Tepat satu tahun tiga bulan aku sudah bekerja di Puskesmas Induk ini. Suka dan duka sudah sering kali aku alami, sampai pada suatu saat aku di tunjuk ketua Puskesmas X untuk menjadi bidan desa pengganti di daerah yang letaknya sekitar 30 menit dari puskesmas induk, namun lebih dekat dari rumah.
Setiap pagi pukul 6.30, aku harus ke Puskesmas terlebih dahulu untuk mengambil vaksin dan apel pagi. Setelahnya kembali ke desa untuk posyandu bayi dan balita. Di desa Ini ada 18 titik tempat posyandu yang harus aku kunjungi satu bulan sekali dengan perawat desa. Belum lagi kelas ibu hamil 1 bulan sekali, dan masih ada posyandu lansia di 8 lokasi setiap bulannya.
Rasanya gak cukup semua itu di kerjakan dalam dalam satu bulan, mengingat dalam satu bulan hanya ada 28, 30, dan 31 hari setiap bulannya. Andaikan aku amoeba yang bisa membelah diri berada di posyandu A dan B secara bersamaan pasti sudah aku lalukan. Untuk pelayanan pengobatan di PUSTU atau puskesmas pembantu, aku mendapat jadwal 2 kali dalam seminggu, sedangkan untuk persalinan aku harus siap 24 jam setiap harinya.
Beruntungnya aku mendapat rekan perawat desa yang baik dan saling tolong menolong seperti bu Dwi, selain itu ada kader terlatih dan perangkat desa yang begitu rukunnya dan gemar gotong royong, sehinggga posyandu lansia bisa di laksanakan di sore harinya hingga menjelang magrib, terkadang kalau banyak lansia yang datang, maka aku harus menahan diriku hingga lebih lama lagi berada disini.
Jika ada panggilan malam hari atau pulang malam dari posyandu, ini yang membuatku dan orangtua sedikit kawatir. Jangan dikira semua jalan di Kabupaten Malang ini bagus dan terang karena terdapat lampu-lapu jalan umum di setiap pinggir jalan. Di daerah sini jalan batu, bahkan tanah tanpa makadampun masih banyak, hanya beberapa saja yang sudah di aspal, sehingga kalau musim hujan jika tidak hati-hati maka rawan tergelincir.
Sabtu sore itu, setelah SK (Surat Kerja) turun, aku dibantu beberapa kader dan orangtuaku membersihkan PUSTU yang letaknya berada di samping balai desa, dekat dengan rumah dinas pak lurah yang hanya ditempati sesekali kalau rumah beliau tak jauh dari sini.
PUSTU ini tidak terlalu besar, hanya ada ruang tamu yang muat untuk satu kursi bed, satu kamar dan satu dapur, lalu kamar mandi. Kemudian ada tembok yang memisahkan rumah dinas untukku yang di hubungkan dengan pintu disana terdapat kamar nifas sekaligus kamar bersalin ukuran 3 X 2,5 meter, lalu ada ruang periksa satu bed yang dihiasi dengan lemari obat, meja dan kursi, lalu beberapa gambar atau poster kesehatan.
Selesai bersih-bersih, mama mengajak beberapa kader untuk makan bersama, beruntungnya ada tukang bakso yang lewat sehingga aku tak susah-susah keluar ke pasar yang jaraknya cukup jauh dari sini. Bergurau, dan bercerita banyak hal dengan ibu-ibu kader yang ramah, hingga ada satu orang kader yang tiba-tiba ingin menjodohkanku dengan anaknya.
"Ibu, mau gak besanan sama saya? Anak saya polisi lo. Sepertinya seumuran dengan bu Erin."
Setelah berprofesi sebagai bidan, memang banyak orang yang memanggilku ibu di umurku yang masih 23 tahun lebih ini. Namun juga ada para ibu-ibu yang memanggil dengan sebutan mba karna wajahku masih seperti anak-anak dan belum pantes saat di panggil ibu kata mereka.
"Anaknya umur berapa bu?"
Kata mamaku ramah sambil tersenyum."21 tahun kalau gak salah bu"
"Wah anak saya sudah 23 tahun bu"
"Gak papa bu, selisih dua tahun mah gak masalah atuh."
"Atau sama anak saya saja bu, anak saya tentara di dinas di jakarta. Umurnya 25 tahun, baret merah lo bu."
Kata ibu satunya yang saling membanggakan anaknya."Kalau saya terserah anaknya saja bu, sudah mau menikah atau belum. Kita kalau memaksa kan takut ya."
Jawab mamaku kemudian.Hari sudah semakin larut malam, saat ibu-ibu kader memutuskan untuk pulang, mama juga memutuskan untuk menemaniku sehari disini. Besok dia akan pulang karena ada acara persami di sekolah tempat dia mengajar. Sekamar dengan mama, di ukuran kamar 2,5 x2,5 m ini sambil bercerita tentang kisah mama dan ayah dulu sampai berjodoh dan mempunyai anak.
"Mama dulu biasa aja sama ayahmu Er, gak ada rasa sama sekali."
"Kok gitu ma?"
"Mama dulu punya pacar, atlit volly, dulu sudah dekat sama keluarganya. Sampai akhirnya dia di jakarta dan bekerja di PLN di sana. Setelah itu mama kirim surat sudah gak pernah di balas, dia berubah, dia pacaran sama model disana."
"Mama sudah sakit hati karena merasa dihianati, sampai akhirnya pas mama ikut reuni SD ketemu ayahmu. Dan ayah semakin dekat setiap harinya. Terus ayah ngelamar mama. Udah deh."
"Katanya mama gak cinta. Kok mau?"
"Ayahmu itu ngalah, sabar, agamanya bagus. Lama-lama juga sayang seiring berjalannya waktu Er."
"Oh gitu?"
"Iya, lalu kamu sekarang dekat sama siapa? Mama lihat sering gonta ganti dan galau."
"Hahaha masak iya galau ma?"
"Ya kalau sepulang kerja mukanya udah gak enak, suruh makan gak mau dan tidur terus gitu sambil nangis. Tiba-tiba marah gitu kan berati galau Er."
"Gitu ya ma... gak tau ma capek. Semua pada gak ada kejelasan."
"Pria yang waktu itu beliin kerudung gimana?"
"Hah siapa ma?"
"Yang pernah kerumah, emang banyak ya yang pernah ngasih kerudung?"
"Oh gak, dokter Narve doang. Gak tau ma, kita cuma teman curhat. Tapi dia sibuk terus karna ambil sub spesialist gitu."
"Dokter Narve terlalu tinggi untuk di gapai ma"
Kataku kemudian setelah lama kita terdiam."Kamu sayang ya kayaknya? Nadanya kecewa gitu."
Ledek mamaku sambil senyum-senyum menggodaku."Gak sih ma, Ya Tuhan mama, gak mungkinlah. Mana mau dokter Narve sama aku ma. Dia terlalu tinggi untuk di gapai dibilang."
"Hahaha... mama pernah ketemu di RSSA"
"Oh ya ma?"
Kataku mulai penasarandan tertarik dengan topik ini."Iya"
"Terus gimana ma?"
"Katanya gak suka, tapi kepo sama dia."
"Ya penasaran aja ma. Gak boleh ya?"
"Mama cuma basa-basi sebentar karna dia sibuk. Dia sopan banget lo Er sama mama, nyapa duluan, terus cium tangan. Kata teman mama juga, dia baik gak kaya dokter lain yang seenaknya mentang-mentang pasiennya kelas tiga."
"Dia memang baik ma, perhatian dan bisa bikin nyaman."
"Kamu suka? Tapi katanya kamu lagi sama Dendi ya sekarang."
"Mama tau darimana?
"Dari Dini... dokter Narve juga"
"Hah? Dokter Narve bilang apa ma?"
"Ya waktu mama tanya kenapa gak pernah main ke rumah lagi dia jawab 'saya gak enak main ke rumahnya cwe yang sudah punya pacar tante. Maaf takut salah paham saja cwonya.' Gitu"
"Emang Dendi ini siapa sih Er?"
"Kakak kelasku dulu ma di SMA"
"Kok gak pernah ke rumah?"
"Dia sibuk terus ma"
"Oh.. tentara?"
"Iya, tapi perwira karir ma. Dia dulu radiografer terus masuk perwira angkatan darat."
"Dinas dimana emang?"
"RST Soepraun ma."
"Yaelah Er gak niat aja berati dia. Orang dekat sama-sama Malang. Mama gak yakin kalau tentara apalagi pangkat tinggi gitu bisa setia."
"Mama kok gitu sih? Udah ah mau tidur aja."
"Mama beneran, kalau dia serius ke rumah pasti, gak ngajak ketemu di jalan."
Aku tak merespon omongan mama yang sedikit menyakitkan hatiku itu. Aku tetap memejamkan mataku dan berbalik memeluk gulingku. Tapi sejujurnya ada sedikit ragu dan membenarkan ucapan mamaku. Selama kurang lebih 6 bulan pacaran aku dengan Dendi, hanya awal-awal dulu dendi berjuang, selebihnya ketika aku ingin bertemu, dia selalu alasan sibuk atau mengajakku bertemu di Malang Kota.
***
Mohon maaf banyak typo berterbangan 🙏🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
SATU CIRCLE
Ficção AdolescenteCircle cenderung mengarah pada lingkaran atau kelompok pertemanan. Sama halnya dengan seorang gadis yang bernama Erine Rose Defiana, dia mempunyai sahabat bernama Whily yang selalu ada untuknya. Persahabatan itu semakin hari tumbuh menjadi cinta. Na...