Permintaan

337 19 1
                                    

"Suggestive chronic appendisitis"
Katanya pelan sambil masih mengamati layar USG. Kemudian menjelaskan pada mama tentang kondisiku.

"Leukositnya juga naik nih. Terakhir makan kapan?"
Tanyanya padaku sambil membaca hasil lab yang diberikan asistennya.

"Kapan ya? Kemarin kayanya"
Kataku tidak yakin.

"Ck kebiasaan"
Katanya kemudian sambil memandangku tak suka.

"Harus operasi ya nak Narve?"
Tanya mamaku kawatir.

"Iya tante"

"Gak bisa ya rawat jalan aja?"
Tanyaku yang mulai berdebar, rasanya sudah takut duluan membayangkan perutku dibelek menggunakan pisau bedah.

"Gak bisa, udah Er nurut aja, biar cepat sembuh"
Kali ini mamaku yang menjawab.

"Gak papa ya, gak usah takut. Nanti tindakannya bisa pake metode laparoskopi. Pembedahanya sangat minimal invasif."
Katanya meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja.

Setelahnya aku menjalani tes swab, barulah tes ini dan itu untuk persiapan operasi. Dari tes darah, rontgen, ekg, tes alergi antibiotika. Semuanya tak ada masalah.

Siangnya sekitar jam 12, aku dibawa ke ruang operasi. Sebelumnya aku puasa selama 6 jam tanpa makan dan minum.

Di ruang operasi, seperti biasa dokter dan perawat bertanya ini dan itu serta memberi penjelasan prosedur.

Berhubung aku mudah stres, dari pada makin stres dengan penjelasan ini dan itu, aku katakan "Saya ngikut saja!" pokoknya pasrah saja.

Bagiku, semakin tahu detil prosedur makin membuat takut dan cemas. Cukup berdoa semoga Tuhan bekerja lewat tim dokter, alat, obat, dan semuanya.

Laparoskopi dilakukan dengan bius umum atau total. Bagiku ini pengalaman pertama. Bagaimanapun yang namanya operasi itu selalu menegangkan.

Setelah dokter anestesi menyuntikan obat lewat infus, aku sudah tak ingat apa-apa. Tahu-tahu aku kaget dan setengah sadar. Aku lihat jam menunjukkan pukul 3 sore dan operasi sudah selesai.

Tak lama setelah itu, aku mulai merasakan nyeri sekali di perut bagian usus buntu. Sedangkan bekas sayatan tidak nyeri. Suster juga menyuruhku untuk belajar duduk dan jalan setelah 2 jam pasca operasi.

"Ma, mama boleh nangis nda sih? Sakit banget rasanya perutku ma"
Kataku yang kini hampir menangis.

"Sakit banget ya? Mau mama telephonin suster aja?"

Aku hanya mengangguk mengiyakan saran mama, tak lama kemudian ada suster datang membawa suntikan antinyeri. Suster tersebut menanyakan pertanyaan pasca operasi pada umumnya seperti apakah aku sudah kentut? Apakah aku sudah buang air kecil? Dan juga menyuruhku untuk belajar berjalan.

"Suster disini ramah-ramah ya Er"
Tanya mamaku sambil menonton film azab yang menurutku ceritanya kurang realistis di salah satu stasiun televisi.

"Iya"
Kataku sambil menikmati makan soreku, namun tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Ma... mama. Ini tadi pake umum atau bpjs ya?"

"Bpjs, mama tadi waktu ngurus administrasi kamu tanya mba-mbanya bisa dicover bpjs semua kok nduk"

"Berati ini mama minta naik kelas? Ini kelas vip kn ma?"

"Enggak"

"Bpjs Erine kelas 2 ma. Gak mungkin kan kamar kelas 2 semewah ini? Satu ruangan diisi satu orang, ada tv, ac, kulkas, bad buat yg nungguin, dan ruang tamu."

"Oh iya mama baru sadar."

"Apa karna Narve ya?"
Tanya mamaku ragu.

***

Saat aku sedang mengamati tetesan infus yang macet, tiba-tiba terdengar suara pintu yang diketok, tidak lama kemuadian muncul dokter Narve dari balik pintu bersama seorang suster. Seperti biasa dokter bedah satu itu memang selalu terlihat tampan dengan segala outfitnya.

Kali ini dia memakai celana chinos hitam dengan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku. Rambutnya dia sisir rapi, dan tangan kanannya membawa stetoskop littmann warna hitam yang aku tebak harganya jutaan. Sekilas aku terpesona dengannya, namun cepat-cepat aku netralkan ekspresiku.

"Infusnya macet ya?"
Dia bertanya padaku yang seolah mengerti apa yang sedang aku lakukan sebelum dia datang. Dengan cepat dia membenarkannya dan mengatur tetesan infus.

"Mau sholat?"
Tanyanya kepadaku yang masih menggunakan mukena, sebagai jawaban aku mengangguk namun dengan cepat menggeleng. Namun dia tersenyum dengan jawabanku yang terkesan plinplan. Senyum hangat yang selama ini selalu aku rindukan.

"Sudah"
Jawabanku kemudian memperjelas pertanyaannya.

"Boleh aku periksa dulu?"
Tanyanya lagi, dan sebagai jawaban aku hanya mengangguk.

"Sudah flatus?"

"Belum"

"Aku cek jahitannya, kalau nyeri tahan sebentar ya"
Ucapnya lalu memencet bekas jahitanku yang dia ciptakan beberapa jam lalu. Ada 3 bekas sayatan kecil sekitar 1 cm di perutku. Satu di pusar, dan disisi bagian kanan dan kiri pada area bikini cut.

"Sudah belajar duduk dan jalan?"

"Belum"

"Belajar yuk, aku bantu"

"Gak mau sakit"
Ucapku beberapa saat setelah mencoba belajar duduk. Aku gak bohong, aku memang merasakan nyeri sekali di perut bagian usus buntu. Sedangkan bekas sayatan tidak nyeri.

"Yaudah, nanti aja belajarnya"
Ucapnya sabar, lalu menarik kursi dan duduk disamping ranjangku.

"Tolong tinggalkan kami berdua Rat"
Usirnya secara halus pada suster yang tadi datang bersamanya.

"Haaa, gimana dokter?"

"Tinggalkan kami berdua"

"Oh baik dokter, maaf. Mari mba"
Ucapnya sopan lalu pergi dari ruang rawap inapku.

"Please jangan begini Er"
Mintanya frustasi setelah kita sama-sama terdiam lama.

"Maksudnya?"
Tanyaku yang pura-pura tak mengerti apa yang dia minta.

"Kamu tau maksudku Er"

"Maaf dan please tetap stay with me"
Ucapnya sambil menunduk.

"Mas, aku masih ingat jelas gimana rasanya aku nangis setiap malam berminggu-minggu. Bahkan saat ini aku masih ada di fase itu. Sesak rasanya mas"

"Dari awal aku sudah menolak kehadiranmu yang tiba-tiba itu, dari awal aku sudah sadar kamu terlalu sempurna untuk bersanding denganku, tapi kamu meyakinkanku dengan segala janji yang pernah kau ucapkan. Kamu berusaha meyakinkanku berkali-kali hingga aku luluh dan percaya. Tapi tiba-tiba juga kamu mengecewakanku. Sekarang kamu datang lagi dan memintaku untuk kembali padamu.."

"Mas, maaf aku bukan perempuan yang mudah jatuh cinta, aku bukan perempuan yang dengan mudah kembali mencintai orang yang sudah menyakitiku. Aku bukan perempuan yang mudah meninggalkan laki-laki hanya karna kekurangannya. Namun jika aku sudah memilih pergi, ketahuilah bahwa  aku sudah menguras semua rasaku."

***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang