Pria Aneh

127 10 1
                                    

Hari senin yang ruwet, karna aku dan mas Windu akan melaksanakan BIAS atau Bulan Imunisasi Anak Sekolah di seluruh SD dan MI yang ada di desa tempat kami ditugaskan. BIAS merupakan pemberian imunisasi lanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan terhadap penyakit campak, rubella, difteri, tetanus dan kanker serviks.

Program BIAS sangat penting, karena sejak anak mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Sasaran pelaksanaan BIAS adalah anak kelas 1 , 2, 5 dan 6. Anak kelas 1 akan mendapatkan imunisasi MR dan DT, anak kelas 2 dan 5 akan mendapatkan imunisasi Td, sedangkan anak Perempuan kelas 5 dan 6 akan mendapatkan imunisasi HPV.

"Waktunya kurang ini Er"
Kata mas Windu sambil menyiapkan vaksin untuk BIAS.

"Posyandu lansia jadi tak mundurin di sore hari, badanku jan remuk rasanya Er. Bener-bener kurang istirahat."
Lanjutnya lagi padaku dengan muka memelas.

"Mas aku tadi malam ada partus, observasi mulai pukul 14.00 bukaan lengkap di pukul 03.00 WIB dini hari, sebelum kesini posyandu dulu sampai pukul 09.30 WIB di Anggrek dua. Abis itu langsung cus kesini. Nanti aku juga kebagian jaga gawang."

"Ya sama aku juga jaga IGD, makannya bingung aku. Ini BIAS tiga sekolah. Mudah-mudahan gak sampai pukul 14.00 WIB. Jadi gak telat posyandu lansia. Orangtua pada suka ngomel e kalau aku telat. Padahal kan aku juga bagi-bagi waktu."
Curhatnya padaku sambil menyedot vaksin ke spuit.

"Dokter Dimas ini juga mana gak datang-datang"
Ucapnya tak sabaran.

"Eh itu mobilnya bukan? Yaris lele putih?"

"Apanya yang kaya lele sih mas?"

"Ya itu Er mobilnya, karena bentuk siluet bumper depan yang memiliki garis hitam dari lampu depan sampai bumper depan seperti kumis lele."

"Oh kalau sebelumnya yaris apa?"

"Gak tau"

"Pagi mba, mas... udah ke kantornya belum?"
Sapa dokter Dimas itu pada kami, dia datang bersama dokter Bernad kepala Puskesmas kami yang baru.

"Belum dokter, kita nunggu dokter tadi sambil nyepetin vaksin biar nanti cepet."

"Di desa sini ada berapa sekolah mba yang ikut BIAS?"
Tanya dokter Bernad itu padaku.

"Tujuh dokter"

"Berati yang empat sekolah kalian sendirian dong ya?"
Tanyanya lagi yang kita iyakan.

Sebelum melakukan BIAS pada anak sekolah, kita terlebih dahulu meminta izin pada guru dan kepala sekolah yang ada di kantor. Setelahnya kita berkeliling melakukan imunisasi dari kelas ke kelas dan dilanjutkan dari sekolah satu ke sekolah lain sesuai jadwal yang telah disepakati. Selesai melakukan BIAS, aku, mas Windu, dan dokter Dimas mampir dulu ke Polindes yang aku tempati. Sesampai di Polindes, dokter Dimas menemukan setangkai bunga mawar dan sepucuk surat di kursi dan memberikannya untukku.

"Nih mba... ada yang ngirim bunga. Aku nemuin di situ pas mau duduk."

"Cielah... dokter Narve romantis amat. Tapi kok kaya gak bondo ya, bunganya metik dimana ini? Suratnya juga surat hvs lagi, buka Er coba. Kok aku ragu kalau dari pacarmu."
Kata mas Windu memuji namun juga menjatuhkan pengirim bunga dan surat tersebut.

Aku menurut pada mas Windu dan membuka surat itu. Terdapat empat baris tulisan rapi dengan tinta warna hitam yang terlihat di dalam surat itu dengan gambar love di bawahnya yang diwarnai spidol warna merah. Aku penasaran dengan pengirim bunga dan surat ini karna tak ada nama didalamnya. Aku bolak-balik surat itu mencari nama pengirim, namun juga tak aku temukan.

"Dari siapa mba?"
Tanya dokter Dimas Kepo.

"Gak tau dokter"

"Isinya apa tu Er? Dari dokter Narve beneran bukan? Kamu hapal tulisan pacarmu itu gak?"
Tanya mas Windu padaku yang masih membaca isi surat tersebut.

"Bukan... bukan mas Narve nih. Mas Narve mana bisa nulis bagus gini."
Ucapku dengan exspresi datar.

"Selamat siang calon istriku, aku tadi mampir sini ternyata kamu belum pulang. Nanti malam minggu jalan ke kota yuk sama abang, nanti aku jemput jam empat ya... kamu siap-siap aja. Dandan yang cantik ❤️"
Baca mas Windu pada surat itu sambil tertawa mengejek.

"Orang iseng kali... buang aja"
Ucapku pada mas Windu yang masih cekikikan membaca ulang-ulang surat tersebut bersama dokter Dimas. Entah kenapa mereka jadi sekompak itu meledekku.

"Kalau bukan pacarmu siapa ini Er? Masak pak Lurah ya wkwkwk"
Ejek mas Windu lagi yang diakhiri dengan tawa mereka berdua.

"Siap-siap gih mba, nanti mau dijemput lo"
Kali ini dokter Dimas semangat sekali menggodaku, namun aku tetap acuh sambil memakan kue yang aku sajikan.

"Kalian berisik deh, kalau cuma mau ganggu istirahatku sebelum jaga, mending pulang sana."

Mereka tertawa menanggapi ucapanku yang terkesan ketus itu. Nampaknya mereka juga tak kunjung pulang walaupun sudah terang-terangan aku usir. Mas Windu dan dokter Dimas malah asik nonton film yang ada di televisiku. Hingga pukul 15.30, saat mas Windu pamit menumpang mandi dan bersiap untuk jaga, aku yang hanya dengan dokter Dimas di ruang tamu dikejutkan dengan gebrakan pintu yang dari tadi terbuka itu.

"Jadi gini ya kalian. Polindes dijadikan tempat pacaran"
Bentak seseorang yang kini berada di ambang pintu. Seketika aku yang sedang menulis laporan di laptop menoleh pada arah suara. Sedangakn dokterDimas yang duduk lesehan agak jauh dariku terlonjak kaget dan berdiri.

"Maksudnya? Kita gak pacaran?"
Tanya dokter Dimas pada pria yang sedang marah itu.

"Diam kamu, ternyata kelakuan bidan desa minus ya.. berduaan di dalam sini. Polindes itu buat tempat pelayananmu, bukan pacaran, apalagi kamu bisa seenaknya masukin laki-laki semaumu. Saya gak mau tau setelah ini, saya akan lapor kepada kepala Puskesmas dan meminta bidan desa yang lebih berattitude. Gak seperti kamu."

Marahnya padaku yang diriku masih terbengong kenapa dia bisa semarah itu. Kalau dia bisa lihat, aku dan dokter Dimas tidak berdekatan, jarak kami cukup jauh dan tidak melakukan hal-hal aneh. Kami juga tidak hanya berdua, ada mas Windu yang saat ini sedang mandi di belakang.

Karna sedikit ribut, beberapa orang yang rumahnya dekat dengan polindes kemari, begitupun dengan mas Windu yang sedang mandi di belakang. Dia bingung melihat ada beberapa orang yang sudah berkumpul disini dan dokter Dimas yang mencoba menjelaskan bahwa dia tidak melakukan yang dituduhkan pria itu. Sedangkan pria itu mengotot bahwa kami sedang pacaran dan berpikiran akan melakukan hal aneh-aneh.

***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang