Ruwet

121 15 1
                                    

"Omongannya tolong dijaga ya pak, saya sudah bilang kalau saya dan mba Erine itu gak ngapa-ngapain. Kita juga duduk berjauhan, mana yang dibilang zina sih?"

"Alah... mana ada maling ngaku?"

"Terserah"
Ucap dokter Dimas frustasi.

"Ada apa pak? Saya dari tadi juga disini gak ada yang aneh-aneh kok sama mereka berdua."

"Ini ada CCTV, dari pada buat fitnah dan salah paham monggo bisa dicek dulu kalau pak lurah mau. Maaf biar gak merugikan teman-teman saya pak."
Kata mas Windu mencoba jadi penengah.

"Saya gak mau tau, berduaan di dalam satu ruangan sudah melanggar hukum adat."

"Mulai sekarang desa kami gak butuh bidan kaya kamu, kamu kemasi barangmu sekarang dan serahkan kunci polindes ini sama saya. Besok terakhir."
Ucapnya kemudian berlalu pergi.

Aku tak menanggapi marahnya pria itu, yang aku lakukan hanya memandang dokter Dimas dan pak Lurah itu saling adu mulut membela dirinya masing-masing. Sampai akhirnya pak lurah itu pergi meninggalkan kami menggunakan motor trailnya.

"Gila ya itu orang, bikin fitnah aja."
Ucap dokter Dimas pada kita setelah berbalik dari arah pak Lurah.

"Oalah pak sama bu bidan yang sabar, pak lurah mungkin lagi cemburu buta."

"Cemburu buta gimana maksudnya bu?"
Tanya mas Windu pada perempuan tua yang sedang mengendong cucunya itu.

"Itu pak mantri, pak lurah kan selama ini suka mata-matain bu bidan, bapak suka sama ibuk. Sering tanya-tanya ibuk sama saya, mbak nem dan bu ida. Sering kirim makanan juga dititipin ke saya, tapi bu bidan jarang pulang ke sini kalau pas pak lurah titip makanan, jadi basi saya buang."

"Kapan hari tau bu bidan di antar mobil bagus warna putih, pak lurah tau juga marah-marah lo pak, dan suruh ngawasi saya. La sekarang malah tau pak dokter ini pacaran di sini sama bu bidan, ya tambah marah cemburu."

"Pak lurah itu suka sama bu bidan pak mantri."
Cerita wanita itu menggebu-gebu pada kita.

"Oalah mba Nem, suka ya suka.. tapi kok ya bodoh temen. Orang bertamu dikira pacaran. Kasian pak dokter ini sama bu bidan akhirnya. Kalau bidan kita di usir terus kalau ada orang mau lahiran atau periksa gimana?"

"Namanya juga cemburu buta bu Ida."

Lagi-lagi, aku tak menanggapi obrolan mereka yang ada di depanku. Aku lebih memilih melihat pesan whatsaap yang baru masuk dari dokter Bernad. Rupanya bapak Lurah baru itu benar-benar mengadu pada kepala Puskesmasku, dan memintaku menghadapnya besok pagi setelah selesai jaga.

Aku hembuskan napasku kasar, cobaan macam apa ini Ya Rabb.. kenapa selalu ada masalah akhir-akhir ini? Rupanya ancaman pak Lurah itu benar-benar serius. Kapan hari saat beliau berkunjung ke Polindes dan menemuiku, beliau menawarkan sebuah perjanjian. Aku bisa tinggal disini dan melanjutkan karirku jika aku mau menikah dengannya, namun jika tidak, maka beliau akan menghalangi dan menghambat pekerjaanku.

**

Puskesmas pagi ini tiba-tiba ramai dengan gosib aku yang melakukan zina dengan dokter Dimas. Mereka yang dari awal tak suka padaku sangat bersemangat menceritakan kesana kemari tentang fitnah ini.

"Kok bisa gini sih Er? Kok kasian gitu sih kamu"
Tanya Hatisah padaku.

"Tapi udah kamu tunjukin belom video CCTV nya ke dokter Bernad?"
Kali ini mba Dini yang bertanya padaku sambil memandangku iba.

"Udah"

"Terus-terus?"
Kali ini bu Maryam yang menuntut jawabanku.

"Yaudah mau gimana lagi, aku bakal digantikan sama mba Nanda. Aku kerjanya di KIA sekarang bukan bides lagi."
Jawabku seadanya.

"Yah apes"

"Tapi gak papa, kamu lebih aman disini to, dari pada di desa di gangguin bapak itu terus. Pria biasanya kalau udah cemburu suka nekat lo Er. Kamu harus selalu waspada sama ancamannya itu."
Kali ini bu Maryam berbicara dengan hati-hati.

"Iya... kok aku jadi takut ya, gimana-gimana dia pria dewasa Er. Kamu kalau lewat di desanya pas mau kesini kudu hati-hati."

"Hmem, kata Windu sama Dimas kamu pernah diancam kan? Bu Mer kawatir lo Er sama kamu."

"Bu Mer jangan bikin takut adek saya, bdw kaya gitu bisa di laporin gak sih? Kan ancaman ya?"
Tanya mba dini pada kita semua yang diangguki oleh Hatisah.

Sedikit banyak, omongan bidan koordinatorku ini memang masuk akal. Aku harus lebih berhati-hati pada pak lurah, tapi masak iya sih dia senekat itu? Apa iya aku perlu waspada? Entahlah, pikiranku saat ini benar-benar ruwet.

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang