Pamit

226 17 2
                                    

"Aku sendiri ragu, ini beneran tebak-tebak berhadiah atau bukan."

"Kamu beruntung lo beb bisa lolos sampai psikotes gitu. Dari berapa ratus peserta itu? Kan banyak"

"Penempatan dimana Er?"

"Di Puskesmas X bu, daerah dekat pantai selatan"

"Yaudah gak papa, ndak usah galau gitu. Mungkin rezekynya disana. Siapa tau cepat jadi pns seperti keinginan mama kan?"

Aku sendiri ragu, ini benar yang dinamakan tebak-tebak berhadiah atau bukan. Beberapa minggu lalu, aku denga beberapa teman lainnya mencoba untuk mendaftar sebagai tenaga kesehatan sukarela di daerah Kabupaten Malang. Lagi-lagi perbuatan iseng itu berbuah hasil. Aku yang hanya iseng mencoba mendaftar sebagai tenaga kesehatan kontrak di puskesmas lewat dinas kesehatan berhasil lolos tes tulis, wawancara, samapai psikotes.

Dan dari beberapa ratus orang bidan yang mendaftar, aku termasuk dari sepuluh orang yang terpilih di tempatkan di beberapa puskesmas yang membutuhkan tenaga kesehatan profesi bidan. Dan aku ditempatkan di puskesmas yang lumayan plosok dari pusat kota. Kurang lebih perjalanan satu jam menggunakan motor dari rumah orangtuaku.

Aku pernah sekali ke daerah sana, jalanan ke puskesmas itu lumayan sempit, dengan tebing-tebing di kanan kirinya. Jalannya menanjak dan sedikit terjal. Jarak rumah-rumahnya pun disana tergolong jauh-jauh dan jarang.

"Maaf ya bu, bu Elanie jadi harus cari asisten lagi"
Kataku saat pamit, tak enak karena harus tiba-tiba berhenti kerja dengan beliau.

"Gak papa, semoga betah ya disana. Jaga diri baik-baik"
Katanya tersenyum padaku.

"Mikir apa? Gak usah terlalu difikir yang belum tentu terjadi, ndak usah cemas disana akan seperti apa. Daun yang jatuhpun sudah ada yang mengatur nak. Jalani saja sebaik-baiknya, lakukan yang terbaik dan terus belajar sampai kamu berhasil."

"Terimakasih banyak bu, maaf selama ini saya sudah banyak merepotkan ibu."
Aku mengangguk lalu menatapnya, meminta maaf kembali.

Aku kaget saat bu Elanie tiba-tiba memelukku. Mengusap-usap punggungku dengan lembut.
"Sering-sering main kesini ya kalau ada waktu luang"

Aku mengangguk kembli.
"Terimakasih bu"

"Memang mau kemana?"
Suara pria yang tiba-tiba ikut dalam obrolan itu membuat kami menoleh.

"Mau kemana?"
Tanyanya sekali lagi saat kami masih diam memperhatikannya.

"Kenapa harus pesan supaya sering main kesini? Bukannya masih magang disini?"

"Emm, kalian lanjutin ngobrolnya, ibu mau pulang dulu ya sudah sore belum mandi."

Bu Elanie pamit pergi dari hadapan kita. Aku masih diam memandang kepergian beliau sampai ada tangan yang mengenggam tanganku. Mengajakku untuk ikut dengannya.

"Mau kemana?"
Tanyanya padaku lembut.

"Aku ketrima jadi pegawai honorer di puskesmas"

"Pegawai sukarella maksudnya? Dimana?"

"Ada masih di Malang kok"

"Dimana?"

"Puskesmas X"

"Dekat gak dari sini?"

"Dekat, paling dua jam lah lebih"

Dia hanya diam mengutak-atik handphone mahalnya tanpa mempedulikanku disini. Aku seruput kopi panasku yang dia buatkan ketika sampai sini tadi. Enak batinku sambil memperhatikannya. Dokter Narve ternyata mempunyai mata lebar seperti mata bu Elanie dengan alis tebal berwarna hitam kecoklatan. Apa dia ada keturunan arab? Hidung mancung, dan lesung pipi yang ketika tersenyum membuatnya terlihat tampan.

"Ya Tuhan Er... jauh ini. Jalan menuju kesana masih hutan dan ngelewati tanaman tebu loh, naik turun jurang curam gini."
Katanya sambil menatapku dan memberitahuku aplikasi maps di handphonenya.

"Kamu perempuan lo"

"Iya memang perempuan dokter"

"Ya Tuhan Er, kalau pulang sore gimana? Kalau ada apa-apa di jalan gimana? Kamu tuh kenapa gak pilih di kota aja sih? Kenapa harus di desa?"

"Kan gak bisa pilih dok, ditempatinnya di situ"

"Kamu kenapa gak bilang dulu sih kalau mau daftar tenaga sukarela gitu? harusnya bilang dululah. Kalau kamu mau aku bisa masukin ke rumah sakit tempat kerjaku. Rawan banget jalan menuju kesana Er. Kamu perempuan, kalau pulang sore atau agak malaman gimana nanti di jalan, terus kalau ada apa-apa gimana?"

Marahnya padaku sambil melihatku. Mukanya terlihat kesal dan marah padaku namun tersirat perasaan kawatir. Harus bilang dulu sama dia? Lah memang dia siapa coba? Suami? Pacar? Atau kakak?
Aku masih mengamatinya memarahiki, sedetik, dua detik, sampai lima detik kemudian baru dia mengusap rambutnya kasar lalu kata-katanya sedikit lembut lagi.

"Kontraknya berapa tahun?"

"Setahun"

Dia mengangguk, lalu mengusap kepalaku lembut. Tiba-tiba saja sikapnya jadi posesif setelah kita isolasi bersama beberapa bulan lalu.

"Maaf, semoga kekawatiranku tidak terjadi. Jaga diri baik-baik di tempat orang ya. Kalau ada apa-apa disana jangan sungkan telephone dan jangan lupa berkabar."

"Dokter kenapa?"
Tanyaku padanya terjeda..

"Kok jadi aneh"

Dia tak menjawabku, menatapku dalam lalu berdiri dari duduknya dan meninggalkanku masuk ke kamarnya di lantai dua.

"Lah aneh"

Gerutuku pada diri sendiri. Aku tak begitu mempedulikannya, lebih memilih menghabiskan sisa kopiku, dan berjalan ke dapur untuk mencuci gelasku. Walaupun aku memposisikan diriku tamu, aku cukup tau diri disini, karena dia akan marah kalau aku tidak rapi dan menjaga kebersihan. Ketika aku akan berjalan keluar lewat pintu belakang.. tiba-tiba saja suaranya mengintrupsiku untuk tetap diam di ruang tengahnya.

"Mau kemana?"

"Mau pulang"

"Tunggu di ruang tengah, aku anter"

"Eh gak usah"

"Gak butuh penolakan, tunggu disitu. Atau... boleh deh kamu siapin barang kamu di depan dulu. Ik ben er binnen 10 minuten"

Katanya dari lantai dua dekat tangga, rambutnya terlihat basah, mungkin baru mandi batinku. Dan sejak kapan dia jadi perhatian seperti itu? Satu lagi, sejak kapan aku jadi tanggung jawab dia sehingga, dia mau repot-repot mengantarku.

"Ik ben... dia ngomong apa sih?"

Tanyaku pada diri sendiri, namun tubuhku secara tidak sadar menurut pada perintahnya dan berjalan ke arah depan. Menyiapkan barang-barang yang tak begitu banyak di kamar, dan memasukannya kedalam koper dan tas kecil dibantu Nilla.

***

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang