Pita Hitam

287 22 1
                                    

Tragedi di Stadion Kanjuruhan, pertandingan antara Arema dan Persebaya yang diadakan malam hari di Stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang itu menyisakan cerita mengerikan. Peristiwa itu menewaskan 135 orang dan menjadi sorotan dunia. Korban itu salah satunya adalah teman dekatku, Nilla.

Rumah Nilla yang kebetulan satu desa denganku terlihat sepi pada malam menjelang pagi itu. Perasaanku sudah kalut saat itu, mencoba menghubungi Nilla, tapi tak kunjung mendapat jawaban, begitupun dengan Rizal, anak itu sama sekali tak mengangkat telephoneku.

Hingga akhirnya dering telephoneku berbunyi, menandakan adanya panggilan masuk dari salah satu adik kelasku yang bernama Oca. Oca kbisa dibilang cukup dekat dengan Nilla saat masih sekolah SMA. Namun setelah Nilla kuliah, mereka sudah jarang terlihat bersama kembali.

"Hallo Oca"

"Mba Er, Oca boleh minta tolong?"

"Ya Oca, gimana?"

"Oca sekarang ada di RSUD Kanjuruhan mba, tadi Oca nyariin adek Oca yang nonton bola di Stadion. Terus, Oca nemuin mba Nilla. Oca tanya ke petugas belum ada dari keluarga mba Nilla yang nyariin. Mba Erin bisa bantu nemuin ibunya mba Nilla?"

"Nilla sekarang gimana Ca?"
Tanyaku tak sabaran ingin mengetahui kondisi Nilla saat ini.

"Emm... mba Erin, maaf mba, Oca tunggu di RSUD ya. Nanti telephone aja kalau mba udah sampai sini."

"Ca... Nilla baik-baik saja kan?"

Telephone ditutup secara sepihak, dengan cepat aku berdiri dari dudukku di ruang tamu. Menghampiri mama dan meminta antar untuk ke rumah Nilla. Dengan mama dan mas Narve, aku pergi menemui keluarga Nilla. Aku ketuk pintu rumahnya berkali-kali, tapi pintu tak kunjung dibuka. Entah ketukan kami yang kurang keras atau memang di rumah ini tak ada orang. Tetapi tiba-tiba seorang pria datang dan keluar dari rumah sebelah rumah Nilla menghampiri kami.

Mama menceritakan apa yang terjadi pada seorang pria yang ternyata masih saudara Nilla yang baru pulang dari merantau di ibu kota tersebut. Dengan tergesa-gesa bapak itu mengajak kami untuk mencari Nilla di Rumah Sakit yang sudah di informasikan Oca. Ternyata Nilla tidak pernah pamit pada orangtua dan keluarganya jika dia akan menonton bola, sehingga dari keluarga menganggap bahwa Nilla saat ini sedang bekerja di rumah bu Elanie.

Aku, mas Narve, dan pakde Kinto, saudara dari Nilla tiba di Rumah Sakit saat adzan subuh berkumandang. Aku hubungi Oca, mengatakan bahwa kita sudah sampai di RSUD. Suasana Rumah Sakit malam itu begitu ramai, UGD penuh, lorong Rumah Sakitpun juga penuh dengan korban Tragedi Kanjuruhan.

Beberapa ibu terdengar menangis histeris di pojok, ada beberapa orang yang mondar - mandir dengan muka kawatir dan menahan tangis. Beberapa orang lainnya terdiam menunduk pilu mencari keberadaan teman-temannya dengan mata memerah dan marah-marah berkata kotor tentang kesadisan oknum berseragam yang menembaki mereka dengan gas air mata dengan brutal.

Oca membawaku ke sebuah ruangan yang terletak di belakang Rumah Sakit. Disana penuh orang yang sibuk menanyakan keluarganya. Rumah Sakit yang biasanya sepi di saat jam seperti ini, kini menjadi ramai penuh dengan aktifitas. Aku mundur satu langkah kebelakang saat mengetahui isi dalam ruangan tersebut. Mas Narve mengusap lembut punggungku, dengan menatapku kawatir.

"Kalau gak kuat jangan dipaksakan"
Katanya lirih.

"Mereka masih hidup kan mas?"
Aku menelusuri lagi ruangan yang pintunya terbuka lebar itu dengan mengedarkan pandanganku. Ruangan yang cukup luas, yang di dalamnya berisi beberapa orang yang dibiarkan tergeletak begitu saja di lantai tanpa alas.

"Mas"
Panggilku pada mas Narve yang tak kunjung mendapat jawaban.

"Death On Arrival, sayang"
Katanya masih sambil merangkulku dan matanya sibuk menelusuri beberapa orang yang tergeletak tanpa penutup kain tersebut.

Aku berjalan memasuki ruangan tersebut pelan, menyusul Oca dengan memperhatikan beberapa orang yang kebetulan apes saat melihat pertandingan sepak bola tim kebangaannya itu. Kebanyakan dari mereka yang terbaring kaku itu sama sekali tak terlihat ada bekas luka ataupun memar, mereka seperti orang tidur biasa yang wajahnya terlihat memucat.

Aku hampiri wanita berambut pirang yang kini terbujur kaku di lantai itu, yang wajahnya sudah tertutup kain kerudung. Di sebelahnya ada Rizal yang menangis tersedu-sedu hingga matanya memerah.

"Kenapa bisa seperti ini zal?"
Kataku pelan dengan nada bergetar.

"Kejadiannya terlalu cepat Er. Sebelum pertandingan selesai di babak kedua, aku sudah mengajak Nilla pulang. Tapi dia menolak, alasannya dia nyaman berada di sini."

"Aku izin keluar sebentar untuk sholat, dan kita janjian di masjid depan stadion pulangnya karna aku ingat belum sholat isya. Nilla mengiyakan."

"Saat itu kami ada di tribun paling atas mba"
Kali ini adek Rizal yang melanjukan ceritanya padaku.

"Awalnya kita santai, pulang nunggu pas udah agak sepi, tapi ada suporter yang masuk ke stadion. Banyak dari kita yang meneriaki untuk kembali. Niat mereka sebenarnya hanya untuk memeluk dan menguatkan pemain seperti biasanya. Tapi mungkin ada yang salah paham, mereka di pukuli, dan tribun di semprot gas air mata beberapa kali."

"Mata kita perih, belum lagi oksigen di malam hari semakin menipis. Kita kalang kabut desak-desakn ingin keluar dan berlarian. Tapi pintu yang kita tuju ternyata masih di kunci dari luar. Mba Nilla waktu itu pingsan di tolong beberapa suporter laki-laki disana. Mereka teriak-teriak minta dibukakan karena banyak korban yang sudah berjatuhan. Hingga akhirnya ada mas-mas yang berteriak bahwa mba Nilla sudah tidak bernapas lagi."

Pagi menjelang siang itu, Malang Raya diselimuti awan hitam. Beberapa puluh mobil ambulan di berangkatkan mengantar jenazah korban Tragedi Kanjuruhan. Entah berapa pasti jumlah korban Tragedi Kanjuruhan ini. Yang aku dengar banyak dari korban yang usianya belum mencapai 17 tahun.

Banyak Ibu yang kehilangan anaknya, banyak anak yang kehilangan orangtuanya dalam tragedi ini. Air mata tentu saja membanjiri setiap keluarga yang mereka tinggalkan. Banyaknya korban jiwa dalam peristiwa tersebut membuat banyak orang yang mulai pagi itu menjadi benci dengan sepak bola.

"Dukanya hilang. Namanya kembali terlupakan. Hastagnya tenggelam. Suporter kembali bersorak. Tetapi ibunya? Seumur hidup akan membenci sepakbola,"

***

Hari minggu itu, aku ikut mengurus jenazah sahabatku. Ikut memandikannya, menyolatkannya, dan mengkafaninya. Rasanya masih belum percaya Nilla akan benar-benar pergi meninggalkanku.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, Ya Rabb ampunilah dia dan berilah rahmat kepadanya, selamatkanlah dia dari beberapa hal yang tidak ia sukai di alam sana. Maafkanlah dia dan tempatkan dia di tempat yang terbaik, dan juga mulia yaitu surgaMu. Luaskan kuburnya dan mandikan dia dengan air yang sejuk. Bersihkan dia dari segala kesalahan yang telah dilakukannya."

"Maafkan aku Nil yang tak mau menemanimu menonton bola sabtu itu."

"Maafkan aku yang tak mencegahmu saat kamu kekeh ingin melihat bola malam itu. Andai waktu bisa diputar..."

"Maafkan aku yang belum bisa menjadi sahabat yang baik buat kamu. Maaf.."

***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang