Perubahan Sikap

206 20 1
                                    

Semenjak kejadian malam dimana Nilla menasehatiku untuk selalu berhati-hati dengan dokter Narve dan menjauhinya, hatiku menjadi selalu diliputi rasa serba salah pada pria yang sekarang ada di depanku ini, pasalnya hatiku sudah nyaman dengannya, tapi disisi lain ada perasaan takut jika aku hanya dibuat mainannya saja. Sudah dua hari ini aku tak pernah merespon whatsapp darinya atau panggilan telephonenya, alhasil dia datang ke Polindes dengan muka lelah.

Dokter Narve yang aku kenal selalu berpenampilan rapi, sekarang menemuiku dengan penampilan yang amburadul. Rambutnya yang selalu tertata rapi kini kelihatan hanya asal disisir.

"Mas Narve kalau capek kenapa gak tidur aja di rumah? Habis kerja gak capek memang? Kok malah kesini."

"Kamu kenapa gak balas whatsappku?"

"Emm.. aku sibuk"
Bohongku padanya.

"Sesibuk apa?"
Tatapannya mulai menajam menelisik ke dalam mataku. Suaranya juga seperti mengintimidasiku.

"Akhir bulan banyak laporan yang harus dikerjakan mas, paginya posyandu. Gak sempat pegang handphone"

"Yakin gak sempat pegang handphone?"
Tanyanya terus mengintrogasiku.

"Iya"
Takut dengan tatapannya yang mesakin tajam itu aku memutus kontak mata dengannya. Lebih memilih melihat televisi yang kini sudah aku nyalakan di ruang tamu Polindes.

"Bukan karena Nilla kan?"

"Ha... maksudnya?"

"Aku yakin kamu tau maksudku"
Katanya dingin masih menatapku

"Er tatap aku"
Katanya lagi sambil memegang daguku supaya aku menatapnya.

"Aku sayang sama kamu, aku serius dengan hubungan ini, dan InsyaAllah aku akan menikahimu. Apa pernyataanku terdengar seperti nada bercanda?"
Aku menggeleng.

"Lalu apa kamu punya perasaan yang sama denganku?"
Aku menggeleng lagi lalu kemudian mengangguk.

"Kamu ingin lanjut gak sih Er?"
Tanyanya seperti orang frustasi sambil mengusap kasar wajahnya.

"Selama dua hari ini jauh dari aku apa kamu baik-baik saja?"

Aku menggeleng menjawab pertanyaannya, aku jujur kali ini. Aku memang sungguh merasa kesepian saat dia tak ada kabar. Suaranya sudah membuat candu akhir-akhir ini. Ada rasa rindu saat aku tak mendapat kabar dan mendengarkan suaranya setiap hari.

"Maaf"
Kataku kemudian.

"Maafin aku"

"Aku gak akan maksain kamu kalau kamu gak mau lanjut Er. Aku akan pergi kalau kamu minta."

Aku menatap wajahnya kaget saat dia mengucap kata pergi. Wajahku pias, mataku terasa panas hingga butiran-butiran bening itu keluar dari bendungannya.

"Jangan pergi"
Ucapku lirih padanya.

"Mau berjuang bersama sampai halal?"
Tanyanya memastikan sekali lagi, dan aku mengangguk menjawab pertanyaannya yang membuat dia tersenyum.

"Jangan mudah terpengaruh lagi, kalau ada masalah atau ada yang ingin ditanyakan langsung tanyakan padaku. Kalau aku gak jawab cepat, mungkin aku lagi ada di OK, atau mungkin tidur karena lelah seharian bekerja."

"Hubungan biar langgeng, harus saling percaya dan terbuka. Jangan pernah dengar kata orang yang belum tentu benar. Mulai sekarang, kalau ada masalah kita diskusikan sama-sama, kita cari solusinya bersama, jangan jalan sendiri ya?"

Aku mengangguk lagi setuju dengan pernyataannya. Ya Tuhan, terimakasih karna telah memberikanku lelaki sesabar dia yang bisa menghadapi sikapku yang menyebalkan dan plinplan ini. Lelaki dewasa yang selalu matang dalam memberi arahan, lelaki yang pandai menyelesaikan masalah hidup dengan tidak mengedepankan emosi dan lelaki yang bisa meningkatkan kualitas hidupku.

"Terimakasih"
Katanya lembut sambil mengusap kepalaku.

"Sekarang keluar yuk, aku lapar belum sarapan"

"Aku masak, dokter mau gak ya masakan sederhanaku?"

"Jangan kelepasan panggil dokter terus. Aku jadi diingatkan kerja kalau kamu panggil gitu."

"Maaf, aku ambilin ya, alergi udang gak?"

"Enggak, nasinya dikit aja"

Katanya mengikutiku ke dapur ala kadarnya yang hanya disekat dengan partisi penyekat dari kayu. Kemudian membawa piring yang sudah terisi nasi, sayur dan udang tersebut ke ruang tamu. Aku berjalan ke kulkas untuk mengambilkannya infused water kemudian berjalan ke ruang tamu menemani dia makan.

Beberapa saat kemudian, aku meninggalkannya sendiri karna ada beberapa pasien berobat dan KB. Setelahnya aku kembali mendapati dia sudah tertidur di sofa dengan piring bekas makannya yang telah di cuci. Aku tersenyum sendiri melihat sikapnya yang selalu melakukan hal kecil seperti mencuci piring sehabis makan atau bersih-bersih padahal kebanyakan pria tidak melakukan itu, mereka biasanya berfikiran sudah lelah bekerja jadi melinpahkan semua tanggung jawab rumah tangga pada perempuan.

"Hebat sekali ya didikannya bu Elanie dan pak Reza ini"
Batinku dalam hati, aku selimuti tubuhnya dengan selimut yang biasanya aku pakai di kamarku, kemudian pergi mengerjakan kembali laporan dengan menggelar karpet di lantai.

**

Malam harinya, Nilla whatsaap padaku dengan marah-marah karena dia melihat status whatsapp dokter Narve yang memperlihatkanku sedang duduk dibawah mengerjakan laporanku dengan caption love warna merah.

Nilla Puri
Kamu gimana sih beb, katanya iya mengerti sama nasehatku kemarin tapi sekarang ketemuan lagi. Pokoknya aku gak tanggung jawab ya kalau kamu sampai sakit hati lagi gara-gara dokter Narve. Sadar diri Er, dia siapa dan kamu siapa. Kalian beda kasta, dan belum tentu juga bu Elanie mau menerima kamu sebagai menantunya yang biasa-biasa saja.

Nilla Puri
Mbohlah Er, terserahmu sekarang.

Aku menghela napas panjang saat membaca pesan Nilla yang panjang dan sedikit menyakitkan itu. Apa aku salah melangkah? Dokter Narve sosok yang baik menurutku, tapi apa benar bu Elanie sosok ibu mertua yang mencari mantu dengan derajat yang sama? Lagi-lagi hatiku galau kembali. Takut jika diriku tak diterima keluarganya, takut jika aku tak mendapat restu dari keluarganya.

***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang