25 [Slave of Love]

2.5K 90 3
                                    

25
[Slave of Love]

***

"Untuk sementara waktu, tanggung jawab Almora Company yang ada di Kanada kuserahkan padamu, Mr. Alford."

Almer berjabat tangan dengan lelaki dihadapannya ini. Tak lama ia berjalan keluar ruangan dengan tangannya yang melingkar di pinggang ramping Elisa.

Alford memandang kepergian Elisa dan Almer penuh haru. Ia menjadi saksi bagaimana kedua anak itu tumbuh dewasa dengan permasalahan pelik yang melatarbelakanginya.

Perusahaan yang ada di Kanada selama ini ada dalam tanggungjawabnya. Sementara perusahaan yang ada di New York sepenuhnya tanggung jawab Elisa yang saat ini dipegang oleh Almer.

Keduanya memasuki lift dengan senyum yang menghiasi wajah cerah mereka. Elisa tak pernah merasakan langkah kakinya seringan ini sebelumnya. Begitu pula dengan Almer. Tak pernah ia tersenyum selebar ini.

Sepertinya ide Elisa untuk berdamai dengan masa lalu, merupakan hal terpenting yang seharusnya sudah keduanya lakukan bertahun-tahun silam. Setidaknya, tidak akan ada drama yang melibatkan Henry dan keluarga Thomas dalam hidup Elisa selama ini. Andai seperti itu.

Ya, andai adalah sebuah kata terburuk yang bisa manusia ucapkan.

Ting!

Bunyi lift terbuka menyadarkan Elisa dari lamunan. Almer dengan lembut menggandeng tangannya memastikan Elisa keluar dari lift dengan hati-hati. Mereka disambut dengan banyak pasang mata yang memandang kehadiran keduanya penuh minat.

Elisa menyunggingkan senyum tipis seraya membalas genggaman Almer dengan lembut. Lalu tatapannya tiba-tiba beralih. Ia menatap tidak suka para pegawai wanita yang melihat Almer bagai santapan empuk untuk menghangatkan ranjangnya.

Elisa benci mengakui bahwa ketampanan Almer memancar begitu cerah, walau dengan wajah sembab dan mata bengkak sehabis menangis. Rambut acak-acakannya justru terlihat menggoda. Nampaknya Almer diciptakan sempurna, tanpa cela untuk terlihat jelek sekalipun.

"Berhenti tersenyum seperti itu, Almer."

"Kenapa?"

"Kau terlihat jelek." Elisa mendengus sambil berusaha meraih lengan Almer agar lebih dekat dengannya.

Sementara Almer yang mendapat perlakuan tak biasa dari Elisa hanya bisa tersenyum pongah.

"Baru pertama kali ini aku mendengar ada orang yang mengatakan aku jelek."

"Baguslah. Karena kau memang jelek ketika tersenyum."

"Apa lebih baik aku memanyunkan bibir saja?" Almer mendadak memajukan bibirnya. Membuat degup jantung Elisa berdebar hebat. Ia tiba-tiba teringat dengan ciuman hangat mereka didalam ruangan beberapa saat lalu. Bibir ranum Almer nampak begitu menggoda bagi Elisa.

Terdengar cekikikan para wanita yang melihat ekspresi Almer saat ini. Bahkan Elisa bersumpah mendengar banyak dari mereka yang memuji ketampanan Almer terang-terangan. Membuat Elisa melotot seraya merangkum wajah Almer dengan kedua tangannya tiba-tiba.

"A-apa yang kau lakukan, Almer?"

"Bagaimana, apa aku tampan kalau manyun seperti ini?"

"Kau terlihat bodoh. Jangan lakukan itu lagi."

Almer hanya mampu membalas ucapan galak Elisa dengan tawa renyah yang seketika meledak hebat. Membuat para wanita itu lagi-lagi memandang Almer terkesima. Kali ini bukan karena senyuman, namun karena tawa lelaki itu yang justru terlihat jauh lebih mempesona.

The Perfect Obsession (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang