Aku menurunkan tanganku dari dahinya. Dengan cepat mas Narve mendekat kearahku dan menarik tengkukku dan menempelkan hidungnya dengan hidungku, kemudian menggesekannya berkali-kali. Tangan kirinya dia sisipkan di antara leher dan telingaku untuk mengunci tubuhku agar tetap berdekatan dengannya.
Mataku membulat dengan perlakuannya yang tiba-tiba. Aku syock, tubuhku mematung, sedangkan pikiranku buntu harus memberontak atau menurut dengan pria di depanku ini.
"Caramu mengecek suhu tadi tidak akurat"
Katanya pelan sambil masih memejamkan matanya dan menggesekan hidungnya."Seperti ini baru akurat"
Lanjutnya kemudian.Beberapa detik kemudian aku dengan cepat melepas kuncian tangannya dan menjauhkan wajahku dengan wajahnya. Jantungku mulai tidak sehat dan berdetak lebih cepat. Aku mencoba menetralkan jantungku dengan memalingkan muka dan berdehem.
"Emm.. itu justru tidak akurat, aku pergi beli paracetamol dulu"
Kataku memecah keheningan dalam ruangan 4x5 meter persegi ini. Aku mencoba bangun dari dudukku, tapi lagi-lagi tangan besar itu mencegahku.
"Kita pulang saja"
"Gak usah beli, dirumah banyak."
Katanya santai sambil tersenyum, kemudian bangun dari duduknya dan menggandeng tanganku kembali menuju parkiran. Diam-diam aku memperhatikan wajahnya yang begitu santai setelah melakukan hal yang membuatku menderita penyakit takikardi ini. Sial apa dia tidak merasakan berdebar juga seperti diriku?
**
"Mas, harusnya cwo itu bagian nyetir"
Ucapku pada mas Narve ketika kita berhenti di lampu merah."Aku pengen disetirin kamu sayang"
"Alasan"
"Nanti aku yang masak dirumah, kamu kebagian nyetir"
"Emang bisa masak?"
"Bisa"
"Beneran? Emang enak"
"Iya"
Sekitar 25 menit perjalanan dari Rumah sakit, mobil yang aku kendarai kini telah masuk di kawasan perumahan milik dokter bedah disebelahku ini. Dia turun untuk membukakan pagar rumah, kita pulang menggunakan mobilku, sedangkan mobilnya dia tinggal di Rumah Sakit. Dia berjalan menuju dapur setelah mengganti pakaiannya menjadi lebih santai, setelahnya membuka kulkas mengambil sesuatu disana lalu meletakannya di meja.
"Masak apa?"
"Sup"
"Sini aku bantu"
"Ndak usah, kamu duduk aja"
"Sayang sini deh"
Perintahnya padaku sambil memegang sendok yang sudah terdapat kuah supnya."Kenapa?"
"Coba cicipin"
Aku berjalan mendekat kearahnya, berdiri tepat didepannya dan meminta sendok yang dia pegang itu, namun dengan tersenyum tipis mas Narve memegang tanganku dan mengarahkan tangannya untuk menyuapiku. Aku menurut, tapi ketika sendok itu sudah hampir di depan bibirku dan aku akan menerima suapan itu...
Tiba-tiba saja mas Narve menjauhkan sendok itu kembali dariku dan mendekatkan bibirnya ke bibirku. Dengan lembut aku merasakan benda kenyal berwarna merah itu menyentuh bibirku. Tiga detik kemudian melumat bibirku sekali, ada rasa manis saat bibir kami saling bertemu.
Lagi dan lagi, aku di buat kaget akan perlakuan mas Narve yang tiba-tiba itu. Tanganku dingin, badanku kaku, pikiranku seketika juga berhenti sejenak. Mas Narve masih menatapku dalam, dengan cepat dia mematikan kompor yang ada di samping kami tanpa mengalihkan pandangannya terhadapku.
Tangannya mencoba menahan tengkukku, dia mencoba mendekat dan mencium bibirku kembali. Namun aku mencoba menahan dada bidangnya dan menolehkan wajahku agar dia tak menciumku kembali.
"Kenapa?"
Tanyanya dengan nada kecewa, namun aku tak mampu menjawab. Yang aku lakukan hanya menunduk. Bagaimana bisa dia mencuri ciuman pertamaku saat dia belum menikahiku."Emm.. maaf aku harus pulang"
Dengan cepat aku sedikit mendorong dadanya agar memberiku ruang untuk kabur, namun usahaku sia-sia. Mas Narve tetap mengunciku dengan tangan dan badannya yang besar. Dia melumat bibirku sekali lagi dengan sedikit kasar, menahan belakang kepalaku agar aku tak bisa lepas dari ciumannya.
Namun beberapa saat kemudian ciuman kasar itu melembut lagi. Lama kita saling memandang satu sama lain, sampai akhirnya ada suara bu Elanie yang mengagetkan kami berdua.
"Wes nikah o ae rek (udah nikah saja)"
Ucapnya menggunakan bahasa jawa."Daripada buat dosa"
Lanjutnya kemudian sambil melihat ke arahku dan anaknya bergantian.Aku mendorong badan mas Narve agar sedikit menjauhiku, seperti maling yang sedang ketauan mencuri, aku hanya diam menunduk tak berani bersuara. Aku tak berani memandang bu Elanie saat ini karna kesalahan kami berdua. Sial mas Narve benar-benar kurang ajar mempermalukanku dua kali di hari yang sama. Mungkin tidak hanya mempermalukanku, tapi juga menurunkan harga diriku di depan mamanya.
"Kamu ya gitu.... anak orang main dicium aja"
"Minta sama bapaknya dulu mas"
Omel bu Elanie pada anaknya, tapi terkesan memarahi aku juga."Mama sudah lama?"
"Sudah sejak kalian berciuman yang pertama tadi"
"Kamu jangan mau dicium-cium sembarangan sama dia Er"
Kata bu Elanie sambil meletakan bungkusan kresek di meja makan sebelah kami. Kemudian beliau berjalan keluar melewati pintu belakang rumah mas Narve.
"Ih kamu sih mas"
"Ibu marah tu... main nyosor aja sih, terus gimana ini?
"Mas... gimana coba"
Kataku mengulang pertanyaanku karna mas Natve tak kunjung menjawab."Yaudah sih tinggal nikah aja. Gitu aja kok repot"
"Ya tapi namaku udah jelek mas... dimata ibu"
"Tinggal dibaikin lagi, gampang"
"Gampang gimana, kamu menyepelekan ya mas"
"Ya terus gimana?"
Kata mas Narve kemudian terkesan tidak peduli sambil berjalan melewatiku kearah ruang tengah. Duduk disana sambil menyalakan televisi.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SATU CIRCLE
Teen FictionCircle cenderung mengarah pada lingkaran atau kelompok pertemanan. Sama halnya dengan seorang gadis yang bernama Erine Rose Defiana, dia mempunyai sahabat bernama Whily yang selalu ada untuknya. Persahabatan itu semakin hari tumbuh menjadi cinta. Na...