Hari pertama

247 16 3
                                    

Sudah sejak lima menit tadi aku hanya diam memandang diriku lewat pantulan cermin di meja rias. Bukan melamun karna cinta atau takut dengan suasana kerja yang baru, namun karena perbedaan penampilanku. Ya... aku saat ini mencoba mengenakan kerudung warna hitam pemberian dokter Narve.

"Sudah bagus, buruan nanti kamu telat lo apel paginya."
Tegur mamaku yang berdiri di ambang pintu kamar.

"MasyaAllah anak ayah cantiknya"

Ucap ayahku sambil memeluk dan menciumku gemas karena melihatku memakai kerudung.

"Jangan dilepas lagi ya nak, cantik kalau begini"

"Yah anak kita sudah besar lo... kemarin di antar cwo"
Goda mamaku saat aku sedang menikmati jus buahku.

"Oh ya? Whilly lagi?"
Jawab ayahku menatapku curiga.

"Jangan kejauhan lo nduk, hati-hati... dia beda keyakinan sama kamu. Nanti kalau sudah terlalu dalam sakit lepasnya. Bagus kalau jodoh dan mau mengalah salah satu. Kalau gak?"
Nasehatnya kalem manum menuntut.

"Ayah cuma takut kalau kamu jatuh kedalam lubang yang salah. Maaf kalau kami terlalu keras. Whilly anak yang baik, kamu juga. Sama-sama anak satu-satunya, otomatis kalian harapan kedua orangtua. Dan harapan itu jauh lebih besar biasanya nduk kalau anak cuma satu."

"Iya yah"

"Bukan Whilly mas, Narve seiman kan Er?"

"Ih mama, gak mungkinlah dokter Narve sama Erin."

"Kalau kalian gak ada rasa kenapa sampai nganter pulang dari Tidar sana ke sini? Jauh lo itu Er, di beliin kerudung dan suruh berhijab lagi yah, dan anakmu nurut."

"Oh ya? Dari dulu ayah udah nyuruh gak pernah mau ma, kalau disuruh pacarnya sekali langsung nurut. Tak apalah ma, yang penting di pakai terus abis ini kerudungnya."

Mintanya padaku supaya aku terus memakai hijab seperti ini sambil mengelus rembut kepalaku. Setelah sarapan, aku pamit kepada orangtuaku untuk berangakat bekerja, tepat di pukul 06.00 WIB. Mengendarai motor maticku yang sudah lama menganggur selama aku magang di bu Elanie.

Perjalanan menuju puskesmas di pagi hari seperti ini masih tergolong sejuk dan ramai walaupun jalanan yang aku lewati masih banyak pohon-pohon besar dan kebun tebu, kanan kiri terdapat tebing batu kapur dan jurang. Kurang lebih satu jam, aku sampai di puskesmas X tempat kerja baruku. Sudah ada dua wanita yang memakai seragam putih dan rok span hitam sepertiku sedang duduk di kursi panjang dari bahan beton samping parkiran.

"Pagi.. maaf mbanya baru juga ya disini?

Sapa dan tanyaku pada mereka saat akan menuju depan puskesmas. Sekalian kenalan, siapa tau bisa jadi teman akrap juga kan?

"Hai pagi, iya kita baru disini, mba nya PTT juga ya yang dari dinkes?"

"Iya bener, aku Erine"

"Aku Defi, dari ahli gizi"

"Kalau aku Lian, perawat. Mba Erin dari profesi apa?"

"Bidan"

Kita mengobrol bersama di samping puskesmas sampai ada suara yang mengintrupsi kami untuk masuk, menjalankan apel pagi bersama dan perkenalan di hadapan seluruh pegawai Puskesmas, kemudian dilanjutkan orientasi keliling puskesmas. Ada empat orang yang baru di puskesmas ini, mba Defi dari ahli gizi, Liana dari perawat, mas Agung dari dokter umum yang ternyata adalah anak bidan koordinator di Puskesmas ini.

"Dokter Agung bisa mulai bekerja di poli umum silahkan, mungkin nanti di dampingi dulu dengan dokter Agnes."

Ucap mba Enik yang tadi mengenalkan kita pada satu-satu pegawai disini dan menemani kita keliling seluruh Puskesmas. Mba Defi, aku dan Lian, terlebih dulu selama satu minggu ini bertugas keliling, mulai dari KIA, pendaftaran, apotek, pelayanan KB, UGD dan poli umum, tujuannya untuk tau seluruh tugas di puskesmas ini, karena kata mba Enik di sini kita saling membantu, mana yang membutuhkan bantuan dan terlihat kuwalahan maka kita yang sedang santai diwajibkan membantu.

Untuk hari senin ini, aku kebagaian di pendaftaran. Membantu mas Fahmi dan ibu Lusi menulis dan mencari rekam medis pasien, lalu selanjutnya rekam medis itu diserahkan pada poli sesuai keluhan pasien. Untuk hari senin seperti ini, puskesmas memang sangat ramai, akibatnya kami sedikit kewalahan di pendaftaran.

"Akhirnya agak sepi"
Kata mas Fahmi sambil meregagkan otot-ototnya.

"Sholat dulu mi gantian. Abis itu aku sama Erin. Udah pukul 13.00 WIB nih"
Perintah bu Lusi pada mas Fahmi sedikit memaksa.

"Iya.. iya buk"

"Erin... disini?"

Aku menoleh kearah suara yang memanggilku dari jendela ruang pendaftaran. Sosok wanita mengenakan hijab kream motif bunga-bunga terlihat hanya kepala di jendela itu.

"Tunggu situ... aku kesitu"
Katanya kemudian hilang dari balik jendela.

"Kenal sama mba Dini dek?"
Tanya bu Lusi padaku yang masih menoleh ke arah jendela.

"Iya bu, tante saya beliau."

"Oalah, ponakannya mba Dini toh? Orang Gondanglegi berati? Lek jauh dek kamu pp dari sana kesini."

"Rin, kok gak bilang-bilang kalau sekarang disini"
Tanya mba Dini yang sekarang sudah masuk dengan bu Maryam bidan koordinator puskesmas X.

"Titip ponakan saya disini ya bu Mer, bu Lusi"

"Siap, ponakannya pendiam ya mba Din? Masih jomblo gak ini? Anak ibuk tentara lo Er, biasanya bidan carinya yang berseragam. Mau jadi besan gak nih mba Din kakaknya?"

Goda bu Lusi padaku sambil menaik turunkan sebelah alisnya.

"Kenapa toh Bidan mesti di pasangin sama abdi negara bu Lusi? Sama anaknya bu Mer aja dokter, mau gak? Atau kembarannya Apoteker."

"Biasanya bidan itu sama kacang ijo atau gak coklat memang bu mer."

"Waduh, bu Lusi, bu Mer, ini saya bawa ponakan saya makan dulu ya? Gak papa kan? Sudah sepi juga."

Kata mba Dini menyela pada dua ibu-ibu yang heboh tadi dan menarikku begitu saja menuju kantin. Aku memang memanggil mba Dini dengan sebutan mba bukan tante atas permintaan dia, dengan alasan karena dia tidak mau terlihat tua di panggil tante olehku.

"Gak usah di dengar kalau gak suka. Dua ibu itu memang gitu. Entah ada masalah apa dulunya."

Kata mba Dini setelah kita duduk di kantin. Bukan kantin, lebih tepatnya seperti warung bongkar pasang dari kayu dan asbes yang berada di belakang puskesmas.

"Mba Dini sudah lama disini?"

"Sudah sepuluh tahun disini, kemudian lima tahun setelahnya ditunjuk jadi bidan desa di Tumpakrejo. Dekat banget sama pantai, yuk main-main kesana atau nginap disana juga boleh. Tapi aku kalau sabtu pulang biasanya Rin, posyanduku malah ada yang di pantai Rin. Sabar-sabar ya kalau masih PTT, biasanya gajiannya turunnya dari dinkes tiga bulan sekali."

"Dapat gaji berapa sekarang?"

"Tiga ratus hehehe, ada uang bpjs dua ratus"

"Aku dulu juga gitu. Tapi kalau udah jadi bidan desa enak. Bisa nambah dikit-dikitlah, lumayanlah ya rin kalau ada pasien yang minta pake obat kita, 300 ribu kan dapat apa dibuat sebulan. Ada desa yang kosong lo, bidan desanya baru aja meninggal. Kalau ditawarin jadi bides masuk aja. Enak gak setiap hari ke puskesmas."

"Tapi keliling desa, posyandu bayi dan balita beberapa tempat, posyandu lansia, kelas ibu hamil, posyandu usia subur dan masih banyak lainnya."

Kataku menanggapi tanteku ini yang baru saja diangkat menjadi PNS setelah lima belas tahun mengabdi di pelosok ini. Dia tertawa menanggapi jawabanku.

"Bidan emang gitu, kuliah biayanya gak main-main. Waktu kerja gajinya yang main-main. Libur sulit, nunggu gaji keluar dari dinkes miris. Ya... namanya pengabdian ya? Tapi gak papalah, sebaik-baiknya manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Semangat."
Katanya sambil tertawa.

***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang