawa?"

"Leiden Er, Den Hag"

"Den Hag?"

"Nederland"

"Gimana-gimana? Nederland? Wah keren dong. Sekali lagi selamat ya Whil"

Aku memberikan semangat dan selamat dengan antusias, bahagia rasanya bisa memiliki teman sehebat dia. Tapi kok ekspresinya berbeda dengan ekspresiku? Apa dia tidak bahagia? Kenapa? Kok wajahnya serius menatapku gitu. Aku menghentikan senyumanku padanya ketika ingat sesuatu.

"Tunggu deh Whil, Nederland ya?"
Dia hanya menanggapi dengan anggukan acuh sambil minum kopi.

"Nederland kan berati Belanda. Bukan Jakarta atau luar Jawa yang masih wilayah Indonesia"
Sekali lagi dia hanya mengangguk kali ini menatapku serius lagi.

"Belanda ya?"

"Iya Belanda, emang dari tadi kamu gak sadar?"

"Enggak, jauh dong ya? Yah kita bakal jarang meet up lagi dong Whil. Bakal susah nantinya kalau curhat sama kamu lagi. Gak ada yang bantu ngerjain PR ku lagi, gak ada yang ngajak aku main lagi"

Dia menggenggam tanganku, aku yang kaget, reflek menarik tanganku. Dan dia berdecak menanggapi responku.

"Kebiasaan deh kalau menerima informasi gak dicerna dulu"

"Er"

"Ya Whil?"

"Aku sayang kamu, pacaran yuk sebelem aku berangkat ke Nederland"

"Apa Whil?"

"Iya pacaran, aku suka kamu sudah sejak lama. Kalau perlu tunangan sekalian"

"Kamu gila Whil? Tunangan?"

"Kenapa? Gak mau ya? Karna kita berbeda? Agama yang jadi penghalang?"

"Kenapa sih di dunia ini harus ada perbedaan agama? Kenapa kita berbeda? Tuhan itu satu Er, kita yang nyebutnya gak sama"

Kebiasaan buruk dari Whilly adalah dia akan marah jika hal yang dia inginkan tidak bisa dia dapatkan. Apa iya kebanyakan anak dengan IQ tinggi gampang marah? Gampang dendam sepertinya?

"Whil.."

"Yaudahlah, pulang aja yuk. Udah mau hujan"
Katanya tanpa menunggu jawabanku dia berdiri dan berjalan menuju kasir.

"Huft, orang kok dikit-dikit marah"
***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang