12
[First Kiss]***
Aku terbangun didalam Limousine dengan Almer disampingku. Ia menggenggam tanganku erat sembari mengelus rambutku lembut. Kupandangi ekspresi wajahnya yang menatapku dengan khawatir.
"Kita dalam perjalanan kembali ke mansion. Aku sudah menghubungi dokter untuk segera memeriksa kondisimu," ucap Almer sembari meremas tanganku pelan.
"Kenapa kau menyetir lama sekali?! Kau tidak tahu Elisa butuh penanganan dokter?!" Almer memarahi sopir yang senantiasa duduk di kursi kemudi dengan lantang. Menyebabkan kecepatan mobil yang bertambah dua kali lipat lebih cepat.
"Maafkan aku telah membuatmu takut. Tidak seharusnya kamu melihat kekerasan yang kulakukan pada mantan tunanganmu itu," ia menggeser tempat duduknya lebih dekat padaku. Membenamkan kepalaku pada dada bidangnya. Membuatku dapat mendengar debaran jantungnya yang begitu cepat.
Seketika ingatan tentang peristiwa penuh darah itu kembali menghiasi pikiranku. Pesta pertunangan mantan tunanganku yang berakhir dengan begitu menyeramkan. Bisakah aku menggambarkannya demikian? Sebab memang kata itulah yang cocok menggambarkan perasaanku sekarang.
"Ba-bagaimana keadaan Henry?" Ucapku yang seketika merubah ekspresi Almer. Kekhawatiran tentang keadaanku masih terlihat di raut wajahnya yang tegang, namun ada sebersit amarah yang kurasakan hinggap kala aku menyebut nama lelaki itu dihadapannya.
"Lupakan dia. Jangan pikirkan lelaki itu. Sekalipun dia mati, jangan peduli lagi," Almer berucap dengan mengalihkan pandangannya keluar jendela.
Aku tahu maksud perkataannya. Ia marah, sebab aku justru lebih mengkhawatirkan Henry dari pada keadaannya. Kulihat jemari tangan Almer yang masih menghias darah lelaki itu. Tangan yang digunakan untuk memukul habis Henry, hingga lelaki itu sekarat. Darah pada pakaiannya mulai mengering dengan begitu mengenaskan.
"Apa yang terjadi dengannya?" Tak memperdulikan perkataan Almer, aku terus menerus menanyakan perihal Henry. Peristiwa terakhir yang kulihat sebelum kegelapan menyelimuti adalah ia yang di todong senapan oleh puluhan bahkan ratusan polisi. Membuatku bergidik ngeri membayangkan keadaannya.
"Sekali lagi kau menanyakan keadaan lelaki itu, akan kuhabisi nyawanya sekarang juga." Amarah jelas-jelas telah menguasai hati dan perasaan Almer. Membuatku tak sanggup lagi untuk membuka kata. Ucapannya bukan hanya sekedar bualan. Aku tahu ia lebih dari sekedar sanggup untuk membunuh Henry detik ini juga dimana dan kapanpun ia berada.
Seketika aku terdiam. Terlalu takut bersuara. Takut jika perkataanku hanya akan menimbulkan amarah yang lebih besar dalam dirinya.
Aku terlalu bingung dan kalut untuk menggambarkan ucapan yang akan keluar dari mulutku. Ingin rasanya menanyakan keadaannya yang saat ini justru terlihat jauh lebih mengenaskan dari pada diriku.
Ada darah menghiasi wajah Almer. Sudut bibirnya terluka. Begitupun dengan tangan kanannya yang ia gunakan untuk terus menerus menghajar lelaki itu. Kemeja putih yang tersembunyi dibalik jas hitamnya penuh dengan darah yang jelas-jelas milik Henry. Walaupun begitu, ia jauh terlihat baik-baik saja jika dibandingkan dengan Henry.
Aku tak perlu menanyakan keadaannya yang sudah jelas terlihat hanya luka kecil bagiku. Maka dari itu, aku terus menerus menanyakan tentang keadaan Henry. Sudut kecil hatiku begitu kalut. Membayangkan bisa saja Henry meninggal akibat Almer yang telah menghajarnya tanpa ampun.
"Henry, dia-"
"Elisa, jangan sebut namanya lagi dihadapanku. Jika kau tak ingin dia berakhir tewas dipenjara detik ini juga." Almer menggeram sembari berucap.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Obsession (Tamat)
RomansJika orang lain menganggap obsesi adalah hal negatif, maka jauh berbeda untuk Almer. Ia terobsesi dengan Elisa. Dan melalui cerita ini, akan ia tunjukkan sebuah obsesi baru yang penuh cinta dan ketulusan. _____ Elisa Jasmine selalu berharap bahwa ke...