Mama Mertua

160 29 3
                                    

Aku meremas tasku, kemudian pergi dari poli KIA tanpa berpamitan kepada bidan-bidan yang ada disana. Kemudian berjalan menuju ruang bersalin yang biasanya selalu sepi jika tidak ada partus. Panggilan dari mba Dini aku hiraukan, aku rasanya ingin sendiri saat ini. Sejelek itu kah aku dimata mereka? Aku sama sekali tak pernah menolak permintaan tolong mereka, aku juga tak pernah mencari gara-gara kepada mereka. Tapi kenapa mereka seperti itu?

"Eh hei.... ada Eyin"
Ucap dokter Prita, saat kami hampir bertabrakan di depan Poli Gigi.

"Loh Yin, kenapa?"

"Nangis ya?"
Tanyanya padaku.

"Ndak dok, mari"
Ucapku sopan lalu berjalan melewatinya.

Aku masuk ke dalam Kamar Bersalin yang kebetulan sepi. Mataku rasanya sudah memanas sejak tadi, namun masih bisa aku tahan. Aku salah apa sama mereka? Kenapa mereka begitu jahatnya menilaiku seperti itu? Mungkin benar kata mas Narve, aku harus keluar dari lingkungan toxic seperti ini.

"Er... boleh mba Dini masuk?"
Tanya seseorang diambang pintu itu, aku tak menanggapi, namun orang itu tetap masuk dan menutup pintu Kamar Bersalin.

"Yin, kenapa?"
Kali ini dokter Prita yang bertanya, dokter gigi yang baru bekerja dua minggu disini itu mengelus-elus pundakku lembut.

"Maaf"
Kata mba Dini tulus yang membuat dokter Prita menoleh heran kepada mba Dini.

"Er, setiap orang pasti menginginkan lingkungan kerja yang sehat, nyaman, dan saling mendukung. Namun, tidak semua tempat kerja bisa memberikan suasana seperti itu. Bukan kamu saja, semua juga pernah di buat omongan seperti itu."

"Mba, bu Mer, bahkan bu Nilla yang pendiam dan alimpun pernah di gituin. Lingkungan kerja itu memang kaya gini Er. Saling sikut menyikut. Kejam memang. Walaupun waktu kamu masuk sini pasti dibilang sistem kerjanya kekeluargaan."

"Semua akan salah dimata orang yang gak suka sama kita. Semua akan baik di depan kita kalau mereka lagi butuh."

"Ini ngomongin lingkungan kerja yang toxic ya?"
Tanya dokter Prita pada mba Dini.

"Mba ngerti kamu pasti sakit hati, tapi tahan sebentar aja. Kamu juga habis ini gak disini kan?"

"Kenapa sih buk... kenapa Yin?"
Tanya dokter Prita, memaksa ingin tau.

"Bidan kenapa gitu sih? Saingan kalangan kalian gak sehat deh. Padahal kalau ngomongin Ikatan Bidan Indonesia itu ya kalian kaya rekat n kuat banget organisasinya. Ternyta persaingan kalian gak sehat."

"Dimana-mana kerja juga gitu dok. Mustahil kerja bareng-bareng gak ada yang bikin onar. Dokter taunya kaya gitu karana di Puskesmas ini ya kebanyakan bidan."

"Oalah... emang Putri diapain mb Din?"
Tanya bu Mer yang tiba-tiba keluar dari balik tirai salah satu bed paling pojok.

"Loh bu Mer disini? Sejak kapan?"

"Sudah dari tadi pagi... ngerjain laporan."

"Ya gitulah bu Mer, omongannya jahat banget."

"Sopo toh (siapa sih?)"

"Bu Sri sama bu Agus"

"Loalah, yawes biar put. Dulu sampai sekarang Sri ini kalau bilang suami ibu pernah suka sama dia. Nilla juga sering di rasanin kan? Yang katanya malas, takut suami dan masih banyak lagi. Nanti kamu kalau keluar juga bakal di bicarain terus kaya Nilla."

"Jadi mereka kaya gitu ya? Pantes pas Erine di jemput suaminya itu mi bilang gini 'Princes di jemput suaminya noh. Si buruk rupa yang ketiban bulan' gitu"

"Yawes biar, jangan tambah manas-manasin."
Kata bu Mer menyudahi obrolan ini.

"Biarin mereka ngomongin kamu kaya apa Put. Nanti lama-lama juga capek sendiri. Orang kalau belum bahagia emang suka gitu kok. Wes ayo kita pulang aja, sudah jam pulang."
Kata Bu Maryam kemudian beliau berlalu pergi.

🪴🪴🪴

"Kamu kenapa sayang?"
Tanya seseorang dengan lembut dari arah pintu belakang. Saat ini aku berada di rumah mas Narve, karna mamaku tadi siang mengusirku dari rumahnya dengan alasan kalau sudah nikah gak boleh jauh dari suami. Harus manut dan ikut suami.

"Anak mama memperlakukanmu dengan baik kan?"

"Mama"
Ucapku tersenyum mengetahui sosok itu adalah mama mertuaku.

"Apakah anak mama mencukupi kebutuhanmu dengan baik sayang?"
Tanyanya lagi sambil mengelus pundakku.

"Mas Narve baik ma... mas Narve juga mencukupi kebutuhan kami. Alhamdulillah."

"Lantas kenapa kamu melamun sayang? Sampai mama ketuk pintu berkali-kali kamu tidak dengar."

"Maaf ma..."

"Dimaafkan"
Ucap mama mertuaku itu sambil tersenyum.

"Maryam tadi telephone mama"

"Kenapa ma?"
Ucapku penasaran.

"Cerita kalau kamu nangis di Kaber."

"Hah... cerita gimana ma?"

"Nak..."
Ucap mamaku itu terpotong, lalu melihatku lama.

"Sedikit banyak mama tahu tentang kamu, banyak orang-orang yang kasih informasi ke mama tentang kamu."

"Karna kamu sekarang sudah menikah dengan mas Narve... maka kamu jadi anak mama juga. Mama gak pernah bedain kamu dan mas Narve. Bagi mama, kamu dan mas sama sampai kapanpun itu."

"Kalau kamu butuh teman curhat, kamu bisa datang dan ceritakan semua ke mama. Jangan orang lain."

"Orang lain bisa bersimpati di depan kamu, tapi ngomongin kamu di belakang sayang. Cerita kamu ke dia, bakal jadi bahan omongan dia."

"Mulai sekarang, jangan terlalu terbuka dengan orang lain. Oh iya sayang, satu lagi, kamu tau gak... ada yang lebih berbahaya dari omongan orang lain?"
Aku menggeleng tanda tidak tahu sambil menatap penasaran pada mertuaku itu.

"Yang paling berbahaya, bukan orang lain yang sering membicarakan hal negatif tentang kita. Tetapi kita yang sering mengucapkan hal negatif tentang diri kita. Mempersepsikan negatif tentang diri kita secara berulang-ulang tentang diri kita. Misalnya seperti, aku tidak bisa, atau aku gak ada apa-apanya. Karna itu akan membentuk belife symten kita, membentuk persepsi dan cara pandang kita terhadap diri kita sendiri. Dan pada akhirnya akan mempengaruhi hidup kita."

"Semangat ya...!"


***

Guys sebenarnya cerita ini bakal panjang banget karna belum masuk puncak masalahnya, menurut kalian udahan sampai sini atau mau diterusin?

Jangan lupa vote and commentnya ya?
Thankyou !

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang