Bell Malam

230 12 4
                                    

"Pukul 21.00. Tutup yuk istirahat"

Perintah mbak Ajeng padaku dan Nilla yang masih menonton televisi dengan terkantuk-kantuk. Mbak Ajeng terlihat membereskan uang dan nota di tas kecil, sedangkan aku pergi mengambil kunci dan gembok pagar.

"Mbak aku tidur di bawah aja ya, takut kalau ada partus gak denger kaya kemarin"
Minta Nilla pada mbak Ajeng.

"Yaudah tidur bawah semua aja.. ambil kasur dulu ya di kamar atas"
Perintah mba Ajeng pada kami.

Klinik ini sebenarnya cukup luas jika hanya dijadikan sebagai rawat jalan dan bersalin saja. Karna terdapat beberapa kamar. Di bagian depan ada taman dan parkiran khusus pasien, setelahnya ada gerbang dan garasi kecil untuk karyawan.

Pada lantai satu terdapat meja pendaftaran, dan dua ruang periksa pada bagian depan, setelahnya melewati lorong kecil di bagian tengah terdapat sofa set besar untuk ruang tunggu ibu bersalin yang dilengkapi dengan tv besar dan aquarium. Ada juga dua kamar bersalin, kamar asisten bidan, tiga kamar nifas, kamar mandi pasien, dan dapur umum di bagian pinggirnya.

Sedangkan di lantai dua terdapat beberapa kamar untuk mahasiswa praktek, ruang cuci, dan kamar mandi khusus karyawan. Di lantai satu ada sebuah pintu yang menghubungkan klinik dengan rumah bagian belakang dokter Narve kata mba Ajeng. Entah pintu itu yang mana aku juga belum pernah tau karna bangunan belakang ini baru di renovasi.

"Besok jumat bersih ya.. semoga malam ini gak ada partus jadi bisa bangun pagi"
Kata mba Ajeng sambil menarik selimut.

"Guys... kalau ruangan yang di renov itu selesai rencananya bakal ada klinik kecantikan sama klinik gigi."

"Iya kah mba?"
Tanyaku penasaran.

"Iya.. ibu pengen ini tuh ada klinik rawat inapnya. Masih pengajuan ke dinkes"

"Owh berati ada dokter umumnya yang jaga mba?"

"Iya ya kalau rawat inap"

Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan mba Ajeng. Kemudian memejamkan mataku sambil membaca doa. Baru saja mataku terpejam beberapa jam, suara bel klinik di pencet beberapa kali. Berusaha membuka mata ketika masih ngantuk itu berat memang, aku coba meraba-raba kunci gembok yang ada di meja sambil membangunkan mba Ajeng.

"Mba Ajeng partus kali ya"

"Hah.. bukain gerbang dulu Er."

"Duh baru tidur, jam berapa ini? Jam 2 masihan"
Pertanyaan Nilla dia jawab sendiri.

Mendengar bell yang di pencet tidak sabaran, aku sedikit mempercepat jalanku walaupun masih sempoyongan. Sesampainya di gerbang, aku melihat mobil sedan hitam mengkilap terparkir pas di depan sana.

"Ck lama banget"

Ucapnya seenaknya, sambil membantuku mendorong gerbang. Kemudian dia masuk kedalam mobil dan memarkirkan mobilnya di dalam garasi. Aku segera menutup pintu gerbang saat aku lihat dia telah mematikan mesin mobilnya. Baru selesai mengunci pintu gerbang, ada bapak dan ibu yang menggendong anaknya lari tergopoh-gopoh ke klinik.

"Mba.. mba masih buka kan ya?"
Aku membuka gerbang itu kembali mempersilahkan ibu itu masuk.

"Mba suami saya kena gergaji mesin"

Aku melirik suami ibu tersebut yang memang seperti menahan sakit. Tangannya dia balut dengan handuk tebal. Aku mempersilahkan keduanya untuk masuk kedalam terlebih dahulu. Malam-malam seperti ini apa yang dilakukan bapak tersebut sehingga terkena gergaji pikirku sambil mengambil underpad dan memasangnya di bawah tangan bapak tersebut.

Menyiapkan kasa steril, nacl, dan hecting set. Membuka pelan handuk yang membalut tangan bapak tersebut. Jujur ini pengalaman pertamaku melihat luka seperti ini. Aku deep luka tersebut dengan kassa steril untuk memastikan pendarahan tersebut apakah masih aktif, dan memastikan pembuluh darah vena di tangannya tidak putus.

"Pak ini lukanya lebar, saya jahit gak papa ya?"
Izinku pada bapak tersebut.

"Monggo bu bidan"
Jawabnya pasrah.

Dokter Narve yang masih ada di sini ternyata mengamatiku dari tadi. Aku yang semula percaya diri ketika akan menjahit luka bapak didepanku jadi sedikit ragu saat tau dia berdiri di belakangku. Aku yang hanya seorang bidan, sok-sokan akan menjahit luka menganga sekitar 3 Cm ini.

"Pak saya suntik bius dulu ya biar gak sakit waktu dijahit?"

Kataku ragu-ragu. Sedangkan bapak tersebut hanya mengangguk pasrah. Menunggu beberapa saat, sambil terus ditatap orang di belakangku. Duh nanti kalau salah gimana? Kok mba Ajeng sama Nilla ini lama banget gak kesini sih, dokter ini juga ngapain gitu ada di sini. Sibuk memikirkan hal itu, tiba-tiba aku dikagetkan ada yang mengikat rambutku dari belakang, saat aku menoleh ternyata dokter Narve yang melakukan.

"Kalau tindakan rambutnya jangan digerai. Udah lanjutkan. Jangan terlalu lama menunggu"
Ucapnya pelan namun terdengar merdu di telingaku.

Aku bersiap menjahit luka tersebut sambil mengingat-ingat proses hecting luka ketika dulu aku ujian praktek hecting dengan media daging bebek. Bismillah ucapku dalam hati lalu menjahit luka tersebut. Ternyata menjahit luka di tangan tidak segampang yang aku bayangkan. Perlu tenaga cukup kuat karena kulit ditangan terasa lebih kenyal daripada di perinium atau daging bebek.

"Udah cantik lagi pak tangannya"
Ucap sang ibu sambil tersenyum.

Aku amati lagi hasil jahitanku di tangan bapak tersebut sebelum memberikan sofratulle dan menutupnya. Rapi kok, lumayanlah batinku dalam hati. Walaupun menurut dokter bedah dibelakangku ini mungkin belum tentu bagus dan rapi.

"Bapak ini obatnya ya diminum 3X1 setelah makan semua. Yang antibiotik ini wajib dihabiskan ya pak biar bakterinya ndak kebal. Sudah saya tulis habiskan. Dan ini untuk nyerinya saja, kalau sudah tidak nyeri, boleh tidak diminum."

"Kalau bisa seminggu lagi kontrol ya bapak"
Kataku sambil tersenyum ramah.

Setelahnya aku membereskan peralatan hecting set tersebut, mencucinya dan mensterilkan alat tersebut. Barulah disitu Nilla mulai bangun dan ke ruang periksa. Dan dokter Narve meninggalkan kami.

"Partus beb?"

"Bukan"

"Terus?"

"Hecting luka"

"Oh.. kok ada dokter Narve beb?"

"Iya tadi beliau yang mencet bell, terus ada pasien itu tadi"

"Oh kok tumben lewat sini, kan beliau punya gerbang utama di blok belakang"

Dan parahnya aku baru sadar apa yang dikatakan Nilla. Kenapa dia gak lewat di pintu gerbang rumahnya sendiri? Kenapa harus merecoki jam tidur kita?

"Dan ini kenapa ngikat rambut pake kasa beb?"

Aku meraba ikatan rambutku, lalu berjalan ke kaca bevel yang menghiasi ruang periksa ini. Dan benar saja, aku melihat rambutku di ikat dengan kasa yang dibentuk pita kecil. Dokter Narve memang keterlaluan batinku dalam hati, padahal di meja juga ada karet gelang, kenapa beliau malah pilih kasa.

"Bukan aku yang ikat Nilla. Tidur lagi yuk mumpung masih jam 3.00 WIB"
Kataku lalu pergi ke kamar untuk lanjut tidur kembali.
***

Hecting set: satu set instrumen yang digunakan untuk menjahit atau merawat luka.

Perinium: otot, kulit, dan jaringan yang ada diantara kelamin dan anus.

Nacl: Natrium klorida, juga dikenal dengan garam dapur, atau halit.

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang