Sabtu Sore

232 18 3
                                    

"Hidup memang selalu menang jika untuk orang-orang yang berada, segala hal apapun mudah, apa yang mereka inginkan, dan harapkan, mudah untuk di raihnya."

"Sedangkan orang yang minim ekonomi seperti aku rasanya hal apapun terasa sulit, harus dengan kerja keras inginkan segala sesuatunya. Tau gak Er.. Terkadang aku, ya... aku sendiri merasa benci dengan profesi "Bidan" yang aku sandang selama ini."

"Kenapa gitu mba?"

Siang ini aku dan mba Ajeng sedang mengobrol santai sambil melipat kasa, lebih tepatnya aku yang mengerjakan, sedangkan mba Ajeng hanya duduk menerawang jauh sambil menatap langit-langit ruang pemeriksaan. Sedangkan Nilla, dia sedang pergi dengan mahasiswa pkl ke minimarket depan gang.

"Er kamu bangga gak jadi bidan? Sekolah kita cukup mahal kan dan sulit? Kenapa kamu memilih bidan?Jawab jujur"

"Biasa aja sih, kalau boleh jujur memang sekolah dan mendapatkan gelar ini itu lumayan mahal dan sulit ya mba. Banyak orang yang ingin jadi bidan tapi kebanyakan mereka gak sanggup untuk membayar. Alhamdulillah saat itu aku masih dibiayai oleh orang tuaku. Kalau ditanya kenapa, ya karena awalnya ikut Nilla aja dan ternyata Allah memudahkan jalanku sampai saat ini."

"Yaudah ya sekarang jalani aja sih gak usah dijadiin beban. Kenapa sih mba?"

Mba Ajeng memperhatikanku, lalu tersenyum sinis kepadaku. Tangannya mengetuk-ngetuk meja, matanya menerawang jauh lalu kemudian bulir-bulir bening itu lolos keluar dari tempat persembunyiannya.

"Tau gak sih Er, hatiku sakit banget rasanya. Apa bidan gak berhak mendapatkan jodoh seorang dokter?"

"Semua punya hak yang sama kok mba. Bu Elani itu dapat dokter juga kan, spesialist obgyn lagi kan?"

"Iya.. kamu pengen suami dokter gak sih Er? Kalau kamu suka seorang pria, kamu kejar gak tuh pria?

"Aku ya mba? Kalau aku sih tau kapasitasku.. Tidak peduli sesuka apa aku sama pria tersebut, aku tidak akan pernah mencoba menarik perhatiannya, apabila aku merasa diriku ini jauh dari setara. Aku hanya akan memperjuangkan sesuatu yang memang pantas untuk aku dapatkan."

"Maksudnya gimana ya Er? Kok aku bloon ya?"

"Pertanyaan mba Ajeng ini tentang pria yang sulit digapai, 'kan? Berarti sudah menjelaskan bahwa pria itu memiliki level yang sangat jauh di atasku kan?"

"Prinsipku dalam mencari pasangan adalah aku tidak boleh kebanting dalam hal apapun. Aku tidak mau kekuranganku menjadi percikan masalah di kemudian hari."

"Tapi anaknya gak mau sama bidan Er"

"Hah.. maksudnya mba?"

"Katamu bu Lani dapat suami dokter kan? Lah tapi gak semua dokter yang mau cari pasangan selain dokter Er. Kebanyakan dokter nyarinya itu yang sesama dokter. Termasuk Narve ini"

"Ya itu sih tergantung orangnya memang mba. Jodoh siapa yang tau"

Kataku kemudian sambil mengangkat bahuku. Aku menatap mba Ajeng dalam-dalam, ada perasaan terluka disana. Apakah benar kata Nilla mba Ajeng menangis kemarin karna dokter Narve yang menolak cinta dia?

"Er, apa aku gak pantas untuk mendapatkan Narve? Kenapa dia selalu bersikap dingin kepadaku?"
Katanya kemudian padaku sambil mengenggam tanganku.

Jujur aku bingung harus menjawab apa padanya. Dia terlihat menyedihkan saat ini. Matanya sembab karena terlalu banyak menangis, tiba-tiba orang yang kami bicarakan tersebut keluar dari lorong menuju kami. Melihat mba Ajeng sekilas lalu menatapku.

"Boleh minta tolong?"
Aku menatap mba Ajeng, lalu ke pria di depanku ini.

"Mas Narve, apa gak bisa kamu pikirkan lagi. Aku sayang banget sama kamu, dari awal kita ketemu, aku sudah jatuh hati sama kamu, aku sangat ingin bersamamu. Tapi kenapa kamu selalu menghindar? Kamu selalu pergi, Kamu selalu diam ketika aku ajak bicara? Aku sudah berjuang keras untukmu mas.. kenapa kamu selalu bilang tidak bisa membalas perasaanku?"

"Apa karna aku yang seorang bidan kamu enggan bersamaku mas? Please jangan pergi, aku butuh kamu"

Kata mba Ajeng sambil menangis, tangannya ingin memeluk tubuh pria di depanku ini, aku yang menyaksikan drama itu nyata di depanku tersedak air liurku sendiri saking kagetnya dengan sikap mba Ajeng. Mba Ajeng benar-benar berani mengungkapkan perasaannya di sini. Aku lirik cctv diatas kami, ada titik menyala merah disana, itu tandanya cctv ini hidup dan merekam kejadian ini.

"Maaf.. saya tidak bisa. Saya harap hidupmu bahagia tanpaku"

Kata pria tersebut lalu pergi meninggalkan kami. Sedangkan mba Ajeng kemudian pergi juga entah kemana. Aku yang masih terbatuk-batuk diberi Nilla minum yang dia beli lalu tangannya mengusuk-usuk punggungku.

"Kok bisa sampai gini sih Er. Kaget banget ya?"
Tanyanya padaku.

"Ya Tuhan kaya lihat drakor akunya mba"
Kali ini adek pkl yang bernama Shinta yang dari tadi diam bersuara.
**

Mba Ajeng memutuskan untuk mengambil libur sore itu juga. Dia pulang dengan mata sembab. Hanya pamit kepada kami dan minta tolong menyampaikan kepada bu Elanie. Aku dan Nilla yang melihatnya jadi kasian.

"Kasian mba Ajeng ya beb, resiko mencintai orang yang tidak mencintai kita itu berat memang. Siapa sih memang yang gak tertarik sama itu dokter, aku aja dulu baru pertama bertemu juga suka, tertarik itu wajar bukan? tapi aku cukup sadar, aku hanya kagum dan tidak berniat memilikinya. Dia terlalu tampan, kaya, dan berpendidikan"

"Iya wangi juga mba.. bau parfumnya itu lo kaya mahal gitu. Jarang aku mencium bau seperti itu pada pria yang pernah aku temui. Sama apa yang dipake itu kaya barang mahal semua ya mba. Kalau aku jadi mba Ajeng, aku buang jauh-jauh perasaan itu. Karna ya gak mungkin dimiliki"

"Bener banget Ta, kaya oppa-oppa korea kita. Mereka bisa kita lihat, kagumi, tapi tidak bisa kita sentuh apalagi dimiliki."

Aku mengangguk mengiyakan pernyataan mereka semua. Dokter Narve memang terlalu mahal bila disandingkan dengan wanita biasa-biasa saja. Dia yang serba sempurna, dan punya selera tinggi, pasti akan memilih wanita yang setara juga dengannya. Bukankah seorang pria menang dalam memilih wanita yang akan dijadikan istrinya?

"Beb"

"Iya Nil"

"Ini Whilly kan, pacarmu. Kok sama cwe?"

Aku mengambil handphone Nilla yang dia pegang. Mengamati story yang baru beberapa jam dia upload. Dia terlihat merangkul perempuan bule cantik memakai jaket tebal di sebuah bar. Di slide selanjutnya aku melihat IG storynya yang bernyanyi di tempat karaoke bersama perempuan tadi dan 2 orang lainnya.

Aku serahkan handphone itu pada Nilla, dan melihat dengan akun di handphoneku, tapi ternyata nihil. Story-storynya tidak muncul di akunku. Siapa wanita yang dia posting itu? Dan kenapa aku harus di privasi. Aku coba hubungi ponselnya, tapi tak dijawabnya.

Aku termenung memikirkan semua hal yang terjadi saat ini. Seharusnya aku juga sadar, bahwa Whilly adalah hal yang tidak mungkin bagiku. Bukankah tadi aku bilang pada mba Ajeng bahwa aku wanita yang tau kapasitasku? Aku tidak mungkin mengejar pria yang levelnya diatasku, dan Whilly termasuk level diatasku. Lalu kenapa aku jadi munafik seperti ini?
***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang