"Menyebalkan"
Ucapku ngedumel sendiri di sepanjang lorong Rumah Sakit ini."Gak bisa apa ngomong langsung, kenapa harus lewat kertas resep, bikin malu aja"
Ucapku lagi dengan expresi kesal dan berjalan dengan sedikit menghentakan kakiku. Namun sekejap kemudian aku baru sadar kalau kini aku sudah tersesat. Mencoba mengingat-ingat kembali jalan yang aku lalui tadi, akhirnya setelah berputar-putar dan bertanya pada orang sekitar aku menemukan jalan keluarnya juga.
Aku memutuskan untuk terus berjalan menuju parkiran tempat mobilku berada tanpa ingin menunggu mas Narve. Namun tiba-tiba ada tangan besar yang mencekal lenganku saat aku akan membuka pintu mobilku.
"Aku kan udah pesan suruh tunggu"
Katanya sambil menatapku serius."Bandel banget sih, jarang mau nurut"
"Ih... mas Narve"
Kataku kemudian setelah terpesona dengan penampilannya yang selalu rapi, walaupun terdapat sedikit keringat di dahi mulusnya."Mas bikin malu tau gak... aku diketawain orang kasir tau, mas itu bisa gak sih ngomong langsung gitu atau paling gak whatsapp, atau telephone kek, atau apalah gitu yang gak bikin aku malu. Menyebalkan"
Ucapku kesal tanpa terputus."Wkwkwk, oh... itu"
Kata mas Narve sambil tertawa yang membuatnya semakin tampan. Dih please Er, jangan terpesona dan luluh gitu aja dengan pria di depanmu. Ingat saat ini masih mode marah."Ya kamu sih.."
Ucapnya lagi masih dengan tertawa."Kamu apa?"
"Tertawain aja terus... gak ada yang lucu tau"
"Wkwkw jangan marah dong, tambah cantik aja kalau marah gini"
"Let's wrap it up"
Mas Narve mengambil tanganku dan mengenggam tangan kananku, kemudian menuntunku untuk ikut dengannya menuju kedalam Rumah Sakit kembali."Mau kemana?"
Tanyaku padanya."Nurut aja"
"Masuk sayang"
Perintahnya saat kita sudah sampai di depan ruangannya."Gak mau"
"Why?"
"Bukan mahram"
Ucapku masih ketus."Telat... dari tadi kita sudah pegangan tangan"
Katanya memprotes ucapanku.Mas Narve menyuruhku duduk di kursi panjang yang dulu pernah kubuat untuk tidur menungguinya saat dia ada tindakan pembedahan dulu. Dia duduk disebalahku setelah mengambilkanku minuman dingin di kulkas kecil yang berada di bawah mejanya.
"Mau menyelesaikan apa?"
Tanyaku padanya karna dia tak mengajakku ngobrol sama sekali. Yang dia lakukan hanya bersandar di sofa sambil memejamkan matanya."Sudah selesai"
Katanya menjawab pertanyaanku, namun aku masih bingung dengan maksudnya sudah selesai."Maksudnya?"
"Sudah selesai, aku tau kita masih bisa bersama, dan kita akan bersama lagi."
"Maksudnya loh"
"Aku masih sayang kamu, kamu juga. Kamu masih ingin bersamaku, aku juga."
"Tau darimana? PD banget"
"Nih"
Jawabnya lagi sambil memberiku handphone mahalnya."Apa? Buat aku? Gak mau"
"Ck"
Katanya berdecak sambil membuka kunci handphonenya, setelahnya mengutak-atiknya."Nih coba dengar"
Perintahnya sambil menyodorkan lagi handphonenya. Aku mengambil handphone berlogo buah apel itu, kemudian memencet tombol on pada rekaman suara yang ditampilkan dilayar handphone itu. Awalnya hanya terdengar suara isakan tangis seorang wanita namun aku membulatkan mataku saat aku sudah sadar itu suara siapa.
'Mah... mama hiks hiks, aku sayang dia ma'
Sadar itu benar-benar suaraku, aku mempause rekaman suara itu. Namun mas Narve lagi-lagi merebut handphone itu dan melanjutkan mendengarkan rekaman itu sambil tersenyum jail kearahku.
'Some days it's really really hard. To just move. It's... umm.., it's hard to get out of bed. it's hard to even go downstairs to get something to eat.'
'Aku sadar gak bisa jauh dari mas Narve ma'
'Aku rindu suaranya ma, aku rindu tawanya sehabis menggodaku, aku rindu berdebar saat akan bertemu dengannya, aku rindu saat- saat kita bersama, aku rindu semua tentangnya mah hiks..'
'Kangen tapi gak bisa bilang dan bertemu ternyata sesak banget ma'
'I can't stand anymore'
"Mas... stop ih"
"Sesayang itu ya kamu?"
Tanyanya padaku sambil tersenyum jail lagi."Dah... fix kita balikan lagi"
Katanya santai sambil menyandarkan badannya pada sofa lalu memejamkan matanya lagi."Udah sih Er, gak perlu ngeliatin aku kaya gitu. Aku sadar kok kalau aku ganteng"
Katanya PD masih sambil memejamkan matanya. Tangannya dia gunakan memijat pelipisnya."Dih"
Ucapku setelahnya, aku buka minuman dingin yang diberikan mas Narve tadi, kemudian meneguknya untuk menghilangkan rasa panas dan malu pada diriku. Bisa-bisanya mama sekongkol menjebakku dengan mas Narve.
"Mas"
Aku memanggilnya setelah kita lama terdiam, namun tidak ada jawaban darinya."Mas"
Aku toleh mas Narve yang masih setia memejamkan matanya."Mas, are you oke?"
Aku mendekat kearahnya dan memperhatikan gerakan dadanya masih bernapas atau tidak."Mas"
"Hmm"
"Are you oke?"
"Hanya sedikit pusing"
"Mas Narve sakit?"
Tanyaku sambil mengecek suhu badannya dengan menempelkan tanganku ke dahinya. Saat tanganku sudah menempel di dahinya, mas Narve membuka matanya dan menatapku. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat itu.
"Ngapain?"
Tanyanya padaku."Maaf, cuma ngecek aja"
Kataku kemudian, lalu aku menurunkan tanganku dari dahinya. Dengan cepat mas Narve mendekat kearahku dan menarik tengkukku dan menempelkan hidungnya dengan hidungku, kemudian menggesekannya. Tangan kirinya dia sisipkan di antara leher dan telingaku untuk mengunci tubuhku agar tetap berdekatan dengannya.
Mataku membulat dengan perlakuannya yang tiba-tiba. Aku syock, tubuhku mematung, sedangkan pikiranku buntu harus memberontak atau menurut dengan pria di depanku ini.
"Caramu mengecek suhu tadi tidak akurat"
Katanya pelan sambil masih memejamkan matanya dan menggesekan hidungnya."Seperti ini baru akurat"
Lanjutnya kemudian..
.
.***
KAMU SEDANG MEMBACA
SATU CIRCLE
Teen FictionCircle cenderung mengarah pada lingkaran atau kelompok pertemanan. Sama halnya dengan seorang gadis yang bernama Erine Rose Defiana, dia mempunyai sahabat bernama Whily yang selalu ada untuknya. Persahabatan itu semakin hari tumbuh menjadi cinta. Na...