Sebuah Ancaman

107 19 6
                                    

Beberapa hari berlalu, bahkan kini telah menginjak bulan baru. Aku yang sudah lama tidak bertemu dan kontak dengan bapak Lurah yang sempat memfitnagku itu kini dipertemukan kembali saat aku menjenguk mantan ibu kaderku yang masih berhubungan baik denganku. Karna aku merasa tidak nyaman adanya mata yang terus mengawasiku itu, aku putuskan untuk pamit terlebih dahulu meninggalkan mba Nanda yang juga ikut menjenguk denganku.

"Bu Tutik, mohon maaf saya pamit duluan. Ada janji soalnya. Ibu cepat sembuh ya."
Ucapku tulus pada ibu yang sedang duduk di ranjang pasien itu.

"Loh mau kemana bu? Masih kangen lo saya bu.. masih ingin cerita banyak."
Kata bu Tutik, kader posyandu yang aku jenguk.

"Loh sebentar Er, pulang sama aku kan? Kamu gak bawa motor lo."

"Ndak mba, aku bareng mas Narve aja. Gak papa kan mba? Mba kan rumahnya di dekat sini, kasian kalau suruh nganter aku."

"Aku gak papa sih... dokter Narve praktek disini juga? Emang polinya udah selesai Er?"

"Sudah kayanya"

"Kayanya? Tunggu sini aja, nanti biar doi jemput kesini. Calon suaminya ganteng lo bu Tutik, kalau jemput kesini kan nanti ibu tau."

"Wah kenalin atuh bu bidan sama calon suaminya."

Aku hanya tersenyum kikuk menanggapi permintaan bu Tutik dan mba Nanda. Aku kode-kode mas Windu untuk menolongku dengan kontak mata, namun pria umur tiga puluh lima tahun itu sama sekali gak peka dan menatapku bengong. Aku ketik pesan kepada mas Windu secara diam-diam hingga akhirnya mas Windu bangkit dari duduknya.

"Aduh... akhir-akhir ini perutku gak enak banget ya"

"Begah rasanya. Udah minum obat magh reda sedikit."
Ucap mas Windu itu kepada kita yang ada diruangan berisikan tiga bed pasien yang semuanya full ini.

"Asam lambungmu naik kali mas, periksa sana. Mumpung disini."
Ucapku pada mas Windu dengan tatapan memohon.

"Nah iya bener juga, mau periksa ke poli aja. Dokter Narve kan bedah digestif ya?"
Tanyanya padaku yang aku angguki.

"Lah kan gak bisa kalau gak bawa surat rujukan dari Puskesmas mas Windu. Kecuali kamu mau umum"
Kali ini mba Nanda yang menanggapi.

"Bisalah Nan, ini loh aku bawa pawangnya, ayok Er anterin aku ya"
Kata mas Windu lalu pamit kepada bu Tutik dan lainnya.

Aku ikuti mas Windu yang sudah dulu keluar dari kamar rawat inap bu Tutik. Kemudian berlari kecil mengejar langkahnya yang panjang itu, kita saling pandang lalu cekikikan berdua di lorong yang lumayan sepi ini.

"Terimakasih ya mas"

"Hmem... sama-sama"

"Kamu pintar acting juga ternyata"

"Windu gitu lo, apa yang gak bisa, yaudah aku belok kiri ya... kamu terus kan?"
Katanya sambil tertawa di akhir kalimatnya.

"Iya"

Aku susuri lorong Rumah sakit dari rawat inap menuju poli yang ada di bagian depan Rumah Sakit ini saat sudah berpisah dengan mas Windu. Sebenarnya aku belum ada janji sama sekali dengan mas Narve, dia bahkan juga tidak tau kalau aku ada disini, dengan tergesa-gesa, aku mengeluarkan handphoneku lagi dari tasku, mencari nama mas Narve dan memencet tombol call.

Beberapa kali aku ulangi memencet tombol call itu, mungkin tiga kali, namun hanya nada sambung yang selalu aku dengar. Ya... dia tak mengangkat telephoneku. Aku putuskan untuk berjalan terus ke arah poli bedah, yang ternyata sudah sepi. Aku menghela napas kecewa, dan duduk di bangku kosong yang kebetulan ada disana.

"Mana pacarmu yang katanya ganteng itu? Hahaha"
Kata pria yang entah kapan datangnya ini, tiba-tiba sudah ada di bangku belakangku aja.

"Mana?"

"Ternyata benar, kamu pamit karna menghindariku kan? Haha"

"Erine... sombong sekali kamu berani menolakku?"

"Kamu harusnya bersyukur ada yang menginginkan dirimu, tapi kamu malah menolaknya. Aku jadi penasaran, yang mana pacarmu itu? Apa jauh lebih baik dariku?"

"Kata Nanda tadi dokter ya? Dokter apa tadi? Haha kamu gak tau aja Er, dokter sekarang gaya elit, ekonomi sulit. Aku kasian aja sama kamu kalau akhirnya dapat zonk, udah pegawai sukarela, dapat suami yang gajinya juga kecil. Nangis kamu nanti."

"Ni ya... kalau kamu mau ni sama aku, hidupmu bakal enak, karirmu sebagai bidan desa bakal kembali. Tak buatkan kamu tempat praktek dan rumah yang besar...."

"Oh dari wajahmu kamu tetap menolak ya sepertinya, kamu belum tau siapa aku aja Er. Kalau orang lain tidak mendapatkanmu, maka lelaki lain juga tak akan mendapatkanmu, aku bisa melakukan apa saja sampai aku mendapatkanmu.."
Katanya sambil meremas tanganku.

"Maaf pak, saya harus pergi"
Aku tarik tanganku dari remasan tangannya, dan aku putuskan pandanganku dari matanya yang tajam itu.

Sebisa mungkin aku masih bersikap sopan padanya, aku berjalan cepat ke arah depan pintu utama sambil sedikit berlari. Namun ketika aku menengok ke arah belakang untuk memastikan bapak Lurah itu tidak mengikutiku, aku malah dibuat frustasi karna ternyata dia juga berjalan cepat ke arahku sampai akhirnya aku menabrak seseorang.

"Maaf"
Ucapku sambil berdiri.

"Maaf saya..."
Ucapku terpotong karna melihat sosok orang yang sedang aku tabrak.

"Kamu kenapa? Kamu baik-baik saja?"

"Wajahmu seperti ketakutan"

"Tolong aku"
Ucapku pada sosok pria didepanku itu memohon dengan sedikit ketakutan.

"Kamu kenapa?
Ucapnya lagi sambil memegang lenganku.

"You oke?"


***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang