Anonimisasi

286 15 2
                                    

"Ini gak sakit kok, cuma emang pedih aja rasanya"

Katanya merayuku agar mau tes PCR seperti dia. Sebenarnya pasien dapat dinyatakan sembuh setelah hari ke-10 sejak timbulnya gejala dan selama tidak mengalami gejala di 3 hari berikutnya. Jika gejala sudah hilang di hari ke-6, pasien dapat dinyatakan sembuh setelah hari ke-10. Dan kami sebenarnya dari hari ke 4 sudah tidak merasakan gejala seperti demam dan lain sebagainya.

"Dokter, setelah isolasi mandiri, pasien yang memiliki gejala ringan ternyata bisa dinyatakan sembuh tanpa harus menjalani tes PCR ulang kok, ini deh liat artikelnya"

"Iya tau.. untuk memastikan aja Er. Coba deh liat ini aku dulu"

Dia membuka cotton bud panjang, kemudian mendongakkan kepala untuk mengambil sampel lendirnya sendiri. Dia dengan santainya memasukan cotton bud panjang itu ke lubang hidung hingga nasofaring, kemudian memutar atau menggerakkan cotton bud itu agar lendir di nasofaring menempel di alat swab.

"Nah udah gitu doang. Coba duduk sini"

Dia menarik tanganku dan mendudukanku di depannya. Kemudian membuka alat swab itu. Memposisikan kepalaku condong keatas. Tangan kanannya memegang cotton bud steril itu, sedangkan tangan kirinya mendongakan daguku.

"Dokter pemaksa sekali ya orangnya. Pelan-pelan lo, awas sampai sakit"
Ancamku padanya, dan dia hanya tersenyum.

"Tegang banget mukanya.. kaya mau diapain aja kamu"

"Relax dong..."

"Kamu tau gak Er.. jasaku mahal lo. Konsul aja mahal apalagi tindakan. Kamu beruntung aku yang nanganin langsung, gratis lagi"
Katanya sambil mencolok hidungku.

"Nah sudah, sekarang buka mulutnya"

Katanya sambil memberiku tissue. Aku tak merespon permintaannya untuk membuka mulutku. Kedua tanganku aku gunakan untuk menutup mulutku. Dia yang memang tak sabaran memegang lagi daguku sambil senyum menatapku. Ya Tuhan tolong, kalau dia seperti ini terus jantungku bisa-bisa tidak sehat lagi.

"Yauda oke kalau memang gak mau"

Katanya lembut kepadaku, lalu tersenyum lagi. Tangannya kini sudah berani menyentuh rambutku. Nyaman memang rasanya ketika tangan itu mengusap-usap rambutku, tapi setelah ingat dia siapa dan tidak mau di buat baper sperti mba Ajeng, aku harus segera membentengi hatiku untuk pria satu ini kalau tidak ingin kecewa lagi di kemudian hari.

"Negatif"
Katanya kemudian menoleh kearahku dengan menunjukan alat tes dengan hasil strip satu.

"Alhamdulillah. Terima kasih dokter"

Kataku kemudian lalu bangkit dari sofa. Tetapi dia lagi-lagi mencekal lenganku. Matanya menatapku dalam. Beberapa detik kita saling tatap-tatapan, hingga aku memutuskan kontak itu terlebih dahulu.

"Maaf dokter, saya harus bersih-bersih sebelum kembali ke depan"

"Bersih-bersih apa?"

"Kamar... cuci sprei dan selimut. Kan itu bekasku"

"Gak usah, biar nanti di laundry aja"

"Sini dulu"

Katanya lagi setelah aku hanya diam memandangnya heran. Ada apa dengan pria ini? Tiba-tiba saja sikapnya aneh. Dia yang aku kenal dulu selalu cuek dan termasuk dalam golongan Introvert jadi mendadak perhatian dan sedikit royal. Lalu jika dia intovert seperti mba Ajeng katakan, kenapa dia menahanku disini? Bukankan para introvert sukanya sendirian?

"Sini"

Hal yang tak pernah aku duga sebelumnya adalah saat-saat seperti ini. Dia menarik pergelangan tanganku lembut, namun aku yang tak siap dengan tarikannya harus jatuh ke sofa sebelahnya. Dia menangkap badanku, dan di peluknya butuhku membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

SATU CIRCLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang