Tragedi Kanjuruhan

232 21 1
                                    

Beberapa bulan Nilla tak pernah menghubungiku, mungkin karena dia marah karena aku tetap melanjutkan hubungan dengan anak bos tempatnya bekerja. Sebelelumnya, dia sempat mengakui bahwa dia juga tertarik pada pria yang kini berstatus pacarku itu, dia ingin persahabatan kita tidak rusak karna mencintai pria yang sama. Maka dia menyarankan untuk melepaskannya untuk persahabatan kita.

Tapi aku terlalu egois, aku tak mau mengambil keputusan itu untuk persahabatan kami. Aku tetap melanjutkan hubunganku dengan mas Narve, pria yang aku cintai. Nilla sempat marah padaku dan menyebutku sahabat yang egois. Sahabat yang mementingkan perasaannya sendiri dan tak mau berkorban untuk persahabatan kita. Hingga dia tak pernah lagi membalas pesan maaf dariku. Dia juga selalu menghindar saat aku main ke tempat kerjanya. Hingga suatu hari, tiba-tiba Nilla datang ke Polindes.

"Nilla, ngapain berdiri disitu? Kok gak ngetok pintu sih?"
Tanyaku padanya yang dibalas dengan senyum manisnya.

"Aku kangen"
Katanya sambil memelukku tiba-tiba.

"Beb, mau posyandu ya? Aku boleh gak sih nemenin kamu seharian ini?"

"Boleh sih, tapi kamu gak kerja?"

"Enggak, aku ambil libur. Dan kayanya aku mau berhenti kerja, capek kerja terus."
Katanya sambil tertawa sumbang, lalu tersenyum lagi menatapku.

"Kenapa? Ada masalah?"

"Enggak, capek aja. Ini ambil vaksin dulu ke puskesmas beb?"

"Iya"

"Aku bonceng ya?"

"Jalannya sulit kalau habis hujan gini. Aku aja yang bonceng ya?"

"Oke"
Katanya singkat. Aku heran dengan perubahan sikap dia yang tiba-tiba ceria, sepanjang perjalanan aku lihat dari spion dia juga selalu tersenyum.

"Kenapa beb?"
Tanyanya padaku saat dia mengetahuiku aku sedang memperhatikannya.

"Nilla kamu sakit ya? Kok pucet sih? Maaf ya, kaya ada yang aneh gitu."

"Enggak. Aku tuh pingin nemenin kamu aja beb seharian ini. Kamu risih ya beb?"

"Enggak sih"

"Kamu tiap hari lewat jalan kaya gini beb? Jalan masih dari tanah dan sawah-sawah gini? Loh bukan jalan umum ya? Itu kaya belakang rumah orang, tuh bener ada kandang kambing."

"Permisi pak"
Kataku menyapa bapak yang sedang memberi makan kambingnya di belakang rumahnya.

"Enggeh bu, monggo."
Balasnya ramah.

"Loh beb, disini rumahnya masih nyepit-nyepit gitu ya. Dapat listrik dari mana ya mereka?"

"Disini rumahnya memang berjauhan Nil, kebanyakan warganya awam informasi dan masuk-masuk kaya gini. Aku gak di posyandu aja, biasanya juga door to door biar semua bisa kejangkau sama pelayanan kesehatan."

"Terus kamu tau dari mana kalau misal ada lansia sakit, bayi dan balita, atau odgj."

"Dari kader, kita kerjasama dengan kader, RT, RW, kamitua, dan perangkat desa. Banyak warga sekitar juga yang kasih info saat posyandu. Jadi ya sehabis posyandu kita samperin kalau orangnya memang gak datang, kita lakukan, pendekatan, pendataan, dan KIE."

"Wah kerja keras juga ya kalian yang di plosok-plosok gini. Tapi kadang masih disalahkan aja sama yang atas ya, kurang dihargai juga."

"Kita gak butuh pengakuan dari mereka bahwa kita kerja Nil, yang penting kita bener-bener kerja untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, dan mengurangi angka kematian ibu dan bayi."

"Kalau paraji beb? Disini masih ada?"

"Ada, banyak. Tapi kebanyakan dari mereka sudah sadar Nil, bukan ranah mereka untuk menolong persalinan. Kita kerjasama juga sama dukun beranak. Biasanya mereka yang bawa ibu inpartu ke Polindes, bagian mereka ya memandikan bayi itu. Setelah inpartu selesai, ya biasanya kita kasih tipslah sama mereka."

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang