Bagian Empat Puluh Empat

6.1K 384 10
                                    

Saskia mengetuk brutal pintu apartment Devan. Disebelahnya ada Sivia yang ikut-ikutan. Double trouble untuk pintu malang itu, juga untuk pemiliknya. Dua gadis bar-bar datang berbarengan.

Devan membukakan pintunya dengan lunglai. Tidak ada marah-marah seperti biasanya. Ia lesu, tidak bersemangat.

"Lemah kau," ledek Sivia melihat kondisi Devan berharap sahabatnya itu panas dan segera kembali normal.

"Mau ke luar negeri kok lemes, dasar Devan," Saskia menimpali.

Saskia melihat koper berantakan di lantai, barang-barang Devan masih berserakan, nampaknya ia tengah packing sebelum dua gadis itu datang.

"Ki, gue masih marah sama lo ya. Gak usah so asik," ucap Devan pada Saskia.

"Maaf Devan, gue waktu itu takut mau cerita. Takut lo marah-marah. Takut lo jauhin gue juga," Saskia merangkul pundak Devan, memohon pengertian dari sahabatnya itu.

"Intinya lo lebih percaya Rony kan?" tukas Devan. Ia masih sangat kesal pada Saskia yang tidak bercerita apapun soal masalah yang dia hadapi, Devan justru mendengarnya dari Rony bukan dari mulut Saskia sendiri.

"Van, gue gak mau pikiran lo jadi bercabang. Lo lagi reading, harus fokus kan? Belum lagi lo bilang mau ke Jerman, gue gak mau bikin lo kepikiran."

"Yaudah sih, Van. Saskia ada benarnya juga. Dia gak mau fokusmu keganggu," lerai Sivia. Gadis itu lelah melihat perdebatan kedua sahabatnya. "Sekarang, kenapa muka kau kusut gini?" tanya Sivia pada Devan.

"Biasanya kalau mukanya gini, dia lagi berantem sama adindanya, Vi," sahut Saskia.

"Iya, Van? Kau berantem lagi?"

Devan mengangguk lemas. Permasalahannya dengan Aisha kali ini lumaian pelik, ditambah mereka harus LDR nanti.

"Kenapa?" tanya Sivia.

"Dia cemburu sama lawan main lo lagi?" tebak Saskia.

"Bukan."

"Terus kenapa? Cerita lah mumpung kita disini, siapa tahu kita bisa ngasi lo gambaran dari perspektif perempuan," ucap Sivia.

Devan menarik nafas berat, sembari merapikan barang-barang yang berantakan. Saskia membantunya melipat pakaian.

"Kemarin gue gak sengaja pergokin dia jalan sama cowok di mall."

Saskia dan Sivia saling tatap. Mereka masih bungkam, menunggu kelanjutan cerita Devan.

"Dia gak bilang ke gue kalau mau keluar sama cowok. Dia bilangnya ramean, tapi gue gak lihat tuh ada temen-temennya yang lain. Gue keburu emosi, jadi gue marah-marah di depan banyak orang. Aisha ikut marah karena gue gak bisa nahan emosi."

"Lo udah denger penjelasannya dia?" tanya Saskia.

"Itu dia masalahnya. Gue keburu emosi, gue ngerasa dibohongin, gak dihargain. Gue tutup telinga gak mau denger penjelasan dia. Terakhir dia bilang dia kecewa sama gue."

Devan mengusap wajahnya. "Gue rasa dia bakal ninggalin gue sekarang. Apalagi kita mau LDR, gue gak tahu harus apa. Gue telpon gak diangkat, chat gue gak dibalas."

"Kasi dia waktu dulu, Van. Tapi jangan kelamaan, kalian harus ngobrol sebelum kau berangkat."

Devan mengangguk, ia telah memikirkan itu sebelumnya. Tidak mau kehilangan Aisha, namun egonya sebagai lelaki juga terlalu tinggi. Ia kecewa karena merasa tidak dihargai, tapi ia juga menyesal telah memarahi gadisnya di depan umum.

"Kalau menurut gue, lo salah karena gak bisa kontrol emosi, gak ngasih kesempatan Aisha buat jelasin, tapi Aisha juga salah gak ngaabarin lo kalau dia mau jalan sama temennya. Ya intinya kalian berdua harus sama-sama minta maaf. Turunin ego jangan merasa benar sendiri," tutur Saskia, Sivia mengangguk setuju. Devan mengusap wajahnya kasar.

Masih AdaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang