Pengakuan

236 17 2
                                    

Saat pesta pernikahan Whilly sedang berlangsung, dokter Narve mengajakku menepi duduk di dekat kolam renang. Duduk di kursi paling pojok dengan meja bundar yang terbuat dari kayu dan marmer dan dihiasi berbagai keramik kuno dan bunga mawar warna putih.

Suasana hotel yang nyaman dan sepi membuatku sedikit betah berada disini dari pada di ballroom yang terkesan ramai tadi. Beberapa pancaran lampu berwarna kuning hangat dan alunan musik tempo dulu membuatku mengingat suatu moment 17 tahun lalu.

Flashback On

Saat itu usiaku masih 6 tahun. Mama dan ayahku yang selalu sibuk dengan pekerjaaannya, membuat orangtuaku sering menitipkanku pada nenekku. Rumahnya tak jauh dari sini, berada di kawasan Klojen, sekitaran Kampoeng Heritage Kajoetangan. Waktu itu, aku yang setaip hari selalu bersama nenek yang sedang sakit karna beliau didiagnosis sakit gagal ginjal, dan harus melakukan cuci darah atau hemodialisis selama dua kali dalam seminggu, menjadi saksi betapa tersiksanya nenekku saat beliau telat melakukan terapi cuci darah.

Sebenarnya nenekku bukan tidak punya uang untuk membiayai terapi itu, beliau cukup mampu membayarnya sebagai pasien umum, karna dulu belum ada BPJS. Tetapi karena suatu hal terjadi pada pagi itu, dimana tiga orang kakak ayah datang meminta uang hasil dari dari nenek menjual kebunnya. Mereka merampas semua uang nenek, padahal uang itu untuk membiayai terapi cuci darah nenek. Aku yang masih kecil dan tak mengerti apa-apa itu hanya diam menyaksikan keributan pagi itu.

Aku masih ingat saat itu beliau menangis pilu sambil memegang dadanya karna perlakuan bude dan pakdeku di ruang tamu. Kemuadian setelahnya beliau mengeluh matanya buram, badannya lemas dan sakit semua, ayah yang tau kejadian itu di siang harinya, berusaha menjual mobilnya untuk perawatan nenek selanjutnya karena kawatir dengan kesehatan nenek.

Setelah kepergian ayah, nenekku mengajakku ke hotel ini. Aku tak begitu ingat nama hotelnya waktu itu, yang aku ingat hanya taman di depan hotel yang terdapat gramafon raksasa. Memesan satu kamar dengan bed king size untuk kami.

Kemudian dimalam itu nenekku bercerita banyak hal tentang kenangan bersama mama dan papanya di tempat ini. Dulu nenek adalah anak dari pasangan Indo-Belanda, karena terjadi sesuatu hal, dia harus kehilangan kedua orangtuanya, dan dia ditemukan sedang dalam keadaan sekarat di pelataran rumahnya oleh orang pribumi yang baik hati dan mau merawatnya hingga besar.

Keesokan paginya, setelah semalaman nenek mengajakku berdansa, dan memberiku sebuah liontin pemberian mamanya dulu, aku menemukan nenek yang tertidur damai disampingku. Karna tak kunjung bangun, aku mencoba menggoyangkan badannya, namun dia juga tak mau bangun.

Aku menangis berteriak sejadi-jadinya hingga seorang pelayan hotel datang membantu kami. Nenekku dilarikan ke Rumah Sakit terdekat, dipasang alat-alat yang entah untuk apa di badannya. Beberapa perawat dan dokter memberikan bantuan pada nenek, tapi nenek tetap tak mau bangun dan dinyatakan meninggal di pagi menjelang siang itu. Saat ayahku menangis tersedu-sedu di pojok UGD itu aku sadar jika nenekku tak akan pernah kembali memelukku lagi.

Flasback Off

"Kamu kenapa?"
Suara lembut itu bertanya kepadaku saat aku sedang melamun.

"Ha... kenapa?"
Tanyaku balik bertanya kepada pria di sampingku.

"Kamu nangis?"
Tanyanya sekali lagi sambil mengamati wajahku, lalu mengusap air mataku lembut dengan jarinya.

"Owh iya.... enggak. Mataku perih aja rasanya."

"Kamu sedih karna mantanmu nikah?"
Tanyanya menatapku dalam.

"Enggak"
Jujurku padanya.

"Lalu kenapa?"

Kali ini matanya menatapku lembut, tersimpan kekawatiran di dalam sana. Tiba-tiba bayangan wajah nenekku hadir kembali dari ingatanku. Air mata itu kembali jatuh, aku menangis tersedu-sedu dihadapannya. Kangen rasanya dengan perempuan tua yang dulu selalu memanjakanku waktu itu.

"Menangislah kalau itu membuatmu lega. Kemudian nanti ceritakan padaku apa yang membuatmu menangis, agar hatimu lega."
Katanya sambil menepuk-nepuk pundakku lembut.

"Aku hanya ingat dan kangen nenekku"

"Terlalu banyak kenangan yang menyakitkan di hotel ini"

Aku ceritakan apa yang terjadi 17 tahun lalu padanya, dia pria pertama yang aku percaya untuk mengetahui cerita masa lalu keluargaku yang kelam. Ada raut terkejut di wajahnya, manun kemudian dia dapat menetralkan kembali.

"Lagu yang kamu dengarkan ini adalah lagu berbahasa Belanda yang menceritakan begitu berharganya Hindia-Belanda bagi mereka. Tidak hanya tentang kekayaan alamnya, namun juga keindahannya."

"Ini lagu yang waktu itu diputar saat nenekmu berdansa denganmu?"

Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan dokter Narve sambil mendengarkan lagu yang diputar berulang-ulang dari restaurant hotel ini.

in de maan verlichte nacht
(Di malam bulan purnama)
als ik t'rug denk aan die mooie tijd
(Ketika saya mengingat kembali masa indah itu)
dan huil ik zacht
(Dan aku menangis pelan)

Vaarwel mijn dromenland
(Selamat tinggal alam mimpiku)

jouw oceaan (lautanmu)
vaarwel mijn dromenland
ver hier vandaan (jauh dari sini)
vaarwel mijn dromenland
mijn hart doet zeer (hatiku sakit)
vaarwel mijn dromenland
ik zie jou nooit meer (aku tidak pernah melihatmu lagi)

"Lagu yang indah namun menyakitkan bukan?"

"Memang selalu ada cerita menyedihkan tentang penjajahan dan keturunannya."

"Dan... hanya anak durhaka yang bisa menyakiti ibu kandungnya sendiri. Uang memang bisa merusak segalanya Er."

Katanya sambil menerawang jauh, lalu memandangku lembut lalu memelukku erat yang membuatku tersentak dan badanku menegang atas perlakuan tiba-tibanya.

"Sudah terlalu banyak luka yang menyakitimu. Sekarang please, biarkan aku menjaga keramik yang mudah pecah ini."

"Keluarga kita punya cerita yang sama, pernah kecewa, dan merasa sakit dengan perlakuan saudara kita, walaupun ceritanya sedikit berbeda. Kita sama-sama punya darah keturunan yang sama, van Duitsen bloed. Lalu kenapa kita tidak bersatu saja sekarang?"

"Maksudnya?"

"Erine... aku bukan pria yang romantis yang bisa mengungkap perasaan dengan kata-kata indah dengan membawa setangkai bunga. Kita sudah sama-sama dewasa, perasaan sayang dan cinta gak harus di ungkapkan seperti para remaja yang sedang menjalani cinta monyet."

"Sudah banyak bulan kita lewati menjadi seorang teman. Berbagi suka dan duka bersama. Selama berbulan-bulan itulah aku menyaksikanmu bersama beberapa laki-laki lain. Mereka datang dan pergi, menyakitimu dan meninggalkanmu."

"Aku tahu hari-hari berat untukmu dan aku selalu ada di sampingmu. Karena aku temanmu. Hingga aku sadar, Kamu tidak butuh mereka. Kamu butuh aku menjadi temanmu. Untuk itu, hari ini, aku akan tetap memintamu jadi temanku. Sehidup semati, kini dan nanti hingga selamanya."

"Jika selama ini aku mampu, ragukah Kamu untuk menjadikan kebersamaan ini jadi selamanya? Aku mencintaimu, itulah alasannya. Be my wife, Er!"

***

Taman Cerme

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Taman Cerme

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang