Bagian Tujuh

7K 408 6
                                        

Saskia mengendarai mobilnya ditemani alunan musik bergendre metal yang ia gemari sejak dulu. Tangannya menghentak mengikuti beat lagu yang sedang ia dengarkan sambil matanya fokus menghadap jalanan di depannya. Sore itu, setelah menyelesaikan urusannya di kantor label, Saskia memutuskan untuk pergi ke studionya. Sebelumnya teman-teman bandnya telah mengabari kalau mereka akan memakai studio Saskia untuk latihan. Akhirnya Saskia memutuskan untuk menyusul.

Saskia bertos ria dengan lima orang teman bandnya yang sudah berada terlebih dahulu di studionya. Kemudian meletakkan dua paper bag berisi makanan ringan dan beberapa minuman di atas meja. Saskia duduk di kursi bar yang di sebelahnya terdapat sebuah stand partitur kemudian meraihnya microphone di dekatnya dan mulai bersenandung.

"Sas, lo beneran mau ngasih lagu buat Rony?" Tanya Juna, keybordist dalam band tersebut.

Saskia melangkah mengambil munuman dalam paper bag. Meneguknya sejenak kemudian kembali ke tempat duduknya.

"Gak tau. Tapi udah ada omongan dari label, sih. Cuman belum fix aja," sahut Saskia.

Juna menghentikan kegiatannya. Ia menoleh ke arah Saskia dengan wajah yang serius.

"Sas, gue takut lo dimanfaatin Rony. Jangan sampai dia jadiin lo buat angkat namanya lagi," seru Juna dengan raut khawatir yang terlihat jelas di wajahnya.

"Bener, Sas," kini Keenan yang buka suara. Drummer band tersebut merupakan salah satu teman Rony sebelum ia terkenal. Kini laki-laki itu memilih bergabung di band Saskia.

"Tenang aja. Lagian belum fixed juga," ucap Saskia meyakinkan anggota bandnya.

Mereka memutuskan untuk mengakhiri sesi latihan itu tepat pukul tujuh malam. Saskia masih di studionya. Mengamati satu persatu partitur yang telah lama ia simpan. Ada beberapa lagu yang telah rampung di dalamnya. Pikirannya melayang lagi pada Rony. Dulu sebelum menghilang, ia kerap berdiskusi dengan pria itu perihal pemilihan nada-nada untuk lagu yang ditulisnya. Terkadang mereka berdebat untuk menemukan lirik dan nada yang tepat. Meski lagu-lagu yang sempat mereka tulis berdua belum semua bisa dirilis.

Ponsel Saskia berdering. Ia melirik sejenak layar ponselnya. Ada nama Rony tertera di sana.

"Halo, Ron," sapa Saskia setelah menjawab panggilan itu.

"Lagi di mana Kia? Sibuk gak?"

"Gue lagi di studio Ron. Baru kelar latihan. Kenapa?"

"Kebetulan banget. Gue kesana, boleh?"

"Oke. Kesini aja nanti gue shareloc tempatnya," sahut Saskia.

Rony tiba setengah jam setelah panggilan telepon terputus. Laki-laki itu datang mententeng helm full facenya. Setelah menyapa Saskia, ia duduk di sofa sebelah Saskia. Matanya tertuju pada partitur di atas meja.

"Motoran, Ron?" Tanya Saskia tanpa menoleh ke sebelahnya. Ia sibuk merapikan partitur yang berserakan di atas meja.

"Ya, Ki. Udah lama gue gak motoran. Kapan-kapan kita motoran lagi yuk, Ki. Kaya dulu. Gue kangen banget motoran sama lo," Rony membuka jaket kulitnya. Ia merasa jaket itu terlalu mengganggu gerakannya. Kini tersisa kaos hitam bertuliskan The Beatles di depannya.

Pikiran Saskia kembali pergi ke masa lalunya. Dulu, ia dan Rony kerap pergi berdua berboncengan mengelilingi kota untuk melepas penat. Tidak ada yang tahu, kegiatan mereka selalu dilakukan sembunyi-sembunyi. Berboncengan dengan Rony, dengan gelak tawa sepanjang jalan, juga hati yang penuh. Saskia sempat sangat merindukan moment itu. Bahkan ia tidak mau pergi dengan motornya lagi karena selalu teringat Rony saat ia melintasi jalanan sendirian.

"Kia," panggil Rony ketika menyadari Saskia hanya terdiam.

"Ron, gue ke depan dulu," Saskia bangkit dari duduknya kemudian melangkah meninggalkan Rony yang kebingungan.
Sesaat kemudian ia kembali membawa satu tas berwarta coklat.

"Tadi gue pesen burger. Karena lo kabarin mau ke sini yaudah gue pesen dua aja. Gak enak makan sendirian," ucap Saskia sembari mengeluarkan dua buah hamburger lengkap dengan kentang goreng dan minuman sodanya dari dalam tas.

"Thank you Ki," sahut Rony.

Saskia melangkah menuju pantry yang terletak di sebelah kanan ruang studio itu. Mengambil piring dan pisau di dalam kabinet coklat di atas kepalanya.
Kemudian ia kembali. Saskia memotong hamburgernya menjadi dua.

"Masih aja," gumam Rony. Sudah dipastikan setengah hamburger Saskia akan mendarat dalam perutnya. Gadis itu ternyata belum berubah.

Saskia memamerkan deretan giginya, "Gak akan habis, Ron," ucapnya.

"Selama gue gak ada, kemana perginya setengah dari makanan lo?" tanya Rony setelah meneguk minuman sodanya.

"Ya tergantung siapa yang nemenin gue makan," ucap Saskia dengan mulut yang masih penuh.

Rony tersenyum melihat tingkah Saskia yang masih sama. Gadis itu tidak berubah. Selalu ada saja tingkahnya yang membuat Rony kegemasan sendiri.

"Ada tempat recording juga di sini?" Rony melihat sekitar dan matanya tertuju pada satu ruangan bersekat kaca di sebelah kirinya.

Saskia mengangguk. "Biasanya gue pake buat bikin demo aja, sih," sahutnya.

"Ron, Olivia hubungin manager gue beberapa hari yang lalu. Dia minta gue buat duet lagi sama lo. Dia ada ngabarin lo soal ini?" Tanya Saskia menyebut nama produser dari perusahan yang manaungi mereka itu.

Rony menjawab dengan anggukan. Sehari setelah pihak label menghubunginya, ia sudah diberi tahu kalau kemungkinan akan diduetkan lagi dengan Saskia. Banyak orang yang merindukan duet mereka.

"Tapi, Ron. Gue kurang setuju. Lebih baik lo come back dengan nama lo sendiri dulu. Bukannya gue gak mau bantuin lo. Tapi gue gak mau lo dibilang ngedompleng nama doang."

Rony mengangguk. Sebenarnya itu juga yang ia pikirkan selama ini. Ia ingin kembali dengan karyanya sendiri meski ia juga teramat ingin berkolaborasi dengan pasangan duet terbaiknya itu.

"Gue juga bilang ke Oliv, tunggu lo keluarin dua sampai tiga single lagi baru kita pikirin projek duet lagi. Gue mau lo besar karena nama lo sendiri, Ron. Masalah lagu, gue masih simpen lagu-lagu yang kita tulis dulu. Gue bisa bantu lo bikin demonya secepatnya."

Rony takjub. Ia tidak menyangka meskipun telah menorehkan kekecewaan yang mendalam di hati gadis itu, nyatanya Saskia masih menyimpan karya-karya mereka yang belum terealisasikan.

"Ki, lo inget gak dulu gue pernah nyatain perasaan gue ke lo?"

Saskia menengok ke arah laki-laki di sebelahnya saat mendengar pertanyaan itu. Rony memang pernah menyatakan perasaannya pada Saskia. Namun sehari setelahnya, Rony pergi meninggalkan Saskia entah kemana.

"Gue gak bohong saat itu, Ki. Selama tiga tahun ini perasaan gue juga gak berubah. Gue selalu menunggu hari saat gue ketemu lo lagi dan ngasih tau lo untuk kedua kalinya kalau gue mencintai lo, Ki," Rony menyentuh jemari Saskia yang sedari tadi berada di atas bantal sofa yang dia pangku.

Saskia bungkam. Suhu dalam studio seketika terasa menurun baginya. Ia mendadak mengigil. Sekejap kemudian, ia menarik tangan yang Rony genggam. Ia tidak ingin terjebak lagi oleh perasaannya sendiri. Ia tidak tahu sampai kapan Rony akan tinggal di hidupnya.

"Ron, kita profesional aja ya. Jangan bawa-bawa perasaan," ucap Saskia tegas.

Rony mengangguk dengan raut kesedihan di wajahnya yang berusaha ia tutupi. Mungkin saat itu terlalu cepat baginya untuk menyatakan isi hatinya lagi mengingat ia baru saja kembali dan gadis itu pasti butuh waktu.

"Sorry, Ki."

Saskia tidak menjawab. Ia lebih memilih menghitung sisa kentang di atas piringnya untuk mengalihkan pikirannya yang mulai riuh. Segalanya tidak mudah untuk Saskia. Ia kembali harus menghadapi orang yang susah payah ingin ia hilangkan dari hatinya dulu. Orang yang membuatnya enggan membuka hati karena takut ditinggalkan lagi.

****

I hope you like this part

**tinggalin vote dan komen untuk cerita ini juga ya**

Thank you.

Masih AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang