Tamu

282 23 1
                                    

Sepulang dari puskesmas jaga malam, aku kembali harus mengunjungi polindes bayi dan balita. Beruntungnya posyandu saat itu dilaksanakan di balai dusun dekat PUSTU. Di tengah-tengah imunisasi, aku merasakan perutku sakit seperti di tusuk-tusuk, keringat dingin mulai keluar membasahi kerudungku, ditambah pusing berputar-putar. Alhamdulillahnya semua bisa aku tahan sampai selesai.

"Saya izin pamit dulu ya ibu-ibu"

"Lo makan dulu bu... ini saya sudah bikin sup sama nugget tahu lo buat kita."

"Mungkin lain kali ya bu, mohon maaf"

"Er kamu gak papa kan? Pucet banget itu muka"

Tanya bu Dwi kawatir yang peka dengan gerak-gerikku yang sedang menahan nyeri di perut.

"Ndak papa bu, saya butuh istirahat aja. Saya duluan ya bu. Permisi ibu-ibu"
Pamitku pada mereka.

"Er kuat? Biar tak anter aja. Kamu pucet, takut kamu semaput di jalan aku"

Cegah bu Dwi dan memaksa ingin mengantarku pulang dengan alasan takut aku pingsan di jalan. Akhirnya aku pulang dengan di bonceng bu Dwi, sedangkan motorku di bawa ibu kader yang mengikuti kami dari belakang. Aku sangat bersyukur dengan kebaikan dan keramahan orang di sekitar sini yang menganggapku seperti saudara sendiri.

"Er ada mobil bagus warna putih siapa? Pasien masak?"
Bu Dwi bertanya ketika beberapa meter lagi kita sampai di PUSTU.

"Gak tau ya bu"

Jawabku sambil turun dari motor matic bu Dwi saat kita sudah sampai. Setelahnya sang pemilik mobil putih itu keluar dari mobilnya, dan membantuku memasukan motor ke dalam PUSTU.

"Dokter, kok sampai sini?"
Dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku.

"Kamu istirahat aja kalau sakit, gak usah di bukain dulu kalau ada yang ketok pintu. Biar cepet sembuh istirahat."

Omel bu Dwi kepadaku sebelum beliau dan ibu kader tadi pamit pulang.

"Kamu sakit?"

Tanya dokter Narve menahanku yang akan masuk ke dalam PUSTU. Matanya menatapku tajam ketika aku menggeleng. Kebanyakan dokter bedah memang mempunyai mata tajam seperti dia, apalagi saat ini dia memakai masker yang membuat matanya terlihat semakin tajam. Tatapan kami terhenti saat ada seorang ibu yang datang memeriksakan anaknya.

"Dokter silahkan masuk dulu."

Kataku mempersilahkan dokter Narve masuk, kemudian aku mempersilahkan ibu tersebut masuk lewat pintu sebelah yang menghungkan dengan kamar periksa. Aku terdiam sebentar saat pasien telah selesai aku tangani dan pamit. Kemudian beranjak mencari paracetamol untuk meredakan pusingku, tiba-tiba dokter Narve masuk ke ruang periksa dan memegang lenganku, mendudukanku di kursi yang tadi aku duduki.

"Apa yang kamu rasakan?"

Katanya kalem sambil mengusap tanganku lembut, matanya kali ini menatapku teduh. Badanku seketika ngfreeze, entah kenapa jantungku selalu berdetak tidak normal ketika posisi kami sedang dekat seperti ini.

"Hei... kamu kenapa?"

Kali ini tangannya mengusap pipiku yang tertutup kerudung dengan lembut. Ya Allah, kenapa pria di depanku ini pandai sekali membuatku melayang? Tetapi, tiba-tiba saja ingatan semua pria yang pernah dekat denganku hadir, bukankah mereka juga bersikap manis di awal?

"Gak papa"
Jawabku singkat dan memutuskan pandangan dengannya dengan menunduk.

"Ikut aku sebentar ya, ganti baju dulu yang lebih cansual."

"Mau kemana?"

"Ada, ganti dulu ya"

"Tapi sejujurnya aku capek dokter, ingin tidur"

"Maaf tapi aku habis jaga malam belum tidur"

Buru-buru aku ralat cara bicaraku lebih lembut karna takut menyinggung perasaan pria di depanku, tapi lagi-lagi dia tersenyum, menggenggam tanganku erat dan menatap mataku dengan lembut.

"Aku gak akan membuatmu capek. Justru mungkin kalau kamu disini gak akan bisa istirahat."

"Mau ya.."

Gak tau kenapa tiba-tiba saja aku mengangguk dan menurut akan perintahnya, padahal tadi aku sudah kekeh untuk tidak terlalu dekat dengan pria dewasa kembali agar tak mengalami lagi sakit ketika jatuh cinta. Aku terkadang curiga, dokter Narve ini memiliki kemampuan menghipnotisku untuk mengatasi gangguan kecemasan, keraguan, mengendalikan stress, atau mengelola rasa sakit.

Terbukti sekarang, aku yang semula cemas jika aku kembali dekat dengan pria, takut jika aku jatuh hati karena sikap dan perhatian darinya, dengan mudahnya dia membuatku percaya padanya bahwa dia tak akan menyekitiku. Atau saat aku merasakan pusing, saat dia mengusap kepalaku dengan lembut, rasa pusing itu berkurang dan dengan mudahnya aku tertidur di mobilnya yang sudah dia posisikan setengah duduk. Padahal kemarin malam sehabis observasi 2 jam post partum, aku sudah minum obat tidur tapi karna pusing aku tak bisa tidur di kamar istirahat perawat. Sungguh hebat sekali dokter Narve ini.

**

Ketika aku terbangun, aku sudah berada di ruang tengah rumah dokter Narve dengan posisi tidur di sofa dan diselimuti selimut tebal. Ya Tuhan Erine, kamu kalau tidur benar-benar seperti orang meninggal ya sampai gak kerasa apa-apa jika sudah berada di tempat ini. Tadi siapa pula yang membopongku sampai sini? Perasaan tadi aku masih tertidur di mobil. Apa mungkin aku lupa, atau jalan sambil mata tertutup sehingga bisa pindah tidur disini? Aku harap itu benar terjadi.

"Istirahat aja kalau masih pusing"

Kata seorang pria yang sedang duduk santai sambil membaca buku tebal di kursi sampingku. Tapi kali ini aku tak menuruti permintaannya untuk kembali tidur, lebih memilih untuk bangun dan duduk menghadapnya.

"Ini kenapa saya di infus dok?"
Tanyaku padanya sambil mengamati tetesan cairan infus berwarna pink tersebut.

"Kamu berapa hari gak makan memang sampai dehidrasi dan hipoglikemia?"

Kali ini suaranya tidak lagi selembut tadi, lebih ke tegas dan menuntut. Aku mencoba mengingat kembali kapan terakhir makan, dan baru ingat jika kemarin pagi aku hanya sarapan roti, dan malamnya makan martabak satu potong. Aku melihat meja di depanku memang disana terdapat stetoskop, GCU, dan hipafix.

"Lupa"
Jawabku seadanya yang membuat dia berdecak dan berjalan kearahku.

"Coba baring lagi"

"Gak mau, dokter mau ngapain?"

"Nurut aja kenapa sih Er. Aku cuma pengen cek perut kamu."

"Emang tadi belum diperiksa sekalian?"

"Belum"

"Emm.. besok aja deh dok kalau perut saya masih sakit saya periksa ke puskesmas"

"Ngapain ke puskesmas?"
Tanyanya heran sambil menaikan sebelah alisnya.

"Periksa ke dokter... sama minta obat. Tapi mungkin sama aja obatnya seperti yang saya punya di PUSTU."

"Tapi sekarang saya sudah gakpapa kok dokter, beneran. Sudah lebih segar... rasanya"

"Ngapain harus nunggu besok?"

"Kalau sekarang.... Puskesmas sudah tutup, dan kebetulan saya jauh dari puskesmas sekarang."

"Sekarang aja periksanya kenapa?"

"Dokternya sudah gak ada jam segini dokter."
Kataku mulai tak sabaran, sedangkan dia masih dengan mimik muka santai.

"Memang dokter yang kamu tuju spesialis apa? Setauku gak ada dokter spesialis di puskesmas."

"Ya gak ada emang dokter. Dokter umum aja."

"Yaelah Er, ngapain nunggu besok kalau cuma diperiksa dokter umum. Aku juga pernah jadi dokter umum. Sama aku juga sama aja"

"Yaudah kalau gitu besok ke dokter spesialisnya aja ntar, ke penyakit dalam. Dokter kan dokter bedah umum, jadi bukan ahlinya."

"Kata siapa? Aku sudah lulus sub spesialis bedah digestif ya bulan kemarin. Memang berbeda dengan ahli gastroenterologi, tetapi malah aku memiliki kapasitas untuk melakukan tindakan operasi pada saluran cerna dan organ-organ dalam sistem pencernaan. Udah sih nurut aja kenapa."

Oke fix aku kalah debat dengan pria di depanku ini.

***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang