Serba Mendadak

160 20 3
                                    

Tiga hari dirawat di rumah sakit dengan kamar yang kata orang-orang mewah, tetap saja membuatku bosan. Gimana gak bosan, kalau mas Narve membatasi orang yang akan menjengukku. Hanya ayah, mama, dia, bu Elanie yang saat ini minta dipanggil mama juga karna kita sudah menikah pada hari kedua aku dirawat, dan dokter Reza yang mendapat akses ke ruang rawat inapku. Lainnya tidak boleh.

Cabin fever, mungkin itu cocok untuk mendiagnosa diriku saat itu. Dimana cabin fever adalah istilah untuk menggambarkan berbagai perasaan negatif akibat terlalu lama terisolasi di dalam rumah atau tempat tertentu. Orang yang mengalami cabin fever merasakan sedih, bosan, gelisah, mudah tersinggung, dan beragam perasaan negatif lainnya akibat terlalu lama diam di suatu tempat dan terisolasi dari lingkungan sekitarnya.

#FLASHBACK ON

"Mas teman-temanku mau jenguk aku"
Ucapku pagi itu pada mas Narve yang sedang memakai snelinya sambil berkaca.

"Siapa?"
Tanyanya, kali ini dia bertanya sambil menyisir rambutnya, lalu menyemprotkan minyak wangi sambil menatapku.

"Gak tau, orang-orang Puskesmas"

"Kapan?"

"Nanti sore mungkin selepas dinas"

"Bilang jangan dulu bee, biar kamu istirahat."

"Yah... aku kenapa jadi kaya orang sakit parah gini sih? Terisolasi dari dunia luar."

"Biar kamu istirahat dulu"

"Lagian nanti sore mau ada acara"

"Acara? Acara apa? Gak mungkin kan acaranya di ruangan ini?"
Tanyaku padanya dengan memicingkan mataku.

"Iya disini... tunggu aja. Dah mau poli dulu. Hari ini jadwal padat banget Ya Rabb"
Katanya sambil mengenakan jam tangannya, lalu berjalan ke arahku dan mencium keningku. Mengacak rambutku, lalu dia pamit pergi dari sini.

Tak lama kemudian, mamaku datang bersama ayah. Lalu sekitar pukul 17.00 WIB, bu Elanie datang bersama sang suami. Membawa begitu banyak kue dan paper bag besar beserta koper cabin. Koper? Buat apa? Batinku, namun aku tak berani bertanya pada dokter obgyn yang terlihat berwibawa dan seakan menolak tua karna pakaiannya selalu necis itu.

Keempat orangtua itu asik bercerita sendiri tanpa mempedulikan aku yang berada di ranjang pasien ini. Mamaku asik dengan cerita masa kecilku, begitupun dengan bu Elanie yang menceritakan masa kecil anaknya. Mereka saling tukar cerita dan sesekali tertawa bersama.

Tak berselang lama, mas Narve datang dengan menenteng snelinya, menyalimi kedua orangtuaku dan orangtuanya. Suasana ruangan yang semula ramai, kini jadi hening dan tegang setelah pak Reza menyampaikan niatnya untuk memintaku untuk anaknya yang kedua kali.

"Sudah papa awali mas, sekarang giliran kamu yang minta langsung"
Kata pak Reza pada mas Narve yang saat ini mukanya terlihat tegang.

"Ayah, mama, maaf sebelumnya... mungkin saya dan orangtua saya kurang sopan meminta Erine disini. Tapi saya sudah tidak bisa menunggu lagi."

"Saya, mama dan papa ada di sini karena ketaatan saya pada apa yang sudah Allah Aza Wa Jalla perintahkan. Saya bermaksud untuk melamar putri dari ayah dan mama. Saya berharap ayah dan mama sudi untuk menerima lamaran saya karena saya dan Erine sudah mengenal dan menjalani hubungan cukup lama."

"Saya merasa ini adalah saat yang tepat untuk melangsungkan hubungan ke jenjang yang lebih serius lagi jika direstui dan diridhai... InsyaAllah saya ingin menjadikan Erine sebagai istri saya."

Katanya dengan lugas sambil menatap mantap kedua orangtuaku yang duduk di hadapannya. Mamaku terlihat tidak kaget, begitupun dengan ayahku, mungkin hal ini sudah mereka bicarakan sebelumnya tanpa sepengetahuanku.

"Jadi kapan kamu mau nikahin Erine mas? Hal baik harus disegerakan untuk meminimalisir perbuatan zina dan fitnah."
Kali ini bu Elanie yang berbicara menantang anaknya. Seketika aku jadi ingat kelakuan anaknya di dapur waktu itu yang diketahui bu Elanie.

"InsyaAllah secepatnya ma."

"Secepatnya itu kapan mas?"
Tanyanya lagi menuntut.

"Sekarang juga boleh ma kalau bisa"
Kata mas Narve asal yang membuat mamaku dan bu Elanie tersenyum.

"Yaudah kalau mau sekarang juga gak papa. Sekarang atau besok juga sama aja."
Kali ini ayahku yang berbicara membuat aku sedikit kaget dengan tanggapannya.

"Boleh... siri dulu malam ini. Besok baru ngurus berkasnya di KUA dan desa. Gimana mas? Siap sekarang?"
Kata pak Reza itu pada anaknya, sedangkan anaknya itu kini terdiam sambil menimang-nimang tawaran papanya.

"Maaf... apa ndak terlalu terburu-buru?"
Kali ini aku yang memprotes karna bisa membaca keraguan di wajah mas Narve. Namun aku yakin sekali pria itu tidak bisa menolak.

"Gak sih, kalian juga sudah sering bersama kan?"
Kata mamaku.

"Iya mau tunggu apa lagi"
Tambah bu Elanie.

"Tapi apa ndak terlalu mendadak ma? Maaf bukannya menolak, tapi kan nikah dadakan terus siri lagi... nanti orang ngiranya aku sudah hamil duluan dan di apa-apakan sama mas Narve lagi."
Ucapku hati-hati.

"Gak usah mikirin apa kata orang nduk... gak ada habisnya nanti."

"Syarat nikahnya gimana ma?"
Tanya mas Narve pada mamanya.

"Oh tenang... sudah mama siapkan. Syarat wajibnya aja yang dipenuhi dulu. Besok kamu ngurus berkas-berkasnya di kantor desa dan KUA. Kalau kalian ingin ada resepsi bisa dibicarakan nanti."


FLASHBACK OFF

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang