Permintaan Maaf 2

340 23 3
                                    

Sesuai arahan dari dokter Narve, mama membawaku ke RSIA Puri Galeri di pusat kota Malang. Perjalanan dari klinik ini menuju kota Malang kurang lebih sekitar satu jam setengah.

"Mama kenapa sih minta bantuan dokter itu segala. Aku gak papa kali ma nunggu senin"

"Dokter itu gimana? Bahasamu yang sopan ke calon suami"

"Mama mau minta bantuan ke siapa lagi coba?"
Imbuhnya menanggapi pertanyaanku.

"Erine udah putus ma sama dokter itu"

Mama yang tadinya fokus menyetir mobil, kini menoleh cepat kearahku dengan tatapan tidak percaya.

"Kapan putusnya? Kok baik kamu atau Narve gak bilang?"

"La ini barusan bilang. Ah udah pulang aja yok ma. Aku males ketemu dia ma"
Kataku akhirnya frustasi.

"Dia di Surabaya nduk.. yaudah sih kalau sudah putus gak papa, yang penting jangan musuhan gitu. Yang penting sekarang itu tau penyakitmu apa. Biar bisa di tangani secepatnya."

"Nduk"
Panggil mama setelah beberapa menit diam. Aku menoleh pada mama tanpa ingin membalas panggilannya.

"Kalian kan kenalnya baik-baik. Keluarga kita juga sudah kenal baik. Pesan mama, jangan musuhan atau saling membenci seperti cerita cintamu sebelum - sebelumnya. Mama percaya kok sebenarnya Narve itu anak yang baik."

"Maaa"
Panggilku panjang pada mama. Sebenarnya aku tak ingin mengingat atau berhubungan lagi dengan sosok dokter Narve bukan karna aku membencinya. Tetapi karna rasa cinta ini terlalu besar padanya. Aku takut cinta ini tak terbalaskan, aku takut ketika bertemu dengannya rasa ingin memilikinya semakin besar, aku takut...., banyak hal yang aku takutkan.

"Mama tau kamu kecewa, mama tau kamu sakit. Mama tau kamu sedih, walaupun mama gak tau pasti yang terjadi diantara kalian. Tapi mama tau anak mama pasti bisa melewati ini semua. Di kehidupan ini, kamu kenal Allah, kamu tau Allah yang mengatur semua kehidupan kita. Allah yang mengatur ketetapan kita. Percayalah Allah punya alasannya yang baik dibalik cerita kamu ini. Belajar ikhlas nduk dengan ketetapan Allah."

**

Sesampainya di Rumah Sakit, mama membawaku ke UGD. Disana aku menjalani pemeriksaan subjectif, seperti keluhannya apa, sudah berapa lama sakit perut, sudah minum obat apa saja dan pemeriksaan objectif seperti TTV dan serangkaian pemeriksaan lainnya.

"Bagaimana dokter? Dokter penyakit dalamnya memang ada hari sabtu seperti ini?"
Tanya mamaku pada dokter jaga yang menurutku cantik bak model yang pernah kutemui dengan dokter Narve di restaurant beberapa minggu lalu.

"Dokter Narve sedang dijalan ibu, sebentar lagi mungkin sampai. Sementara ini kita konsultasikan secara online dulu"
Katanya lembut.

"Maksudnya? Dokter Narve kan bukan spesialist penyakit dalam dok?"
Kataku menyela pembicaraan mama dan dokter jaga tersebut.

"Emm iya, tapi saya diminta konsul ke beliau mba karna beliau mencurigai adanya appendisitis"

"Gak ada dokter selain dokter Narve memang?"

"Gak ada"
Jawab seorang pria yang baru saja masuk di bilik UGD yang aku tiduri.

"Kok belum di infus sesuai advis yang saya berikan tadi? Sudah lab DL sama urinenya belum"
Tanyanya pada sang dokter jaga.

"Belum dok, orangtuanya baru akan mengurus administrasi. Setelah selesai kami akan lakukan sesuai advis dokter"

"Saya kan sudah bilang yang ini beda. Kasih yang terbaik. Kamu gimana sih. Kalian mau perhitungan sama calon istri saya?"

Tanyanya penuh penekanan pada dokter jaga tersebut. Ada rasa yang mengalir hangat mengetahui dia memberiku gelar calon istri. Tunggu sebentar, dia menyebutku sebagai calon istrinya? Gimana-gimana? Aku gak salah dengar kan? Kok bisa? Bukannya beberapa minggu lalu dokter bedah ini jalan dengan dokter jaga didepanku ini dengan mesra?

"Baik dok segera kami lakukan. Mohon maaf"
Katanya lalu pamit pergi. Tak lama setelahnya datang seorang suster memasangkanku infus dan melakukan skin test.

"Dokter mohon maaf, untuk USG whole abdomennya bagaimana? Dokter radiologinya tidak praktek hari ini."

"Biar saya saja."

"Baik dokter segera saya siapkan"
Dia hanya mengangguk lalu menatapku, pandangan kami bertemu beberapa detik, namun aku memutuskan kontak lebih dahulu.

"Maaf"
Ucapnya mendekat ke arahku dan menggenggam tanganku. Namun sekali lagi aku menghindari kontak dengannya dengan menarik tanganku.

"Maafin aku Er, aku bisa jelasin apa yang kamu lihat minggu lalu. Sebenarnya gak seperti yang kamu pikirkan."

"Please, jangan diam seperti ini."

"Er..."
Panggilnya mulai frustasi.

"Apa penjelasan dokter dengan apa yang saya lihat kemarin?"

"Maaf.."

"Hanya itu dok"

"Dokter datang secara tiba-tiba. Dokter juga meminta secara tiba-tiba. Dan tiba-tiba juga dokter jalan dengan wanita lain.."

"Please jangan panggil dokter lagi. Sebelumnya kamu sudah lancar memanggilku dengan sebutan mas kan? Kita belum putus lo Er kalau kamu masih ingat. Dan satu lagi, aku tidak akan melepaskanmu."

"Dokter egois ya.."
Tangisku mulai pecah, meluapkan sakit fisik dan sakit di hati.

"Bukannya kamu juga egois? Sibuk dengan duniamu sendiri, kalau aku gak hubungi, kamu juga gak pernah hubungi aku, kamu baru mau hubungi aku saat aku menghilang kemarin kan? gak pernah mau melibatkanku, sejujurnya apa kamu malu punya pasangan seperti aku?"
Katanya pelan namun penuh penekanan.

"Kita dua orang yang sama-sama egois sebenarnya kalau kamu bisa menyadarinya. Aku gagal memahamimu, dan kamu gagal memahamiku. Diversimu aku yang menyakitimu, tapi diversiku kamu juga sudah menyakitiku."
Imbuhnya lagi.

Pembicarakan kami terjeda karena ada suster yang masuk membawa kursi roda bersama mamaku yang telah melakukan registrasi pendaftaran rawat inap. Dokter Narve menyalimi mamaku kemudian izin pamit akan menyiapkan alat USG di ruang radiologi.

***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang