Bimbang Lagi

151 17 4
                                    

"Maafin mama ya nduk, mama gak bisa jagain kamu dengan baik"
Ucap mamaku itu sambil memelukku dan menangis tersedu-sedu.

"Maafin mama"

"Maaf"

Berulang kali mamaku terus mengucapkan kalimat itu, beliau meminta maaf untuk kesalahan yang sama sekali bukan kesalahannya. Aku juga sudah berkali-kali bilang kalau semua bukan salah mama. Tapi beliau tetap manyalahkan dirinya, beliau menganggap bahwa dirinya tidak bisa menjagaku dengan baik.

"Maaf ya, andai mama gak ngebolehin kamu berangkat ke Puskesmas sendiri waktu itu... pasti ceritanya gak bakal kaya gini."

"Maafin mama yang kurang perhatian sama kamu"

"Maafin mama, mama akhir-akhir ini yang sok sibuk jadi gak pernah nengok kamu di Polindes. Jadi mama gak tau permasalahan kalian."

"Mama..."

"Mah... mama gak salah"

"Hiks... hikss kok bisa sih anak itu sampai nusuk kamu gini"

"Kamu punya masalah apa sih memangnya sama Clara dan pria gila itu?"

"Clara itu juga kenapa sih, Ya Allah"

"Mah udah ma"

"Mama gak mau tau, pokoknya ponakan kamu harus bertanggung jawab yah"
Ucap mamaku marah sambil menoleh ke arah ayah.

"Tega banget dia nusuk adeknya sama pisau gitu. Kamu udah TT lagi belum nduk setelah umur dua puluh lima tahun? Mama takut pisaunya karatan karna kata Whilly yang di pakai kater"

"Stres ponakanmu itu yah, salah apa anak kita? Padahal juga gak pernah dekat. Dia di pondok terus. Bukannya jadi bu nyai dan pinter ngaji di pondokin, malah anarkis gitu sama adeknya lagi. Habis ini mbakmu bakal aku labrak yah"

"Udah di anggap anak sendiri tapi malah gak bersyukur. Kurang nriman."

"Selama ini aku diam, dia diam-diam ke sekolah minta uang. Aku kasihan, tak kasih tiap bulan. Tak transferin, malah nerkam anak kita"

"Lulusan pondokan kok kelakuan kaya bajingan gitu."

"Mah"

"Diam dulu Er... Mama udah emosi banget sama ponakan ayahmu."

"Mamah"
Ucapku pelan namun sedikit menekan di akhir panggilanku. Bukannya apa, pasalnya disini masih ada Whilly dan perawat dan aku tebak mahasiswa magang karna dia mengenakan jas lab yang akan masuk ruang rawat inapku. Tapi mama sama sekali tidak bisa menyembunyikan amarahnya. Semua dia ucapkan tanpa memikirkan tatapan penasaran dari Whilly dan perawat yang kini berdiri di ambang pintu itu.

"Malu ma ada orang"
Bisikku padanya, dan Alhamdulillahnya mama mengakhiri pembicaraannya dengan papa walaupun napasnya masih naik turun menahan emosi.

"Permisi, maaf menganggu waktunya. Saya Nuri ingin memeriksa tekanan darah pasien, apakah boleh saya masuk?"
Katanya sambil melihat ke arah mama.

"Boleh, silahkan"
Ucap mama seadanya sambil berjalan duduk di sebelah bedku.

"Tensinya normal ya mba, 120/70 mmHg, ada keluhan atau ada yang ditanyakan?"
Ucapnya lagi ramah.

"Dokternya kenapa belum visite sus? Kondisi anak saya gimana ini? Kok gak ada penjelasan sama sekali dari dokter selain dokter IGD tadi waktu pertama kali masuk sini."

"Maaf ibu, saya coba tanyakan sama senior saya dulu ya bu. Saya masih hari pertama praktek disini jadi kurang tau. Sekali lagi mohon maaf ibu."

"Ada lagi ibu"

"Ndak ada"

"Baik ibu, saya permisi dulu."

"Mah mama, jangan ketus-ketus gitu sama anak PKL, kasian tau ma. Anak mama dulu juga pernah kaya gitu."

"Emang itu anak PKL Er?"
Kali ini Whilly yang dari tadi fokus dengan Ipadnya beralih menatapku penasaran.

"Iya"

"Kok kamu tau?"

"Taulah Whil, kelihatan dari pakaiannya"

"Masih mahasiswa dong?"

"Iya memang"

"Lah kok bukan perawatnya langsung sih, gak jelas. Pantes tadi waktu kamu masuk UGD itu nginfus sampai 2 kali tusuk gak bisa. Lalu ada perawat laki-laki tua yang tindakan baru berhasil. Jangan-jangan yang tadi juga mahasiswa."

"Bisa jadi"

"Parah dibuat praktek"

"Aku dulu juga gitu Whil, semua praktek dulu, belajar. Gak ada yang langsung bisa, kalau gak gitu juga gak bakal bisa."

"Oh"

Aku terdiam memandang Whilly yang kini sibuk duduk di pojok ruangan ini. Entah apa yang sedang dia lakukan di Ipadnya itu. Pakaiannya masih sama, seperti pakaian yang dia kenakan waktu aku menabraknya di Rumah Sakit siang tadi, dia memakai pakaian kemeja biru langit dan celana jeans warna hitam. Kemeja yang kini dia pakai itu terdapat beberapa noda merah di bagian lengan dan perutnya.

Bisa aku tebak itu adalah noda darahku karna dia menolongku tadi. Pandanganku aku akhiri ketika mama mengusap tanganku lembut. Aku beralih menatap mama, mama menggelengkan kepalanya pelan, dengan sorotan mata memperingatkanku, aku bisa memahami jika mama mungkin berkata "jangan jatuh padanya lagi, kalian gak mungkin bersama."

Tidak lama kemudian Whilly berjalan ke arah bedku, memintaku menandatangani surat kuasa yang sudah dia buat di Ipadnya untuk melaporkan kejahatan yang terjadi padaku ke POLRES. Setelah menjelaskan beberapa hal, dia pamit padaku dan orangtuaku untuk pulang dan membuat laporan.

"Terimakasih banyak ya Whil"

"Maaf tante banyak merepotkanmu"
Ucap mamaku pada Whilly.

"Sama-sama tante"
Balas Whilly kemudian dia berlalu pergi meninggalkan ruang rawat inapku.

Mama memandangku ketika mataku mengikuti arah Whilly pergi hingga menghilang di pintu keluar.
"Whilly sudah beristri lo Er, jangan jatuh untuk yang kedua kali. Ingat pesan mama."

"Mamah... enggaklah ma"

"Kamu gak bisa bohong sama mama"

"Inget, kamu dan Whilly gak mungkin bisa bersatu"

"Iya ma"
Balasku sambil menunduk.

"Lagian sudah punya mas Narve"

Mama diam memandangku, tapi matanya masih menelisik mencari-cari sesuatu di dalam mataku yang paling dalam. Sejujurnya memang sulit untuk melupakan Whilly, mungkin beberapa bulan lalu saat aku sudah tidak bertemu lagi dengannya, aku merasa Whilly sudah tidak ada di hatiku. Tetapi kenapa rasa itu tiba-tiba hadir kembali hanya karna sekali bertemu di hari ini?

Kenapa sulit sekali melupakanmu Whil?
Aku kira, aku sudah benar-benar lupa padamu. Lukaku sudah benar-benar sembuh, namun kini aku sadar... sebenarnya tidak ada yang membaik. Hanya aku yang terbiasa tanpamu.

Mungkin aku kecewa dengan keputusan sepihakmu itu dulu, namun kenapa aku tidak bisa membencimu? Aku sakit namun kenapa aku masih merindukanmu? Aku terluka, namun kenapa masih mengharapkanmu? Sehebat itukah kamu dihatiku?

Tolong jangan pertemukan aku dengan laki-laki itu didalam kebetulan apapun lagi Ya Rabb... sudah mati-matian aku mencari sembuhku untuk mengikhlaskannya. Untuk kali ini aku benar-benar ingin bahagia.



***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang