"Kamu kenapa diam aja mas?"
Aku bertanya pada mas Narve yang saat ini sedang membelakangiku melihat pemandangan lalu lintas Kota Malang yang masih padat setelah acara ijab kabul beberapa jam lalu. Dia masih diam membisu melihat jalanan di bawah sana, namun beberapa menit kemudian, dia menutup tirai jendela itu dan berjalan ke arahku dan duduk di samping ranjangku.
"Kamu kenapa? Kalau masih ragu kenapa tadi mau nikahin? Gak nolak aja"
Tanyaku padanya tak sabaran, entah kenapa hatiku jadi perih seperti teriris melihat mas Narve yang diam seperti ini.Menikah di Rumah Sakit, ijab kabul, tidak ada ritual-ritual resepsi, tidak ada dekorasi, tidak ada panggung hiburan, hanya dihadiri beberapa keluarga inti, bapak Nazar yang biasanya menjadi imam di masjid rumah sakit, beberapa dokter dan perawat yang dekat dengan dokter Reza, bu Maryam beserta dokter Dimas yang saat itu kebetulan menjengukku dan beberapa teman kerja mas Narve. Sederhana memang, sangat sederhana.
Beberapa tamu memfoto dan memvideo saat mas Narve mengucapkan ijab kobul itu dengan jelas dan tanpa keraguan. Namun setelah tamu undangan dan orangtua kami pamit untuk pulang, mas Narve... tiba-tiba diam membisu seperti orang bingung.
"Jangan ngomong seperti itu"
Katanya kalem namun tak melihat kerahku, dia lebih memilih memandang ubin yang ada di bawah bedku."Mas Narve nyesel ya nikah sama aku?"
"Mas... kenapa diam?"
"Mas nyesel"
"Er... gak gitu. Aku hanya capek. Sebentar"
Katanya kemudian, lalu mengambil handphonenya yang ada di nakas dekat bedku."Aku ada call dari IGD"
Katanya lalu menjauh dari bedku.
Tak berselang lama dia datang kembali padaku, mengambil stetoskopnya lalu pamit padaku."Maaf aku harus pergi sekarang, ada pasien"
"Gak usah nunggu aku, kamu langsung istirahat aja. Sudah malam"
Katanya dan akan berlalu pergi, namun aku mampu menahannya dengan mencekal pergelangan tangannya yang membuat dia berbalik padaku lagi."Beneran karna pasien?"
Tanyaku padanya menuntut karna sedikit curiga."Pasien Bee, Dilatasi esofagus"
Katanya lelah, lalu mencium ubun-ubunku lembut dan berlalu pergi.Mungkin malam pertama pernikahan umumnya menjadi malam yang sangat dinanti oleh para pengantin baru. Biasanya mereka akan menghabiskannya dengan penuh kemesraan bersama. Namun hal tersebut tidak terjadi padaku. Sebenarnya aku tau betul konsekuensi ketika aku memilih suami seorang dokter sebagai pasangan hidupku, aku sadar betul bahwa pasiennya pasti selalu nomer satu... tapi kok tetap sakit ya di campakan begini? Aku kuat gak ya nantinya ketika ada hal-hal yang tak terduga dalam rumah tangga kami?
Dan pada akhirnya, malam itu aku hanya bisa diam sambil sesekali meneteslan air mata. Entah kenapa malam ini aku jadi mudah menangis karna hal sepele dan ketakutanku sendiri. Dalam diam, aku turun dari ranjangku... mematikan selang infusku dan berjalan ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Menjalankan sholat isya, dan mencurahkan segala ketakutanku pada Dzat yang maha membolak-balikan hati.
"Ya Rabb, Engkau cukup bagiku sebagai penolong atas suamiku, lembutkan hatinya padaku, palingkan hatinya padaku, tundukkan hatinya padaku, dan jadikan aku mencintainya sehingga dia datang padaku dengan tunduk tanpa menunda-nunda, sibukkanlah dia dengan mencintaiku, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
"Inhale, Exhale, yakinkan diri kamu, kamu pasti bisa!."
Ucapku menyemangati diri sendiri di tengah kegelapan malam.**
Beberapa hari berikutnya, aku tetap bekerja di Puskesmas. Yah karna kontrakku habisnya mulai bulan depan, dan sekarang baru tanggal enam... maka aku harus kembali bekerja di sini setelah lima hari absen karna sakit. Sedangkan mas Narve tak kalah sibuknya dengan bekerja di dua Rumah Sakit dan segudang operasinya.
Mungkin sudah sekitar dua hari mas Narve sibuk dan membuat kita tidak bertemu. Hanya sesekali saja bertukar kabar melalui telephone genggam. Namum tiba-tiba, ketika aku sedang jaga KIA di puskesmas, ada adik PKL yang datang padaku dan mengabariku kalau ada pria yang ingin bertemu denganku di parkiran.
"Mba... mba Erine masih ada pasien?"
Tanyanya padaku sambil berdiri di ambang pintu."Enggak... udah pukul tiga juga de, kenapa?"
"Itu ada yang nyari di parkiran"
"Siapa? Kenapa gak masuk?"
"Gak tau mba... pria tampan yang nyari dengan bau yang masyaAllah wangi sekali."
Katanya sambil tersenyum malu padaku."Siapa namanya?"
"Gak tau mba, cepetan samperin deh mba kalau penasaran. Saya pulang dulu ya mba... mari"
Dengan langkah ragu, setelah mengemasi barang-barangku dan memasukannya ke dalam tas ransel, aku berjalan menuju tempat parkiran. Namun langkahku terhenti ketika mba Dini memanggilku untuk meminta bantuanku.
"Hari ini free gak Er? Boleh minta tolong tukar jadwal jaga?"
Katanya sambil memelas."Jangan Erine deh Din... kasian suaminya udah jemput dari tadi."
Kata mas Windu yang datang dari pintu utama."Noh suamimu udah jemput dari tadi, kasian kepanasan. Mana masih pake baju jaga. Kayanya baru pulang dari RS. Matanya kelihatan lelah gitu. Cepat pulang sana, temani tidur suamimu."
Ucap mas Windu panjang lebar lalu berjalan ke arah kantin."Maaf ya mba Din... aku duluan"
Kataku pada mba Dini kemudian berjalan cepat ke arah parkiran. Dan benar saja, aku menemukan suamiku itu sedang berdiri sambil menyenderkan tubuhnya pada mobilnya sedang menatapku yang keluar dari pintu utama.
"Mas kok kesini?"
Tanyaku padanya, dia tak menjawab pertanyaanku, hanya tersenyum lalu mengusap kepalaku lembut."Kangen, jadi jemput kamu kesini"
Katanya sambil tersenyum lagi."Kok gak kabar-kabar kalau mau jemput?"
"Biar jadi kejutan."
"Tapi aku bawa motor"
"Yauda aku yang bawa motor, kamu yang bawa mobil biar gak kepanasan. Aku ngikutin kamu dari belakang."
"Hah gak mau... aku bawa motor aja, mas ngikutin dari belakang."
"Oke"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SATU CIRCLE
Teen FictionCircle cenderung mengarah pada lingkaran atau kelompok pertemanan. Sama halnya dengan seorang gadis yang bernama Erine Rose Defiana, dia mempunyai sahabat bernama Whily yang selalu ada untuknya. Persahabatan itu semakin hari tumbuh menjadi cinta. Na...