43
[Midnight Memory]***
"Apa dia sudah mati?" Ucapan tajam Almer membuat seisi dokter dalam ruangan berhenti bernapas untuk beberapa saat.
Melihat seluruh rekan sejawatnya yang nampak mendadak membisu, Dokter Zayn memutuskan untuk bersuara, "tuan Almer, sesuai seperti yang anda perintahkan kemarin. Kami menjaga pasien ini agar tetap hidup. Kondisinya masih kritis. Kami prediksi ia akan mengalami masa kritis dalam beberapa waktu kedepan. Mengingat betapa besar luka yang ia dapatkan. Namun, tuan tenang saja. Pasien menunjukkan kemajuan pesat untuk presentase kesehatannya."
Ucapan dokter Zayn memang terdengar sangat membahagiakan. Layaknya dokter pada umumnya yang mendoakan keselamatan dan kesehatan selalu untuk sang pasien. Namun bukan itu jawaban yang Almer inginkan.
Lelaki itu menggeram seraya menatap tajam sosok Zayn dihadapannya. Lelaki tua dengan uban disepanjang rambut itu seketika berdiri dengan tubuh bergetar ketakutan. Begitu juga dengan jejeran dokter lainnya yang kompak menundukkan kepala. Tanpa ada satupun yang berani bersitatap dengan tuannya itu.
"Kalian bisa membuatnya tetap sekarat sampai Minggu depan?"
Puluhan dokter yang mendengar ucapan itu seketika dirundung perasaan gelisah tak karuan. Sumpah dokter yang mereka jalani, jelas bertentangan dengan perintah tuannya. Namun jika mereka berani melanggar ucapan Almer, maka bukan hanya masa depan yang terancam, kelangsungan hidup mereka bisa jadi berhenti detik itu juga.
"Buat dia sekarat dan merasakan hidup diambang kematian. Setidaknya sampai tujuh hari kedepan. Aku tidak ingin mendengarnya berhasil melewati masa kritis sampai hari itu tiba." Almer keluar setelah melepaskan sejumlah kalimat menyesakkan bagi para dokter itu.
"Ah, satu lagi."
Dokter Zayn dan seluruh rekan sejawatnya sekali lagi, menghentikan napas mendengar suara Almer yang tiba-tiba terdengar.
"Jika aku mengetahui keadaannya baik-baik saja sebelum seminggu terlewati, maka kupastikan kalian yang akan merasakan apa yang pasien itu rasakan. Sekarat!"
Mengabaikan ekspresi penuh keterkejutan di wajah para dokter itu, Almer keluar dari ruangan dengan langkah santai. Bertemu Jeff dan Namira yang ia tugaskan untuk menjaga Erland selama dirawat di ruangan ini agar tidak kabur. Walaupun ia sendiri dengan jelas mengetahui, dengan kondisi tubuh kritis seperti itu, mustahil bagi Erland untuk bisa melarikan diri.
Jeff dan Namira kompak menunduk memberikan salam yang hanya dibalas acuhan oleh Almer. Ia berdiri dihadapan kedua anak buahnya dengan tatapan datar, namun sangat mematikan.
"Aku tak mau mendengar kabar bahwa psikopat itu berhasil melarikan diri dari ruangan ini, setidaknya sampai Minggu depan. Jika dia kabur, maka nyawa kalian berdua taruhannya. Apa kalian mengerti?"
"Baik, tuan." Namira dan Jeff membalas kompak ucapan Almer.
"Satu lagi."
Almer menunjuk Namira dengan jarinya yang langsung membuat tubuh wanita itu seketika menegang.
"Jangan coba-coba untuk membantunya kabur, Namira. Sebab aku tak akan segan-segan untuk melukaimu, jika kau melakukan hal itu. Apa kau mengerti?"
Namira menjawab dengan anggukan, sebab rasa takut mulai menderanya hebat.
"Kau pikir aku tak tahu perasaanmu pada psikopat itu? Aku jelas bukan orang bodoh yang akan membiarkan bawahanku sendiri hidup bebas, dengan perasaan hina karena sudah mencintai musuhku."
Kejam? Tentu saja. Sebab itulah sifat Almer yang sebenarnya. Bukan hanya kelakuan kejamnya yang sudah melewati batas, bahkan perkataannya pun sudah bisa dikategorikan sebagai kekerasan. Sebab bisa melukai perasaan orang lain hanya dengan ucapannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Perfect Obsession (Tamat)
Roman d'amourJika orang lain menganggap obsesi adalah hal negatif, maka jauh berbeda untuk Almer. Ia terobsesi dengan Elisa. Dan melalui cerita ini, akan ia tunjukkan sebuah obsesi baru yang penuh cinta dan ketulusan. _____ Elisa Jasmine selalu berharap bahwa ke...