Hadiah

236 17 3
                                    

Dokter Narve benar-benar aneh sekarang, bahkan aku seperti tak mengenalnya seperti saat dia menjadi dosenku dulu. Aku mulai merasakan ada perubahan atau perbedaan sikap padaku belakangan ini. Seperti dia mau repot mengantarkan aku pulang padahal dia sendiri capek baru pulang kerja, berusaha melindungiku dan selalu ada untukku, lebih terbuka padaku, perhatian dan masih banyak lainnya.

"Kita mampir ke mall dulu boleh?"
Katanya bertanya padaku, dan kujawab hanya dengan anggukan.

"Wah parkirannya penuh ya... parkir di luar gak papa ya?"

"Iya gak papa"

Mobil dokter Narve mendapat parkir di depan Stadion Gajahyana. Stadion tertua di Indonesia menurut yang pernah aku baca di buku sejarah kota Malang. Stadion ini mulai menjadi pusat kota pada tahun 1924 hingga 1926. Pada tahun 2007 area samping Stadion Gajayana menjadi MOG atau Malang Olympic Garden. Stadion Gajahyana menjadi markas utama klub Arema Indonesia selain Stadion Kanjuruhan.

Stadion Gajahyana juga menjadi markas klub sepak bola asal Kota Malang, yakni Persema Malang, Malang United, dan NZR Sumbersari. Parkiran Stadion ini biasanya juga digunakan untuk pengunjung MOG. Hari ini malam minggu, otomatis mall memang ramai dengan anak muda, atau keluarga yang ingin jalan-jalan di mall dan sekitaran Stadion.

"Dokter mau cari apa?"

Tanyaku padanya, dia menoleh kearahku, lalu tangannya menggenggam tanganku mengajakku untuk berjalan kembali setelah dia melihat ke arah bawah dekat eskalator. Aku berusaha melepas genggamannya karna perlakuan dia membuatku tidak nyaman. Jangan sampai ya hati ini merasa nyaman mendapat perhatian-perhatian kecil dari dia. Dia juga sepertinya tak masalah ketika aku melepaskan genggamannya.

"Dokter mau cari apa?"
Tanyaku sekali lagi karna dari tadi kita hanya berkeliling.

"Kayanya gak ada deh"
Katanya kemudian setelah berkeliling dari lantai dasar sampai lantai tiga.

"Dokter mau cari apa sih?"
Tanyaku mulai tak sabar karena tak mendapat jawaban dari beliau.

"Ke situ aja yuk bentar, terus makan di situ"

"Ck..."
Aku hanya berdecak ketika pertanyaanku tak dia jawab. Kebiasaan memang orang satu ini. Selalu seenaknya sendiri.

Aku mengikutinya dari belakang saat dia memilih-milih donat untuk dia bawa pulang. Kemudian langkah kami berhenti pada sebuah brand butik wanita yang menjual berbagai kerudung, mukena, dan pakaian wanita.

"Ini bagus gak menurut kamu?"

"Bagus"

"Coba pake deh"

Dia menyampirkan kerudung segi empat warna hitam motif batik putih itu di kepalaku, kemudian mengarahkanku untuk menghadap kaca di sampingku. Kemudian dia mengambil lagi kerudung warna biru dan cream dan di pakaikannya lagi padaku.

"Cantik"
Katanya lalu melepas kerudung itu dan membawanya ke kasir.

"Maksudnya lo"

"Totalnya Rp. 1.292.500 pak, sudah termasuk diskon 5%"

Aku menoleh kearahnya saat mba kasir itu menyebutkan harga ketiga kerudung tadi, gila... gila, dan dia dengan santainya membayar dengan mengeluarkan kartu debitnya. Jiwa miskinku seolah berteriak, hanya tiga kerudung seharga satu juta lebih? Itu mah kalau dipakai beli di pasar dekat rumah sudah bisa beli satu lusin lebih mungkin.

"Kamu gak mau beli apa-apa mumpung disini Er?"

"Gak... lagi gak pengen apa-apa sih"

"Mau makan dulu gak? Kamu sukanya apa?"

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang