Pipi bengkak

300 19 0
                                    

Hai, i'am back !!!
Setelah beberapa hari males nulis karna morning sickness.

Happy reading

***

Aku terbangun dari tidurku saat merasakan ada yang mengusap pipiku lembut. Dan mataku langsung terbuka sempurna ketika aku lihat wajah dokter Narve begitu dekat denganku.

"Sudah selesai?"

Tanyaku padanya yang masih diam meperhatikanku duduk di kursi yang tadi aku tempati untuk tidur, sedangkan dia berjongkok di depan kursi. Kemudian dia mengambil posisi duduk disampingku dan memperhatikanku lagi.

"Pipimu bengkak"
Katanya tanpa ekspresi sambil memegang daguku, memiringkan ke kanan lalu ke kiri.

"Masak?"

"Hmem"

Aku melepas tangannya dari daguku. Akhir-akhir ini dokter Narve selalu membuat jantungku tidak sehat ketika dia dekat denganku. Ralat bukan akhir-akhir ini, dari dulu ketika aku melihatnya dekat denganku, aku selalu merasakan debaran jantung yang lebih cepat dari biasanya. Aku pikir, dulu aku takut padanya karna dia termasuk dosen yang killer dan pelit nilai, namun aku salah, rasa itu terus muncul hingga sekarang.

Mungkin aku harus konsultasi dengan dokter kardiovaskular atau spesialis jantung dan pembuluh darah untuk mengetahui lebih dini tentang penyakit yang aku derita. Supaya cepat mendapat terapi jika terjadi suatu hal yang tidak diinginkan.

"Ke rumah tanteku sebentar ya sebelum pulang"
Ajaknya padaku ketika kami akan pulang.

"Mau ngapain? Malam-malam gini bertamu?"
Ucapku ragu padanya, bukan aku menolak permintaannya, hanya saja apa sopan pukul sebelas malam seperti ini bertamu ke rumah orang?

Lagi-lagi, kebiasaan buruk pria disebelahku ini adalah jarang menjawab pertanyaanku ketika aku merespon obrolannya. Aku lirik dia yang sedang fokus menyetir mobil dengan perasaan kesal, tapi perasaan itu luntur ketika melihatnya terlihat lelah dan jari-jarinya memijat pelipisnya.

Mobil berhenti di kawasan perumahan di daerah Sawojajar. Rumah besar dengan pagar besi dan seperti tempat praktek dokter di depan rumahnya ini terlihat mewah. Masih terdapat tiga motor terparkir di depan praktek dokter tersebut.

Dokter Narve menuntunku masuk dalam praktek dokter tersebut, dan duduk di sofa yang disediakan. Beberapa orang di dalam sana yang duduk di hadapan kami melihat sekilas ke arah kami lalu kedumian fokus lagi dengan handphonenya.

"Mas Narve mau periksa gigi?"
Tanyaku padanya yang penasaran sedang apa kita disini.

"Enggak"
Aku menatapnya heran dengan jawabannya. Dia yang mengerti ekspresi penasaranku kemudian memperjelas jawabannya.

"Bukan aku, tapi kamu"

"Aku?"
Dia mengangguk sambil mengutak-atik handphonenya.

"Kenapa aku?"

"Pipimu bengkak, aku curiga ada masalah sama gigimu."

"Ha.. gigiku gak papa. Pulang aja yuk"
Belum sempat dia menjawab pertanyaanku, ada seorang ibu-ibu berambut pendek yang menyapa kami.

"Narve, langsung masuk sini"

Katanya sambil tersenyum, dokter Narve mencium tangan wanita yang dipanggil tante tersebut dan aku ikuti. Kemudian aku dipersilahkan duduk di kursi gigi berwarna pink itu.

"Pacarnya ya ini? Kamu ini bawa anak orang sampai malam gini udah izin belum?"

"Sudah, tadi ada panggilan cito. Jadi ke RS dulu, gak bisa langsung antar pulang."

"Kamu hati-hati lo kalau sama Narve... mainannya pisau dia setiap hari. Hobinya ngelubangi perut orang terus."

"Baik sih tapi kadang keras kepala juga"

Kata perempuan yang di panggil tante oleh dokter Narve tersebut. Aku mengibaskan tanganku padanya saat tantenya akan memeriksa gigiku, namun dia yang tak mengerti maksudku hanya diam memandangku sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Pacarmu malu Narve, suruh kamu tunggu di luar. Gitu aja kok gak ngerti."
Kata sang tantenya yang ternyata memperhatikanku, membuatku malu dengan beliau.

"Ohw"
Jawabnya singkat namun tak juga pergi dari sini.

**

"Aku tidur di tempat Nilla aja, udah wa dia aku"

"Kenapa gak dirumah aja?"

Katanya asal yang membuat mataku mendelik. Dia sebebas itu ya masukin perempuan yang bukan saudara ke rumahnya? Lalu kalau benar dia sebebas itu, aku perempuan ke berapa yang dia bawa masuk dalam rumahnya? Memang bu Elanie gak marah gitu?

"Gak enak sama ibuk sama bapak, dan tetangga, dan jangan lupa Tuhan semesta alam"
Aku berikan tekanan demi tekanan dalam perkataanku agar dia mengerti bahwa satu rumah dengannya bisa membuat setan mempengaruhi kami melakukan hal-hal yang berdosa.

**

"Beb"

"Hmm"

"Kamu beneran ada hubungan dengan dokter Narve kan?"

"Kenapa tanya gitu Nil?"

"Aku pengen pastiin aja, kamu beneran ada hubungan apa gak. Aku gak pengen aja kamu cuma dibuat mainan kaya mba Ajeng."

"Sebelum aku tau dokter Narve sering nanyain kamu lagi.. sempat beberapa kali ada cwe kesini nyariin dia. Cantik memang, kayak definisi cantik yang sebenarnyalah."

"Emang definisi cantik yang sebenarnya seperti apa?"

"Tinggi, putih, rambut panjang, hidung mancung, pipi tirus, dagu kaya potongan pizza, diwarnai pirang rambutnya, terus pake soflens warna abu. Kaya bule gitulah. Nyetir mobil sendiri kesini, pakaiannya modis dan seperti barang mahal semua yang melekat pada tubuhnya."

"Definisi cantik kaya gitu ya?"
Tanyaku pada Nilla. Sebenarnya ada perasaan minder mendengar cerita Nilla terhadap wanita yang dia ceritakan. Dari ciri-ciri wanita tersebut saja aku sudah kalah jauh.

"Beb... maaf bukannya apa, cuma aku takut aja kalau kamu cuma jadi mainannya dokter Narve."

"Kamu tau kan beb? Dia maha sempurna, lahir dari keluarga kaya raya, ganteng, berpendidikan. Aku cuma mikir mungkin gak ya itu dokter beneran suka sama temanku?"

"Ya maaf lagi ya beb, kelas kamu kan sama kaya aku. Lahir dari keluarga yang standart, hanya bidan beb, gaya hidup ya biasa-biasa aja, gaji berapa sih? Kemana-mana ya cuma bisa bawa motor matic. Keluarga kita gak ada mobil kan beb?"

"Maaf, tapi tau maksud aku kan? Bukannya aku iri, cuma dokter Narve itu pria dewasa yang tanpa melakukan apapun sudah banyak yang mau dan mengejar dia, logikanya masuk gak sih kalau dekati kamu?"

"Mungkin kita sering menyaksikan FTV atau drama romantis di mana seorang pria tampan dari keluarga berada jatuh cinta kepada wanita biasa. Tetapi, sadar gak sih beb, tampaknya hal seperti itu cuma terjadi di dunia fiksi."

"Sekali lagi maaf beb. Cuma mengingatkan, jangan terlalu dekat, aku gak pengen kamu sakit untuk kesekian kalinya karna lelaki."

Aku terdiam memikirkan perkataan Nilla yang ada benarnya. Pria dari keluarga berkecukupan cenderung memilih pasangan dengan latar belakang finansial yang setara, itu memang benar adanya. Memang sebagian kecil pria ada yang tidak terlalu memedulikan daya tarik fisik, keberhasilan profesional, atau kemampuan dalam menghasilkan uang.

Lalu bagaimana dengan dokter Narve? Apakah dia benar-benar tidak memikirkan fisik, profesi dan kasta? Nasehat Nilla memang benar dan cukup menamparku, gak ada yang salah, dia peduli padaku, dan mengingatkanku aku siapa dan dokter Narve siapa. Memang sebaiknya aku harus sedikit menghindar.

***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang