22
[Intention]***
Elisa memutuskan untuk menginap di tempat Kevin yang ternyata adalah sebuah apartemen kecil tak jauh dari pusat kota. Ia tak punya pilihan lain lagi. Sebab akses untuk menghubungi Almer sangat sulit. Melihat betapa ketatnya penjagaan untuk informasi pribadi lelaki itu.
Elisa bahkan telah meminjam ponsel Kevin untuk berselancar di dunia internet. Berharap sedikit saja memiliki cela untuk bisa memberi kabar pada siapapun bawahan Almer, agar segera menjemputnya dari tempat ini. Namun berapa lamapun Elisa melakukannya, nampaknya hal tersebut terasa begitu mustahil dilakukan.
Seorang CEO William Company tidak akan semudah itu membocorkan informasi pribadinya di dunia maya. Sekecil apapun.
"Huh... Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tahu Almer pasti akan marah besar. Sekarang ia pasti sudah mengerahkan seluruh bawahannya untuk mencariku."
Ucapnya sembari mengeringkan rambutnya yang basah. Langkah kakinya ringan. Keluar dari kamar mandi seraya duduk diatas ranjang dengan ekspresi sedih.
"Tapi... Bisa saja Almer justru tidak lagi peduli padaku. Mengingat sikapku yang sudah sangat mengecewakan perasaannya. Ah, sudahlah. Sekarang yang kubutuhkan adalah makan. Perutku lapar sekali."
Elisa keluar dari kamar. Pandangannya menyeluruh menatap ruangan apartemen, mencari sang pemilik. Kevin terlihat tengah berada di dapur. Ia membelakangi Elisa yang saat ini tengah melangkahkan kaki mendekat.
"Apa yang kau lakukan?" Ucapnya seraya berdiri disamping Kevin.
"Ah, a-aku sedang memasak makanan untuk sarapan."
Elisa melihat tangan terampil Kevin yang tengah membuat spaghetti. Terlihat sangat menggiurkan bagi perut laparnya yang meronta-ronta meminta makan.
"Kalau begitu akan aku bantu."
Lantas tanpa perlu komando lagi, Elisa memotong beberapa sayuran untuk menjadi pelengkap makan malam mereka kali ini.
Spaghetti Aglio e Olio dengan secangkir lemon tea telah terhidang diatas meja. Elisa memakannya dengan lahap. Sementara Kevin hanya mematung di tempat duduknya. Melihat Elisa dengan sorot ketakutan yang begitu terlihat di ekspresi wajahnya.
Melihat hal itu, Elisa hanya bisa mengeluarkan napas kasarnya dengan berat.
"Aku tahu sikapku sudah sangat keterlaluan padamu. Tidak seharusnya aku berbuat berlebihan dengan membentakmu. Maafkan aku, Kevin."
Ucapan tulus Elisa seketika berhasil membuat Kevin tersenyum cerah. Melihat itu, Elisa menjadi tertawa pelan. Ekspresi Kevin saat ini terlihat sangat mirip dengan anak kecil berusia 5 tahun yang begitu bahagia mendapat permen dari Ibunya.
"Jadi kuharap, kau tak perlu lagi menatapku takut seperti itu ya? Sekali lagi, aku minta maaf."
"T-tidak apa-apa."
"Dan kumohon, berhenti bersikap gugup padaku. Aku tidak akan marah dan bersikap berlebihan lagi padamu. Kumohon."
"Baiklah."
Elisa tersenyum dan melanjutkan makannya yang tertunda.
"Bagaimana bisa seorang lelaki sepertimu pandai memasak, Kevin?"
"Memasak adalah salah satu caraku menghemat uang ditengah mahalnya biaya hidup di kota."
Ah, selain punya IQ rendah Kevin ternyata juga miskin rupanya.
Ucapan Kevin seketika membuat kesadaran dalam diri Elisa terhentak hebat. Lelaki ini, seperti dugaan awalnya, bukanlah sosok kaya raya yang selama ini ia temui dalam kehidupan tiap tokoh novel didalam dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Obsession (Tamat)
Roman d'amourJika orang lain menganggap obsesi adalah hal negatif, maka jauh berbeda untuk Almer. Ia terobsesi dengan Elisa. Dan melalui cerita ini, akan ia tunjukkan sebuah obsesi baru yang penuh cinta dan ketulusan. _____ Elisa Jasmine selalu berharap bahwa ke...