Sebuah Nasehat

147 20 4
                                    

"Hari-hariku setelah ditinggal kedua orangtuaku masih sama. Lebih banyak diam dan termenung dalam kesendirian. Terkadang, aku diliputi rasa takut dalam hati yang sangat menganggu pikiranku. Entah kenapa, seiring bertambahnya kedewasaan pada diriku, dan juga perginya orang-orang yang aku sayangi dariku, justru menambah rasa takutku tentang dunia."

"Dalam setiap hariku, aku merasa tidak tentu dan perlu kesunguhan hati. Setiap hariku, aku perlu memotivasi diriku sendiri untuk dapat melanjutkan hidup"

"Jalanku terasa berat"

"Beban yang aku pikul terus bertambah seiring berjalannya waktu"

"Setiap hari, aku lelah harus menata hati dan menghilangkan pikiran burukku."

"Aku tidak sedih mas, jangan menatapku prihatin seperti itu. Tetapi aku juga tidak sedang bahagia. Aku hanya merasa lelah dan ingin istirahat dengan semua rasa takut yang ada dalam pikiranku."

Saat ini aku sedang berada di kamarku, dirumah orangtuaku. Ditemani oleh mba Cici dan suaminya. Mba Cici sedang memelukku dari samping, sedangkan suaminya mas Budi, sedang duduk di kursi belajarku sambil memandangku iba.

"Kamu gak sendirian yin... ada mba, ada mas, ada bude dan pakde. Masih ada keluarga besar kita yang semua sayang sama kamu."

"Kalau kamu butuh apa-apa, bilang mba, televon mba. Gak usah sungkan-sungkan sama mba."

"Kalau kamu pingin curhat, numpahin semua yang ada di pikiranmu dan sewaktu-waktu butuh obat. Telephone mas Budi. Ya mas ya..."
Ucap mba Cici sambil melihat suaminya memohon.

"Atau kalau kamu mau tinggal sama mba di Puncak Tidar sama mba juga boleh. Biar kalau ke kampus dekat. Biar mas Budi juga bisa ngawasin dan ngerawat kamu."

Aku tersenyum getir melihat ke samping, ke arah mba Cici.
"Mba, aku gak gila kali. Kenapa harus dirawat dan diawasin mas Budi segala. Aku belum butuh dokter spesialist kejiwaan ya mba."

Mas Budi terlihat sedikit menahan tawanya mendengar responku menjawab istrinya. Sedangkan istri dokter spesialist jiwa yang juga sepupuku ini sesikit kaget dan terlihat menyesal dengan ucapannya. Lalu berbicara lebih hati-hati lagi terhadapku.

"Maaf, maksud mba gak gitu Yin. Aduh gimana ya"
Ucapnya bingung ingin menjelaskan, namun matanya membulat kaget karna melihat tamu yang datang di ambang pintu.

"Whilly"
Ucapnya ragu namun terkesan ragu dalam nadanya... namun pria bernama Whilly itu tersenyum, lalu menghampiri sepupuku dan suaminya itu dan menyaliminya.

"Hallo ka, apa kabar?"
Katanya ramah menyapa mba Cici. Whilly memang dulu akrap dengan semua keluargaku karna seringnya kita bertemu.

"Baik... baik, kaget aku tak kira kalian musuhan setelah putus. Sekarang tambah ganteng aja ya, tambah keren. Aku dengar sudah lulus dari Univ Leiden ya? Sudah jadi lawyer hebat."
Kata mb Cici ceplas-ceplos yang mendapat gelengan dari suaminya. Sedangkan Whilly, dia hanya tersenyum menanggapi sepupuku itu.

"Emm, kalian mau ngobrol? Mba ke belakang dulu ya Yin. Yuk mas"
Pamit sepupuku itu padaku lalu mengajak suaminya pergi dari kamarku.

Whilly membuka pintu lebar-lebar setelah kepergian mba Cici dan suaminya. Kemudian mengangkat kursi belajar yang di duduki mas Budi tadi kearah pintu kamar. Dia sengaja menjauhkan kursi itu karna tau aku bukan mahramnya dan sudah bersuami.

"Maaf ya, aku agak jauh gini gakpapa kan?"
Tanya Whilly padaku yang berjarak sekitar tiga meter denganku.

"Gak papa"
Ucapku sambil tersenyum tipis kepada Whilly.

"Maaf ya Er, aku baru kesini. Aku baru dengar kabar dukanya kemarin malam waktu nengok Narve."

"Iya gak papa, makasih ya Whil"

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang