Nine

205 15 0
                                    

Tiga bulan magang pada Bidan Praktek Swasta atau Mandiri adalah salah satu syarat untuk mengambil ijazah D III Kebidanan selain target-target seperti menolong partus normal dan lainnya pada praktik kerja lapangan di kampusku telah terpenuhi. Maka dari itu, kami mau tak mau mulai mengisi kekosongan waktu kami untuk menjadi asisten bidan di pilihan kami.

"Mau magang dimana rencananya?"
Fya bertanya padaku sambil mencatok rambutnya.

"Belum tau"

"Beb, magang di BPM nya bu Elanie aja yok.. banyak pasien disana. Ibu orangnya juga baik"

"Ah maleslah ada mida mida itu"

Jawabku asal. Karna sebenarnya memang dari sekian banyak bidan yang aku pernah ikuti, hanya bu Elanilah yang enak menurutku. Beliau tidak pernah marah-marah dan mencampuri urusan pribadi kita.

Dalam diam, aku memperhatikan beberapa mahasiswa baru memakai atasan putih dan bawahan kain hitam yang akan mengikuti orientasi mahasiswa. Mereka terlihat polos dan lucu-lucu, mungkin diriku tiga tahun lalu juga seperti itu. Masuk kesini karna menghindari permintaan mama yang ingin memasukanku ke PGSD, dan asal ikut kuliah bareng Nilla, alhasil kini aku lulus juga. Masih gak percaya sebenarnya bisa lulus tepat waktu pada gelombang pertama.

"Hai bengong aja Er"

Aku tersenyum saat mendapati Rizal dan Anggi teman seangkatanku namun beda prodi sedang mengagetkanku. Aku lihat mereka seperti frustasi membawa beberapa buku tebal seperti kitab suci yang aku tahu itu jilidtan skripsi mereka.

"Udah beres semua kamu Er syarat buat ambil ijazahnya?"
Tanya Anggi yang kepalanya dia tempatkan di lipatan tangannya sambil menghadapku.

"Belum, tinggal magang doang tiga bulandi BPM"

"Ish ribet banget jadi bidan, mahal pula spp nya"

Aku hanya tersenyum menanggapi Rizal yang berkomentar tentang profesiku. Aku kira dulu untuk menjadi bidan itu sama dengan yang mereka pikirkan. Kuliah tiga tahun, lulus, bisa buka praktek di rumah dan bekerja di rumah sakit, klinik, atau puskesmas. Nyatanya tidak, setelah lulus kita harus ujian kompetensi, magang, mengikuti beberapa pelatihan dan masih banyak lagi yang memerlukan biaya yang tidak sedikit.

"Udah sekolahnya mahal, gajinya kecil pula. Sepupuku bidan PTT di desa gajinya tiga bulan sekali baru cair say. Per bulan hanya 600 ribu. Dapat apa coba"

Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum menanggapi ocehan mereka. Mau membantahpun percuma kalau memang kenyataannya seperti itu kan? Tapi Tuhan itu maha baik, Rezeky itu pasti ada saja.

"Beb disini ternyata..."
Nilla menghampiriku dengan dua lembar kertas ditangannya.

"Ini kertas buat daftar magang, tadi aku udah tanya bu Elani, katanya oke gakpapa kita magang disana. Mbak Pubi sama mbak Mida juga udah gak disana. Ada asisten ibuk yang baru namanya mbak Ajeng"

"Hah kamu sudah bilang?"

"Iya, tadi aku pas ambil kertas ini beliau tanya mau magang dimana.. terus aku kepikiran buat tanya boleh gak kalau aku dan kamu magang di beliau. Jawabnya boleh"

"Nanti ya beb kita ke klinik beliau. Main-main dulu sambil tanya kapan bisa mulai."

"Sip okeh"
**

Siang menjelang sore, Nilla menjemputku untuk pergi ke klinik bu Elani setelah mendapat balasan dari beliau bahwa beliau sedang berada di klinik dan mempersilahkan kami main. Kurang lebih satu jam menggunakan motor, kami sampai di klinik beliau. Klinik terlihat ramai oleh pengunjung. Karna setiap hari selasa dan sabtu, di klinik terdapat pemeriksaan ANC dan USG murah.

"Beb, habis dibangun ya BPM nya"

"Iya kayaknya"

"Rame nih beb masihan. Ibu masih sibuk kayaknya. Kita tunggu atau masuk ikut bantu ya?"

"Gak tau enaknya gimana?"

"Masuk aja yuk iku bantu"

"Yuk"

"Permisi mba, bu Elanienya ada?"

"Ada.. tapi beliau masih asisteni dokter Reza di dalam. Ada perlu apa ya mba?"

"Emm..."
Nilla menyenggol tanganku karna dari tadi aku hanya diam menatapnya berinteraksi dengan asisten ibu.

"Gantian kamu yang ngomong"

Bisik Nilla kepadaku. Tapi belum sempat aku bicara, ibu tiba-tiba muncul dari pintu sebelah ruang periksa.

"Nilla sama Erin udah datang ya... sini bantuin mbak Ajeng. Bantuin mba Ajeng TTV sama menghitung usia kehamilan ya Nilla. Ibuk mau lihat pasien partus dulu di belakang."

"Er sini, bisa bantu asisteni bapak USG?"

Tanganku langsung dingin. Jujur saja aku belum pernah sama sekali jadi asisten dokter kandungan. Didalam harus bagaimana dan melakukan apa?

"Emm bisa, tapi saya harus tindakan apa aja ya bu? Maaf tapi saya belum pernah jadi asisten dokter obgyn"

"Ohw gampang, ayok sini ibuk ajari"

Aku mengikuti beliau masuk disalah satu ruang pemeriksaan. Di dalam sana AC nya dingin sekali, mungkin karena ruangan ini tidak terlalu besar makannya AC nya terasa sekali. Dan aku heran, kenapa para dokter itu suka sekali dengan ruangan dingin seperti ini, dosen-dosenku yang berprofesi sebagai dokter dulu selalu protes jika ruangan kelas kami tidak dingin saat beliau mengajar.

"Sini Er, nanti saat pasien datang dan berbaring di tempat tidur, kamu hanya perlu membantu membukakan pakaian dan memberikan gel di perut bagian bawah ibu, setelah selesai USG kamu bersihkan dengan tissue ini. Saat USG selimuti ibu ya. Gampang kan?"

Aku mengangguk tanda mengerti. Dokter didepanku itu tersenyum kepadaku. Kami beberapa kali pernah bertemu dulu saat aku praktik semester empat dan menginap dirumah beliau. Aku membalas senyumnya dan mulai memanggil antrian yang sempat tertunda.

"Namamu siapa dek?"
Tanya dokter Reza kepadaku saat matanya sibuk memperhatikan monitor USG.

"Erine dokter"

Beliau mengangguk, lalu sibuk menjelaskan kepada pasutri di depanku ini tentang kondisi sang ibu dan janin sambil matanya terus memperhatikan monitor di depan. Aku membersihkan sisa gel tersebut di perut ibu saat beliau sudah berpindah ke meja kerjanya. Kemudian merapikan tempat tidur dan selimut sambil mendengarkan beberapa pertanyaan pasien kepada dokter Reza.

"Er sini, itu ibunya tanya beliau sering mengalami sembelit waktu hamil. Coba jelaskan hal itu normal tidak?

Buset... dokter Reza ini tipe dokter yang suka ngetes asistennya ternyata. Sama persis seperti anaknya dokter Narve, yang terus mengejar mahasiswanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat kita gelagapan ketika menjawabnya.

"Emm bunda, selama hamil, kadar hormon dalam tubuh bunda akan berubah dan hal tersebut dapat memengaruhi kerja beberapa organ tubuh, salah satunya sistem pencernaan. Jadi, gangguan pencernaan yang bunda rasakan, misalnya sembelit, sebetulnya adalah hal yang normal terjadi."

"Untuk meringankan konstipasi atau sembelit, bunda bisa memperbanyak minum air putih setiap harinya, rutin berolahraga, serta mengonsumsi makanan kaya serat, seperti sayuran dan buah-buahan."

Untuk pertanyaan seperti tadi itu sih aku sudah sangat hapal sekali jawabannya. Tapi kemudian pertanyaan- pertanyaan dokter Reza berikutnya membuatku hanya tersenyum dan menggeleng.

"Lebih banyak membaca dan belajar lagi ya.. biar kita bisa bantu banyak orang seperti tadi. Seneng kan kalau pasien kita keluar ruang periksa tersenyum puas karna pelayanan kita maksimal pada mereka?"

Nasehatnya sambil tersenyum kepadaku. Aku mengganguk patuh mengiyakan pernyataannya sebelum beliau pamit untuk pulang.

"Dah istirahat. Teriakasih ya Rin"

"Terimakasih kembali dokter"
***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang