Bagian Tiga Puluh Empat

5.3K 310 7
                                    

Saskia melempar ponselnya kasar ke atas tempat tidur. Badannya gemetar hebat. Tubuhnya melorot, terkulai lemas di lantai dengan rasa cemas yang menggerogoti jiwanya. Sebuah pesan WhatsApp diterimanya lagi. Dari nomor yang tidak ia kenal. Beberapa hari lalu ia menerima pesan dari nomor yang berbeda. Sebuah pesan yang mampu membuatnya ketakutan sepanjang hari.

Pesan itu berisi sebuah video sekali lihat. Video yang membuat Saskia cemas bukan main. Takut pada semua tempat yang ia kunjungi, takut pada ruang kosong, takut sendirian. Pesan itu juga mampu membuatnya merasa tidak lagi utuh.

Saskia kembali menangis, melihat tubuh polosnya terekam kamera membuatnya merasa tidak lagi berharga. Artinya ada seseorang yang telah melihat tubuhnya, artinya bisa saja suatu saat nanti semakin banyak orang yang bisa melihat video itu. Saskia tidak membalas pesan berisi dua video yang memamerkan tubuhnya saat berganti pakaian itu, ia terlalu syok dan ketakutan. Ribuan skenario buruk menari-nari di kepalanya membuatnya semakin tidak karuan.

Ketukan pintu kamarnya membuat Saskia mengangkat kepalanya yang tertunduk. Ia melangkah mendekati pintu.

"Mbak Saskia, ada Mas Rony di depan," suara Mbak Wiwit tertangkap telinga Saskia di balik pintu kamar.

"Mbak, tolong bilang sama Rony aku lagi mau sendiri dulu ya," sahut Saskia. Gadis itu tidak ingin bertemu siapapun sekarang. Ia ingin memahami situasi terlebih dahulu.

Mbak Wiwit berjalan menjauhi kamar Saskia, menemui Rony yang duduk gelisah di ruang tengah. Semanjak pulang dari Makasar, ia belum bisa menemui Saskia, gadis itu tidak pernah membalas pesannya dan sama sekali tidak mau menemuinya.

"Mbak Saskia masih belum mau ketemu, Mas katanya masih mau sendiri dulu," ucap Mbak Wiwit.

Rony mengusap wajahnya sembari menghembuskan nafas kasar. Ia belum mengerti apa yang terjadi sebenarnya pada Saskia. Padahal, sesaat sebelum matanya terlelap di bandara tempo hari, Saskia masih baik-baik saja. Rony yakin sesuatu terjadi pada gadis itu, hanya saja ia tidak tahu apa itu.

Meminta Sivia membujuknya juga sia-sia. Biasanya gadis itu bisa dengan mudah membujuk Saskia, namun kali itu berbeda. Dua hari belakangan Sivia juga bolak-balik ke rumah Saskia untuk meminta gadis itu menemuinya, namun Saskia tetap bergeming. Ia sama sekali tidak menampakan dirinya pada teman-temannya.

"Kia, gue mohon lo jangan kaya gini, kalau ada masalah, ayo kita hadapin bareng-bareng, gue siap bantu lo. Jangan siksa diri sendiri Ki, lo harus sehat demi tour lo. Lo udah mimpiin ini sejak lama kan? Kalau lo sakit tour lo gimana?" Rony berseru di depan kamar Saskia meski ia tidak tahu gadis itu bisa mendengarnya atau tidak, setidaknya ia kembali berusaha membujuk Saskia.

"Kalau gak mau cerita gak apa-apa Ki, tapi lo makan ya. Gue mohon jangan sakiti diri lo," lirih Rony. Hatinya perih, sungguh perih mendengar kabar dari Mbak Wiwit kalau Saskia masih belum mau keluar kamar. Makanan yang dikirimkan untuknya tidak pernah disentuh oleh perempuan itu sejak ia pulang dari Makasar.

"Ki, gue akan terus berdiri di sini sampai lo mau makan," ucap Rony lagi meski tidak kunjung mendapat respon dari Saskia.

Suara pintu terbuka terdengar, membuat Rony mengangkat kepalanya yang tertinduk. Senyumnya merekah sejenak akhirnya Saskia mau membukakan pintu untuknya. Namun, ketika melihat wajah Saskia, senyuman itu memudar, refleks ia memeluk tubuh Saskia yang terlihat ringkih itu. Saskia bergeming, tidak bergerak sama sekali dalam dekapan Rony.

"Lo makan ya, gue mohon," ucap Rony lembut.

Saskia menggeleng.

"Jangan gini Ki, nanti lo sakit. Minggu depan kita harus ke Surabaya," ucap Rony sembari mengelus puncak kepala Saskia.

Masih AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang