Aku menundukan kepalaku sekedar menyapanya saat mata kami saling menatap. Kemudian berjalan melewatinya dan memilih duduk di bangku ruang tunggu poli bedah bagian belakang. Aku lihat sekeliling ruang tunggu lumayan ramai, mulai dari manula, sampai anak-anak ada di ruang tunggu ini, lalu aku menatap nomer antrianku.
'Nomor 26, pasiennya lumayan banyak juga ya'
Batinku dalam hati.Nomor antrian satu persatu mulai dipanggil, lumayan jenuh menunggu dalam waktu yang lumayan lama juga. Ada rasa sedikit mulas diperutku, dan jantungku mulai berdetak tak karuan. Hingga akhirnya asisten dokter bertubuh tinggi itu memanggil namaku.
"Nona Erine"
Panggilnya sedikit keras, aku berdiri dan berjalan ragu menghampirinya. Dia membukakan pintu ruang satu itu untukku, ketika pintu itu sudah terbua lebar, aku melihat sosok laki-laki bersneli putih lengan panjang yang bersandar di kursi kebesarannya sambil menatapku.
"Silahkan duduk mba"
Kata suster itu lagi dan aku menurutinya. Kemudian suster itu memberikan rekamedisku pada mas Narve."Maaf ini rekamedisnya dokter, kontrol pasca op appendicitis hari ke lima"
Terdapat helaian napas panjang dari mas Narve yang membuatku semula menunduk jadi mengangkat kepala melihatnya."Pasien terakhir bukan?"
Katanya bertanya pada sustet bertubuh tinggi itu."Emm, masih ada satu lagi dokter"
"Pasien apa?"
"Pasien post op juga dokter"
Terdengar helaan napas atau sighing dari dokter didepanku ini. Why? Bukankah sighing bisa menjadi pertanda stres karena merupakan bentuk refleks tubuh untuk menenangkan diri?
"Oke, thaks"
"Ada keluhan Er?"
Tanyanya padaku yang aku jawab hanya dengan menggelengkan kepala. Mulutku terasa berat untuk menjawab pertanyaannya, walaupun hanya dengan kata tidak ada. Aku benar-benar canggung sekarang ketika bertemu dengannya."Oke, baring sana yuk"
Katanya lagi padaku. Aku dibantu suster tadi menyelimuti badanku hingga panggul dan membuka perutku yang terdapat bekas luka operasi."Masih nyeri?"
Katanya lagi sambil menekan bekas operasi tadi. Sedikit ada rasa nyeri saat dia melakukan itu tapi masih bisa aku tahan."Kalau ditekan gitu ya nyeri"
Ucapku pelan yang membuat dia tersenyum lalu melihat sekilas ke arahku. Senyum itu... salah satu senyuman yang akhir-akhir aku rindukan. Senyum yang sekarang membuatku menyesal menolak permintaannya untuk kembali bersama kemarin. Bolehkah saat ini aku jujur padanya bahwa aku masih sangat menyayanginya?
"Maaf ya.. aku cuma cek aja lukanya rembes apa nda"
Katanya lagi sambil tersenyum yang membuatku semakin meleleh."Jahitannya nda aku lepas dulu ya, nunggu benar-benar kering."
"Iya"
"Kesini sama siapa?"
Tanyanya sambil membersihkan lukaku dan menutupnya kembali dengan plester."Sendiri?"
"Nyetir sendiri?"
"Iya"
"Udah jago ya sekarang?"
Katanya lagi sambil tersenyum menatapku. Ya Tuhan senyumnya... gak bisa aku tu di giniin sama mas Narve.Dia membantuku untuk bangun dari bed pemeriksaan ini. Namun karna sedikit gugup dan terburu-buru aku hampir saja terjatuh dari foot step atau tangga pasien untuk naik ke bed pasien. Jantungku memang selalu tidak baik-baik saja ketika ada mas Narve di dekatku. Entah aku yang over atau ini hal yang wajar buat orang yang mempunyai rasa pada lawan jenisnya.
"Hati-hati dong, nanti kalau jatuh gimana?"
Katanya sambil menahan tubuhku agar tidak terjatuh."Emm.. maaf"
Kataku padanya, dia tak menjawabku lebih memilih mengangkatku dan mendudukanku di bed."Ada yang sakit nda?"
Tanyanya lagi sambil memperhatikan kakiku."Nda ada mas.. aku baik-baik saja"
Jawabku yang dia balas dengan helaan napas panjang, lalu membantuku untuk turun dari bed."Pulang tunggu aku ya, kita bisa bicara kan hari ini?"
"Tinggal satu pasien kan mba?"
Tanyanya menoleh pada asistennya. Ya Tuhan aku sampai lupa kalau ada asistennya yang dari tadi memperhatikan kami."Eh... iya dokter. Tinggal satu"
"Masih perlu analgesik ndak Er?"
Dia bertanya padaku saat dia sudah duduk di kursi kebesarannya dan menuliskan sesuatu di rekam medisku."Nda perlu kayanya"
Dia melirikku lagi, kemudian menulis lagi di kertas resep. Dan asistennya menyuruhku untuk menuju ke administrasi sambil memberiku rekamedis atas namaku."Terimakasih"
Ucapku padanya dan asistennya yang di balas dengan ucapan sama-sama oleh asistennya. Sedangkan mas Narve hanya memberikan senyuman tipis kepadaku.***
Aku menunggu di kursi tunggu administrasi setelah menyerahkan rekamedisku. Banyak juga selain aku yang menunggu disini, selain kursi tunggu untuk administrasi bagi rawat jalan, disini juga ruang tunggu untuk pengambilan obat, jadi resep dari dokter langsung diserahkan ke bagian kasir.
"Atas nama nona Erine"
Ucap salah satu kasir yang ada di depanku, aku berdiri dan menghampirinya."Kontrol post op nya masih ditanggung bpjs ya mba sekarang, nanti kontrol yang kedua kalau tidak ada surat rujukan dari fasilitas kesehatan satu, maka otomatis jadi pasien umum."
"Baik"
Jawabku pada mba-mba kasir di depanku."Oh iya, ini kertas resepnya kayanya bukan untuk apoteker sini mba, melainkan buat mbanya"
"Ha... maksudnya mba?"
Tanyaku pada kasir tersebut heran."Ini mba"
Katanya lagi sambil memberikan kertas resep yang dimaksud padaku. Aku baca kertas resep tersebut yang ternyata bertuliskan :
'Tunggu aku di kantin dekat parkiran ya, aku tidak ingin ditolak kali ini. Jangan keras kepala lagi ya... gak enak kan nangisin aku semalaman 😘'
Tulis mas Narve dikertas resep tersebut yang pastinya sudah dibaca mba-mba kasir di depanku ini, terbukti dari tatapannya yang senyum-senyum menggoda sejak dari awal memanggilku. Aku menatapnya malu, namun mba-mba tersebut masih senyum menggodaku.
"Udah mba tunggu aja, dokter Narve ganteng baik lagi. Able banget orangnya. Hehe"
Katanya sambil menggodaku."Wah... mukanya mbanya merah, tambah cantik aja. Pantes dokter Narve suka. Menggemaskan sekali."
Kali ini mba-mba tersebut tertawa melihatku dan tambah semangat untuk menggodaku.Shit... mas Narve benar-benar buat aku malu, kenapa sih gak langsung ngomong atau whatapps aja. Buru-buru aku mengucapkan terimakasih dan pergi dari kasir tersebut.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
SATU CIRCLE
Teen FictionCircle cenderung mengarah pada lingkaran atau kelompok pertemanan. Sama halnya dengan seorang gadis yang bernama Erine Rose Defiana, dia mempunyai sahabat bernama Whily yang selalu ada untuknya. Persahabatan itu semakin hari tumbuh menjadi cinta. Na...