Kiss

148 18 5
                                    

Sudah genap satu bulan aku menikah dengan mas Narve. Tapi pernikahan kami masih gitu-gitu aja, mas Narve terlalu sibuk dengan pekerjaannya, begitu juga denganku. Namun beberapa hari lagi aku off dari Puskesmas, dan akan kuliah kembali di ITKS Soepraoen. Masih di Malang, tapi mungkin karna kesibukan kami masing-masing, kami jadi jarang ada waktu untuk bersama.

"Kenapa mesti keluar sih adek bungsu?"
Tanya mas Windu di sela-sela jaga terakhirku di Puskesmas.

"Mau sekolah lagi"

"Yah... aku juga sekolah lagi ambil S1 keperawatan. Tapi juga masih kerja disini. Emang mau sekolah dimana?"

"Soepraoen"
Kataku singkat sambil mengerjakan parograf di meja perawat.

"Yaelah Er, Soepraoen doang. Masih Malang kali"

"Yawes to mas Windu, gak usah dipaksakan. Lagian Putri juga sudah menikah, mungkin sama suaminya suruh dirumah dulu sambil sekolah lagi."

"Kenapa gak di Kediri aja Put, kuliahnya sabtu minggu bunda dulu."
Kata Bu Maryam yang dari tadi hanya menyimak obrolan kita.

"Kemarin pilihnya asal bu"

"Berapa UKT nya S1 disana?"

"Sebelasan bu, bu Mer dulu di kediri berapa?"

"Bunda dulu ambil paketan, dua puluh delapan juta. Tapi gak sama biaya wisuda itu, wisudanya bayar tiga juta setengah."

"Demi apa sekolah bidan mahal-mahal kaya gitu"
Ucap mas Windu dengan mata melotot.

"Sebelas dua belas kan mas Windu sama sekolah perawat? Jadi gak usah kaget gitu to."

"Boten bu (tidak bu), UKT saya di sembilan jutaan. Ini sudah ngoyo saya bayarnya bu. Nanti kalau anak saya kira-kira berapa ya biaya sekolahnya?"
Kata mas Windu tidak terima.

"Yawes dijalani saja mas Windu, Bismillah bisa nyekolahin anak nanti tanpa kekurangan."
Kata bu Mer megakhiri perdebatan kita di pagi dini hari tersebut.

Paginya, setelah aku berpamitan dengan seluruh staff di Puskesmas karna hari ini adalah hari terakhirku bekerja di sini dan berfoto-foto sebagai kenang-kenangan. Aku mengendarai mobil yang dipinjamkan suamiku ini ke Rumah Sakit D.

Beberapa menit lalu, mas Narve mengabarkan jika dia ada di Rumah Sakit D dan minta di jemput disana. Dengan senang hati, aku kendarai mobil SUV ini untuk menjemputnya. Setelah mengendarai mobil sekitar lima puluh menit, aku sampai di parkiran Rumah Sakit D, namun, ketika aku hubungi suamiku, dia tak juga mengangkat telephoneku, maka aku putuskan untuk masuk ke dalam RS dan berjalan ke Poli Bedah.

"Selamat pagi mba"

"Selamat pagi mba, eh anu maaf mba, ada yang bisa saya bantu?"
Kata mahasiswa pra klinik yang berada di meja ners itu dengan ramah namun wajahnya tampak ragu memandangku.

"Maaf menganggu, saya sudah ada janji dengan dokter Narve, namun saya hubungi beliaunya tidak bisa. Apa dokternya masih poli dan masih ada disini?"
Mahasiswa itu tampak bingung, menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu izin permisi kepadaku untuk bertanya kepada suster yang ada di dalam ruangan.

"Mbanya mau bertemu dengan dokter Narve?"
Tanya seorang wanita dengan baju coklat yang sama denganku. Suster itu memandangku dari atas kebawah, lalu keatas lagi.

"Iya, beliaunya masih disini kan?"

"Masih sih, tapi masih sibuk... mbanya siapanya?"

"Istrinya"
Ucapku bangga, namun tetap kalem.

"Hah.. istrinya? Dokter Narve sudah menikah? Eh maaf mba, aduh maaf ya mba... saya kaget."
Tanyanya menggebu, namun sungkan di akhir kata-katanya saat aku memandangnya tak suka.

"Iya saya istrinya"

"Dokter masih ada bimbingan sama koas mba, mari saya antarkan"

Aku mengikuti perempuan bernata Anggi itu, sepanjang jalan dia meminta maaf padaku karna menurutnya dia bersikap tidak sopan padaku.

"Mba sudah lama menikah dengan dokter Narve? Maaf ya mba, saya gak tau, karna dokter Narve menikah gak kasih kabar-kabar."

"Itu dokter Narve mba, masih bimbingan. Mbanya tunggu sini sampai mereka selesai ya mba... gak papa kan? Saya takut kena protes koas soalnya kalau ganggu mereka, dokter Narve sulit di temui soalnya. Jadi waktunya kaya gini, berharga buat para koas."

Aku mengiyakan suster bernama Anggi itu, sedikit mengintip ke jendela seperti yang suster itu lakukan. Disana aku melihat mas Narve duduk bersandar berjejer dengan para koas sedang memperhatikan koas yang presentasi kasus. Dia mengenakan Tshirt berwarna jins yang ditutup dengan snelli berwarna putih bersih dan celana slim khaki. Tatapannya mendominasi. Kaki panjangnya menyilang sombong, memangku fotocopyan laporan kasus para koas. Kemudian duduk di bangku tunggu sambil memainkan handphoneku.

Beberapa menit kemudian para koas berjumlah delapan orang itu keluar dari ruangan seberangku. Setelahnya, terdengar nada dering dari handphoneku, kulihat penelpon adalah mas Narve, aku geser tombol berwarna hijau itu dan memberitahunya bahwa aku sudah ada di depan ruangan tempat dia sekarang.

"Hai... sudah lama?"
Tanyanya padaku saat dia sudah keluar dari ruangan tersebut. Snellinya sudah dia lepas dan dia sampirkan di tangannya.

"Sudah, sampai lumutan ini"
Kataku manja membuat dia tersenyum, lalu mencubit hidungku gemas.

"Kangen... Gak ketemu kamu sehari semalam aja nyiksa banget ya."
Katanya lagi sambil merangkulku dan menuntunku untuk pergi dari sini.

"Pengen banget langsung meluk dan ciumin kamu, tapi disini banyak orang."

Aku hanya  tertawa menanggapi mas Narve.
"Mas kalau jadi konsulen jahat ya?"

"Kata siapa? Aku baik ya"

"Aku tadi udah lihat. Mas suruh ngulang koas yang cwe tadi buat ngulang stase satu minggu."

"Oh itu... ya karna dia kaya main-main. Gak serius belajar. Masak ditanya tentang kasus yang dia ambil gak bisa jawab semua."

"Oh gitu?"

"Hmem"

"Mas emang gak bawa mobil?"

"Enggak"

"Kenapa?"

"Biar kamu jemput"

Aku tersenyum sambil melihat mas Narve, kemudian mencium pipinya gemas sambil berjinjit.

"Kamu udah berani cium-cium di depan umum ya sekarang"
Protesnya padaku yang aku balas dengan tawa.

***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang