Fraktur

121 18 6
                                    

Aku terdiam di bangku besi depan IGD Rumah Sakit A bersama orang-orang yang mungkin keluarganya juga sedang ada dalam IGD. Mereka ada yang bercengkrama satu sama lain, ada yang sedang tidur beralaskan tikar dan karpet, ada yang berdiri dengan cemas melihat ke arah pintu IGD, ada yang menangis tersedu-sedu dalam pelukan seseorang, ada juga yang diam dengan tatapan kosong.

Beberapa menit lalu, aku di kabarkan penelphone yang bernama Santi dan suaminya bahwa mas Narve dirujuk ke RS A. RS A memang Rumah Sakit yang mempunyai IGD dengan pelayanan standar yang tinggi. Dimana team tenaga kesehatannya mempunyai kompetensi menangani pasien kegawat daruratan dan tersertifikasi dengan pelatihan BCLS, BTLS, PPGD, Triage, ECG, dan Resusitasi Trauma.

Rumah Sakit rujukan dan terbesar di Kota Malang ini juga mempunyai alat-alat yang lengkap seperti bed site, monitor, EKG, Difibrilator, X-ray, dan masih banyak lainnya. Selain itu di IGD juga terdapat tiga kamar operasi yang juga memiliki peralatan yang lengkap. Tidak heran jika Rumah Sakit ini selalu ramai. Tidak hanya ramai dengan pasiennya, tetapi juga mahasiswa magang, residen dan koasnya yang berseliweran.

"Sayang"
Aku mendongak saat mendengar suara mama mertuaku.

"Gimana mas sekarang?"
Tanyanya padaku dengan suara bergetar.

"Gak tau ma, di Rumah Sakit sebelumnya katanya diperkirakan mas kena cedera kepala."

"Cederanya parah"

"Mas..."
Aku tidak mampu lagi menahan air mataku, aku tidak mampu lagi melanjutkan kata-kataku. Kerongkonganku rasanya sakit sekali. Samar-samar aku lihat wajah mama mertuaku itu yang buram karna terhalang oleh air mata yang masih mengalir.

"Maaf ma"

"Mas Narve..."
Aku jeda lagi kata-kataku, tidak sanggup harus menyampaikan berita ini pada perempuan yang telah melahirkan suamiku itu. Namun, mama mertuaku itu masih menatapku dan menungguku dengan sabar, menunggu aku meneruskan kabar anak laki-laki semata wayangnya itu.

"Mas koma ma"
Mama mertuaku memejamkan matanya sebentar, napasnya yang tadi normal, kini sekejap jadi terlihat berat, mendengar kabar anaknya tersebut. Tangannya yang tadi erat mengenggam tanganku, kini beliau longgarkan. Kemudian mulutnya aku dengar beberapa kali mengucapkan istigfar.

"Astagfirullah"

"Astagfirullah"

"Astaghfirullah, alladzi la ilaha illa huwal hayyul qayyumu wa atuubu ilaih"

Mama mertuaku beristigfar berkali-kali dengan suara yang lemah, sesekali dia memejamkan matanya sambil mengelus dadanya. Responnya yang seperti itu membuat hatiku terasa di gores dengan pecahan kaca, perih sekali. Aku ambil tangan mama mertuaku itu, kemudian menciumnya, aku merasa bersalah. Bersalah karna telah mengizinkan mas Narve keluar rumah menemui teman-temannya menggunakan motor sore tadi.

"Maaf... Harusnya saya gak ngizinin mas main sama teman-teman SMAnya pakai motor."

"Maaf ma"

"Seandainya sore tadi saya gak izinin, pasti ini semua gak bakal terjadi"

"Maaf ma, Erine belum bisa menjaga mas dengan baik."

Air mataku yang sempat berhenti, kini kembali banjir. Sekuat mungkin aku menahan air mataku, tapi nyatanya pertahanan itu sia-sia. Dengan gampangnya air mata itu mengalir lagi dan lagi dengan deras. Mama memelukku, menyalurkan ketuatannya dengan mengosok-gosok punggungku.

"Sudah"

"Gak papa"

"Bukan salah kamu, ini semua sudah takdir Allah sayang"
Katanya setelah terdiam cukup lama.

"Er"
Kali ini mamaku yang memanggil. Dia datang tergopoh-gopoh dengan masih menggunakan baju tidurnya. Kerudungnya juga disampirkan ala kadarnya saja.

"Gimana Narve?"
Tanyanya dengan muka panik, aku langsung memeluknya, menumpahkan segala kesedihan yang aku simpan dengan menangis sejadi-jadinya. Hingga pungungku bergetar. Mama menepuk-nepuk pundakku pelan, membiarkanku menumpahkan semua air mataku di dalam dekapannya.

"Sabar"

"Istigfar"

"Istigfar nduk"

"Doa yang banyak yuk"

"Doa lagi, doa terus"

"Doain suamimu yang banyak"

"Nangisnya sudah ya"

"Mama antar ke mushola yuk, basuh mukanya, ambil wudhu. Kita sholat tahajud bareng-bareng. Kita doain Narve"
Ucap mamaku pelan sambil mengelus-elus kerudungku. Mama mengusap air mataku lembut saat aku menatapnya, seolah menguatkan dan meyakinkanku bahwa mas Narve akan baik-baik saja.

Di malam yang hening itu, aku bersimpuh di sujud yang panjang. Air mata, terus mengalir deras tak berhenti menemani kekhusyukan doaku di sepertiga malam itu. Aku sebut nama suamiku berkali-kali, meminta pada Rabb-ku untuk mengembalikan dia padaku, pada mama mertuaku, dan pada keluarga kami.

"Ya Rabb... maafkan hamba yang penuh dosa ini"

"Maafkan hamba yang datang disaat butuh saja"

"Maafkan hamba yang datang merayumu disaat lemah saja"

"Allahumma radldlini bo qadlaika wa shabbirni 'ala balaika wa awzi'ni syukro ni'amaika."

"Ya Allah, jadikan aku ridha dalam menerima qadla (ketentuan)-Mu, dan jadikan aku sabar dalam menerima bala dari-Mu, dan tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Mu."

"Hasbiyallāhu wa ni'mal wakīl."

"Allahumma inni as aluka nafsaan bika muthma innah tu,minu biliqooika watardho biqodoika wataqna'u bi'athoika."

"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu jiwa yang merasa tenang kepadaMu, yang yakin akan bertemu denganMu, yang ridha dengan ketetapanMu, dan yang merasa cukup dengan pemberianMu."

"Ya Rabb, jika memang mas Narve memang masih ditakdirkan untukku... maka hamba mohon, kembalikanlah dia untukku. Namun jika buka... hamba..."

Aku menangis lagi... tak sanggup melanjutkan doa yang akan aku panjatkan. Aku geleng-gelengkan kepalaku,  menolak melanjutkan doa yang sudah ada di pikiranku. Gak mungkin itu terjadi, mas Narve sayang sama aku, dia pasti akan kembali padaku.

"Aamiin Ya Mujibassailin"



***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang