Fractura Hepatic

256 15 0
                                    

Terdengar sedikit alay dan aneh sih saat aku mendiagnosa diriku sendiri dengan fractura hepatica. Akan tetapi diagnosa inilah yang memang terjadi dan paling tepat untuk saat ini.

Fractura Hepatica atau sakit hati, ini benar-benar sedikit berbahaya karena rasa nyerinya tidak bisa aku redakan dengan obat pereda nyeri yang dijual tanpa resep dokter di apotek, semua tau pasti bahwa sakit ini adalah suatu hal yang menyakitkan yang menyerang psikis. Sakit hati yang disebabkan orang terdekat yang selama ini selalu ada tiba-tiba menghilang dan memutuskan hubungan secara sepihak yang berakibat pada ke-galau-an.

"Sakit banget disini Nil"

"Whilly tadi memang gimana sama kamu? Coba cerita"

"Ya awalnya baik-baik saja. Akupun pura-pura gak tau masalah dia yang sering pamer kemesraan sama cwe bulenya di Instagram storynya. Sampai akhirnya dia main piano sambil nyanyi sebuah lagu"

"Terus lagu apa? Whilly ini memang tipe orang yang suka ungkapin perasaan lewat lagu ya beb"
Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Nilla.

Flashback On

Aku mengambil libur sehari dari magang atas permintaan Whilly yang kebetulan sedang pulang ke Indonesia. Pagi itu dia menjemputku menggunakan mobilnya. Rasa marah dan penasaranku padanya seketika hilang saat dia memberikan perhatian-perhatian kecil itu kembali padaku.

Tak berselang lama, dia memainkan pianonya menciptakan sebuah instrumen yang selalu indah memanjakan indra pendengaranku. Kemudian berubah menyanyikan sebuah lagu pujian. Saking seringnya dia menyanyikan lagu itu, aku jadi hampir hapal lirik lagu pujian itu.

"Erin, sayang..."
Panggilnya sambil menatapku lama sekali.

"Bisa gak ya kita suatu saat nanti bersama? Tanpa perbedaan lagi diantara kita"

"Er.. kita nikah yuk. Aku gak bisa hidup jauh dari kamu terus. Aku juga gak ingin melepasmu seperti saran mama. Mau ya Er ikut aku, soalnya aku gak mungkin ikut kamu"

"Maksudnya ikut kamu?"

"Ya ikut aku, kita nikah biar gak ada jarak lagi diantara kita. Kamu masuk kristen. Mau ya Er, biar Tuhan merestui kita. Abis kamu dibaptis kita nikah dan kamu ikut aku ke Belanda, kita hidup disana kalau memang orangtua kamu tidak bisa menerima lahirnya kamu yang baru."

"Hah... gimana Whil? Aku gak mungkin melakukan itu"
Aku mulai merasakan panas di wajahku akibat permintaan Whilly. Sama sekali gak menyangka Whilly akan bicara seperti itu.

"Lalu harus dengan cara apa Er agar kita bisa bersama?"
Nadanya terdengar frustasi, tangannya mengusap wajahnya kasar, dan matanya menatapku marah.

"Yaudah kalau gitu yang penting kita nikah dulu, masalah agama untuk anak, biar anak kita nanti yang pilih mereka mau ikut kamu atau aku. Gimana?"

Aku menggeleng, gak mungkin hal itu terjadi. Ayahku akan marah padaku jika hal itu terjadi, begitupun mamaku dan keluarga yang lain. Aku tatap lagi mata orang yang selama ini tak pernah membahas tentang agama diantara kami, matanya sangat berharap aku mengiyakan ajakannya, tapi aku terlalu sayang dengan agamaku.

"Maaf Whil... maaf"

"Kamu emang gak pernah mau berjuang buat hubungan kita dari awal Er. Kalau memang gak bisa, yaudah maaf. Kita sebaiknya sampai sini saja. Tolong jangan pernah hubungi aku lagi."

Flashback Off

"Yaudah sih Er, gak usah disesali. Kalau urusan agama itu susah. Kecuali emang kamu mau pindah ikut dia, atau dia pindah ikut kamu. Tapi resikonya ya salah satu dari mereka yang pindah pasti akan di kucilkan dalam keluarganya. Pasti sih itu. Udah banyak contoh film kaya gitu"

Menjalani hubungan cinta beda agama tidak bisa dianggap sepele, apalagi dalam keluargaku. Hubungan beda agama memang lebih rumit. Harus mengerti konsekuensi yang akan dihadapi nantinya, seperti perbedaan nilai, kebudayaan, kemungkinan pertentangan dari lingkungan terdekat, perpisahan pada akhirnya, dan masih banyak lainnya.

"Astagfirullah"

Aku menoleh ke arah suara laki-laki yang mengangguku sedang melamun di ayunan taman belakang klinik. Dia terlihat kaget dengan keberadaanku, namun beberapa saat kemudian expresinya digantikan dengan kesal memandangku.

"Kamu ngapain mainan ayunan malam-malam gini. Bikin kaget aja. Pake dress warna putih, rambut panjang di gerai lagi. Kaya mba kunti aja kamu"

Aku tersenyum menanggapi komentar dosen anatomiku itu. Aku perhatikan lagi penampilanku malam ini, dress tidur brokat warna putih selutut, rambut panjang sebahu yang aku gerai. Hampir mirip memang seperti mba-mba yang suka nangkring di pohon waktu malam hari.

🪴🪴

.
"Nilla, kemarin siapa yang kontak dengan pasien atas nama Ny. Sutami"

"Gak tau ya mba.. memang kenapa? Tanggal berapa itu?"

Mba Ajeng terlihat mondar mandir mencari status pasien, sedangkan Nilla mengotak-atik komputer di bagian pendaftaran. Sedangkan Shinta dan Vivin terlihat tegang menatap mba Ajeng.

"Kenapa?"
Tanyaku penasaran.

"Bu Sutami positif covid"

"Siapa bu Sutami itu?"

Mba Ajeng tak menjawab pertanyaanku karna menjawab televonnya lebih dulu sambil memegang status pasien atas nama Ny. Sutami. Aku lihat tanggalnya, dua hari lalu beliau periksa kemari dengan keluhan batuk, demam, dan sakit tenggorokan. Ya Tuhan jangan-jangan...

"Habis ini semua swab kata ibu. Orang puskesmas bakal kesini siang ini. Terakhir dia periksa kesini dua hari lalu, itu artinya kita pernah ada kontak erat sama beliau."

"Jeng siapa waktu itu yang periksa?"
Bu Elanie tiba-tiba kemari dengan wajah paniknya, sambil membawa botol vitamin yang saat ini sedang langka dipasaran.

"Ini tulisannya Nilla bukan?"

"Hah iya, tapi..."
Ucapan Nilla terpotong, lalu melihatku prihatin.

"Tapi aku yang periksa ibunya kemarin"
Jawabku ragu, yang langsung mendapat tatapan dari semua mata yang ada di ruangakan ini.

"Kamu gak ada keluahan tapi kan nak? Meriang gak akhir-akhir ini, tenggorokan rasanya gimana? Ada sesak gak? Mas Narve dua hari yang lalu juga dinyatakan positif covid, sekarang isolasi mandiri di rumahnya."

"Saya dari kemarin baik-baik saja bu, tapi setelah dengar berita ini saya jadi agak sesak sekarang"

Aku mundur dari teman-temanku menjaga jarak dan mencoba memeriksa suhuku dengan menempelkan punggung tanganku pada dahiku.

"Saya tiga hari lalu juga kontak dengan dokter Narve bu, beliau minta tolong suntik iv saat badannya terasa capek dan meriang malam itu"

"Omg beb... semoga imunmu kuat. Aamiin aamiin"

"Aamiin"
Kataku dan orang disini serempak kecuali Nilla.

Beberapa saat kemudian, petugas dari puskesmas berbaju APD lengkap datang ke klinik. Kami di swab satu persatu, pertama kali melakukan tes swab, pedih banget rasanya dan cukup trauma. Dan tak lama hasilpun keluar, aku dinyatakan positif dan harus isolasi selama dua minggu.

"Saya isolasi di rumah aja kali ya bu"

"Enggak Er, kasian orangtua kamu nanti. Sekarang kamu ikut ibu saja isolasi di rumah mas Narve. Minta tolong Nilla siapkan barang-barang yang dibutuhkan Erin ya untuk isolasi dua minggu"

"Tapi bu... apa gak papa? Maksud saya.."

"Gak papa, emang paling aman disana. Tenang saja, ibuk percaya kalian bisa jaga diri gak bakal macam-macam, apalagi ngecewain ibu"

🪴🪴🪴

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang