Tut... tut... tut...
Itu bukan suara kereta api yang ada di lagu anak-anak. Itu juga bukan nada dari sebuah piano. Tetapi itu adalah bunyi monitor yang ada di ruang ICU.Ruang ICU atau intensive care unit adalah ruangan khusus yang disediakan rumah sakit untuk merawat pasien dengan kondisi yang membutuhkan pengawasan ketat. Ruangan ini dilengkapi dengan peralatan medis khusus yang digunakan untuk menunjang proses pengobatan dan pemulihan pasien. Pasien akan dipantau selama 24 jam oleh dokter spesialis, dokter jaga, dan perawat yang sudah kompeten. Untuk memantau kondisi pasien secara lebih detail, tubuh pasien akan terhubung dengan berbagai peralatan medis melalui selang atau kabel.
Pasien akan dirujuk ke ruang ICU saat mengalami koma, gagal napas dan kondisi tertentu. Begitu juga dengan mas Narve, saat ini dia sedang dirawat di tuang ICU. Ruangan yang menurutku adalah ruangan terdingin diantara ruangan-ruangan lain yang ada di Rumah Sakit.
Aku termenung memandangi wajahnya yang sedang tertidur setelah suster mempersilahkan aku untuk masuk ke dalam ICU dan duduk di bangku sebelah bed mas Narve. Wajahnya begitu damai, dan tetap terlihat tampan walaupun ada beberapa luka di wajahnya. Aku genggam tangannya yang bebas dari selang infus, aku ciumi tangannya yang terasa dingin itu.
"Assalamualaikum mas"
Sapaku padanya dengan menahan air mata mati-matian."Apa kabar?"
"Kabarku buruk dengar kamu kecelakaan mas, kabarku buruk tau kamu gak sadar seperti ini."
"Mas, katanya kemarin pamitnya cuma mau main sebentar. Terus bakal pulang dan nemenin aku tidur sampai siang."
"Kok malah gak pulang-pulang mas?"
"Kok malah tidur disini mas?"
"Bangun dong mas... hiks"
"Aku kangen... kangen banget"
"Apa enaknya tidur disini sih mas? Kamarnya terlalu dingin, berisik sama suara monitor, kasurnya gak luas kaya di kamar kita. Selimutnya juga gak setebal di kamar kita mas."
"Mas... bangun. Sadar dong"
"Aku kangen kamu marahi, aku kangen kamu omeli, aku kangen kamu jailin, aku kangen senyumanmu, kangen suara tawamu, aku... aku kangen belajar bareng-bareng sama kamu lagi."
"Mas... kenapa tangan ini hanya diam saja saat aku genggam? Biasanya tangan ini selalu jail, selalu memberikan aku kehangatan, selalu mengusap kepalaku lembut. Tapi kenapa kali ini diam saja dan terasa dingin?"
"Mas... aku kangen, kangen sholat di belakang kamu lagi."
"Aku kangen mas... sholatku tanpamu hanya bisa dengan doa pendek-pendek saja. Al-ikhlas, Al-falaq... hanya itu-itu saja mas, gak seperti kamu kalau jadi imam bacain suratnya pasti panjang-panjang. Sadar yuk mas, aku gak akan ngeluh kamu imamin lagi dengan surat yang panjang. Aku masih kuat berdiri lama-lama sholat di belakang kamu kok, janji gak bakal ngeluh"
"Bangun mas"
'Tut.. tut... tuttttt....'
Mendengar suara seperti itu, membuat jantungku berdebar-debar tak karuan. Aku perhatikan monitor mas Narve yang ada di meja kecil sampingnya itu. HR atau heart rate adalah detak jantung yang ditampilkan dengan warna hijau di bagian atas monitor menunjukan angka 86 yang berati normal. Setelahnya mataku beralih pada blood pressure (BP) yaang ditampilkan dengan tanda SYT atau SYS untuk sistolik dan DIAS atau DIA untuk diastolik menunjukan angka 110/70 mmHg yang berati juga normal.
Saturasi oksigen (Sp02) ini menunjukan jumlah oksigen dalam darah juga menunjukan angka normal yakni 95%. Selanjutnya RR (respiratory rate) menunjukan jumlah frekuensi pernapasan ada di angka 18 kali permenit juga dalam batas normal.
Selanjutnya aku memperhatikan garis gelombang EKG atau aktivitas kelistrikan dan fungsi jantung dimana garis ini bertujan untuk mamandu tenaga medis saat melakukan resusitasi jantung paru. Garis gelombang Sp02, garis gelombang pernapasan untuk memantau ada tidaknya masalah pernapasan seperti henti napas atau sesak napas. gelombang ini biasnaya memiliki tanda tertera RESP pada monitor pesien, semua normal.
Belum sempat normal kembali detak jantungku, ada beberapa perawat yang sedang lari ke arah bed depan mas Narve dirawat. Disana mereka dengan sekuat tenaga sedang melakukan resusitasi jantung, paru. Tak lama setelahnya ada dokter dengan tubuh dempal tergopoh-gopoh juga menolong pasien tersebut dan menyuntikan obat ke dalam intra vena pasien melalui selang infus.
Aku bukannya tidak mengerti situasi itu, aku juga beberapa kali melihat hal seperti itu dulu waktu pra klinik, tapi tetap saja pemandangan di depanku membuatku takut. Masih aku perhatikan beberapa perawat yang bergantian sedang memompa jantung pasien tersebut sambil tarik-tarikan nyawa dengan malaikat pencabut nyawa. Nyatanya bunyi tutt panjang itu tak kunjung membentuk gelombang, hanya garis lurus saja.
Perawat laki-laki yang memompa jantung itupun turun dari bed resusitasi dan dokter mengumumkan kematian pasien itu. Melihat pemandangan itu, hatiku jadi gundah, dan takut. Takut hal seperti itu terjadi pada keluargaku. Belum sempat aku selesai melamun... tiba-tiba saja aku dipangil perawat perempuan untuk keluar karna ada yang mencariku, aku mengangguk mengertu dan berpamitan dengan mas Narve.
"Mas... aku keluar dulu ya"
Ucapkku lembut."Besok InsyaAllah setelah pulang kuliah aku kesini lagi. Kamu cepat sadar ya"
"I love you"
Aku cium tangannya lama, lalu pergi menjauh dari bednya.Keluar ruangan ICU, aku sudah disambut mama mertuaku, papa mertuaku, dan sepupuku. Sepupuku terlihat gelisah menatapku dengan istrinya. Begitupun mama mertuaku juga menatapku dengan tatapan aneh, seperti ingin bicara namun tak sanggup melakukannya.
"Kenapa?"
Tanyaku was-was pada sepupuku."Anu.."
Katanya terputus."Anu... aduh, gimana ya ngomongnya"
Katanya sambil salah tingkah sendiri."Anu apa?"
Hatiku mulai tak tenang lagi melihatnya yang seperti tak enak menyampaikan berita yang dia bawa."Mba... bisa pulang sekarang gak?"
Kata istrinya setelah lama terdiam."Pulang ke rumah orangtua mba"
"Memangnya kenapa?"
"Pulang dulu aja yuk mba.. kita bicara di jalan."
"Memangnya kenapa?"
"Ada apa sih?"
Ucapku tak sabaran."Pulang dulu yuk sayang, mama sama papa anterin ya"
Kata mama mertuaku sambil mengelus punggungku lembut."Ada apa ma?"
Mama mertuaku menggeleng, namun air matanya kali ini jatuh."Ma... kenapa?"
"Mama kenapa?"
"Nduk... pulang dulu saja yuk, nanti kamu bakal tau disana. Mama sama ayah sudah menunggu."
"Memangnya kenapa?"
"Ada apa?"
Tanyaku lagi pada sepupuku yang hanya diam memandangku iba."Mba... yang sabar ya"
Kata istri sepupuku terpotong, namun matanya terlihat sayu menatapku."Pakde... sama bude kecelakaan dan meninggal. Jenazahnya sudah ada di rumah."
Ucapnya terpotong-potong membuatku bengong namun aku mengerti dari ucapannya. Yang dimaksud adalah orangtuaku.Air mataku tiba-tiba turun lagi dengan derasnya, tapi badanku sama sekali tak bisa digerakan. Jantungku kembali berpacu seakan tak sabar ingin mencetak rekor dalam memonpa darah ke seluruh tubuhku. Badanku benar-benar lemas sekarang, dan setelahnya pandanganku buram. Samar-samar masih bisa aku mendengar mama mertuaku memanggil-manggil namaku sambil menangis namun kemudian pandanganku menjadi hitam pekat.
"Aku lelah Ya Rabb"
"Aku lelah dengan semua kejutan yang engkau berikan secara terus menerus ini"
***
![](https://img.wattpad.com/cover/332012078-288-k775046.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SATU CIRCLE
Teen FictionCircle cenderung mengarah pada lingkaran atau kelompok pertemanan. Sama halnya dengan seorang gadis yang bernama Erine Rose Defiana, dia mempunyai sahabat bernama Whily yang selalu ada untuknya. Persahabatan itu semakin hari tumbuh menjadi cinta. Na...