Dibalik Sikap Cuek

179 22 7
                                    

"Beneran dokter ya mba? Dokter bedah"
Tanya koas bernama Fathoni itu padaku sedikit berbisik.

"Iya"

"Tapi bukan disini kan praktiknya?"

"Disini juga"

"Hah... mampus. Semoga bukan konsulenku. Saya permisi ya mba. Semoga lekas sembuh."

"Terimakasih"

"Sama-sama"

"Mari dokter"
Kata koas itu tersenyum saat pas-pasan dengan mas Narve sambil menunduk hormat.

"Gak usah terlalu ramah sama orang bee. Aku gak suka. Apalagi dia seumuranmu."
Katanya sambil berjalan ke arahku.

"Bee, pindah dari sini mau ya... kurang nyaman tempatnya. Banyak koas dan mahasiswa praktek juga. Gak suka aku tubuhmu di lihat-lihat gitu sama pria lain."

"Mau pindah kemana memang? VVIP? Gak mau, aku gak mau nambah biaya kamar. Mending aku pake buat jalan-jalan atau beli antam uangnya."

"Pindah ke Puri Candra. Biar aku bisa mantau dan curi-curi waktu."

"Jauh, bukannya sama aja... mas juga praktek disnini kan?"

"Gak enak disini, kurang nyaman. Satu kamar juga dua orang. Aku urus administrasinya dulu"

"Emang bisa?"

"APS bisa kayanya, harus bisa, kamu kabarin mama ya kalau pindah"

Kata mas Narve kemudian pergi meninggalkanku sendirian di kamar rawatku. APS adalah singkatan dari Atas Permintaan Sendiri atau pasien pulang paksa. APS ini sebutan untuk pasien yang pulang atas permintaan sendiri sebelum tuntas prosedur pelayanan atau dinyatakan boleh pulang oleh Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP). Setelah menunggu beberapa jam, mas Narve berhasil membawaku pindah dari RSUD yang kata dia kurang nyaman itu ke RS Puri Candra tempat dia bekerja.

Setelah masuk IGD beberapa menit lalu, aku dipindahkan oleh satu perawat wanita dan seorang bapak-bapak berpakaian hitam ke ruang rawat inapku di lantai empat. Sedangkan mas Narve, dia pamit lebih dulu setelah sampai IGD karna ada jadwal poli dan visite. Sempat ada perbebatan kecil saat mas Narve meminta ruang rawat di lantai empat itu, ruang rawat VVIP dengan akses terbatas dan fasilitas lengkap.

"Mbanya... siapanya dokter Narve kalau boleh saya tau?"
Tanya suster bertubuh dempal itu padaku.

"Temannya sus"
Jawabku seenaknya, karna aku juga bingung dengan statusku sekarang ini. Aku hanya di minta ke orangtuaku namun tidak kunjung di lamar dan dinikahi olehnya.

"Haha teman spesial ya mba"
Kata suster itu tertawa sambil tetap mendorong bedku.

Aku sempat terdiam sekaligus takjub saat bedku memasuki ruang rawatku. Ini sih lebih seperti hotel bukan ruang rawat inap, batinku. Alih-alih mendengarkan suster tadi yang pamit, kemudian ada suster ruangan yang menjelaskan peraturan yang ada di ruang inapku, aku lebih memikirkan biaya permalam di ruang ini berapa? Nanti kalau aku atau mama suruh bayar tagihan di akhir gimana? Pasti mama bakal marah-marah kan? Tapi tadi kata mas Narve, dia yang bakal urus semua dan tanggung jawabkan? Berati aku tinggal menjalani perawatan dan menikmatinya dong? Iya dong?

Kamar VIP ini  mempunyai fasilitas kamar tidak beda dengan hotel. Ada kasur untuk yang sakit, kasur tambahan untuk keluarga yang menjaga, TV, AC, kamar mandi dengan shower dan water heater, ruang tamu yang ditata apik sedemikian rupa, dengan lampu meja dan beberapa bupet membuat pasien dan yang menungguinya pasti merasa betah.

Aku mengangkat telephoneku yang dari tadi berbunyi saat suster bernama Afi itu sudah keluar. Ternyata telephone itu dari mas Narve yang menanyakan aku sudah di pindah ke ruang rawat inap atau belum, dia juga menyalahkanku kenapa aku belum mengabarkan pada mama jika aku sudah dipindah ke Rumah Sakit Puri Candra ini.

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang