33 [The Real Antagonist]

803 41 1
                                    

33
[The Real Antagonist]

***

"Makanlah, Elizabeth. Kamu butuh tenaga untuk segera pulih dari semua luka ini."

Sheila berucap sembari menyuapi Elisa dengan sepiring bubur ditangannya.

"Maafkan aku, Mommy. Tapi aku tidak berselera."

Sheila bernapas kasar. Sedari tadi, segala usaha sudah ia keluarkan untuk membujuk agar Elisa mau memakan makanannya. Tapi tidak ada satupun yang berhasil.

"Ayolah, Elizabeth. Tubuhmu akan terasa lemas jika tidak memakan apapun."

Wanita yang saat ini terduduk diatas ranjang rumah sakit, hanya mampu menatap kosong pada jendela diluar kamar. Menunjukkan suasana pagi hari yang menenangkan.

Sheila menatap sedih raut wajah Elisa yang begitu pucat. Beberapa luka di tubuh wanita itu bahkan tak dapat lagi disembunyikan oleh perban yang ada. Betapa menyakitkannya melihat rona kemerahan yang biasanya selalu ada di kedua pipi Elisa, tiba-tiba hilang. Tergantikan dengan wajah memutih seakan tak ada lagi semangat hidup.

Sheila tak kuasa menahan tangisannya. Melihat itu, Elisa meraih tangan Sheila seraya mengusapnya perlahan. "Aku baik-baik saja, Mommy."

"Bagaimana bisa kamu baik-baik saja, sementara dari kemarin tidak ada sesendokpun makanan yang masuk dalam tubuhmu, dear."

Elisa tersenyum lirih. Dengan bibir pucatnya yang bergetar, ia kembali berbicara.

"Dimana Almer, Mommy?"

Wanita paruh baya itu seketika menghentikan tangisannya. Ia duduk dengan kaku seraya menatap Elisa cemas.

"A-almer membeli beberapa buah-buahan untukmu, sayang. Jangan cemaskan dia, okey? Sebentar lagi Almer akan kembali kesini dan kalian bisa berjumpa kembali."

Melihat kebohongan yang terpancar jelas pada ucapan wanita itu, membuat Elisa menampilkan raut wajah bersedih.

Rasa rindunya yang teramat besar pada Almer membuat nafsu makannya hilang seketika. Terutama rasa kecewanya saat membuka mata, bukan Almer yang ia lihat pertama kali. Terlepas dari itu semua, Elisa takut ditinggalkan. Ia takut berbuat salah dan berakibat Almer yang mencampakkan dirinya begitu saja.

Elisa tidak tahu saja, perbuatan yang sedang Almer lakukan saat ini.

Jika ia mengetahuinya, Elisa tidak akan pernah mampu berpikir untuk ditinggalkan.

Karena Almer tidak akan pernah melakukannya.

Meninggalkan Elisa? Adalah sebuah kemustahilan bagi Almer.

Tiba-tiba pintu kamar rawat inap Elisa terbuka. Menampilkan sosok lelaki yang tinggi menjulang dengan raut lelah di wajahnya. Menatap lurus diatas bankar rumah sakit tempat Elisa merebahkan diri.

Dengan langkah cepat, Almer meraih Elisa dalam pelukannya. Sheila diam-diam keluar dari ruangan itu. Memberi waktu pada keduanya untuk melepas rindu dan kesalahpahaman yang terjadi.

"Maaf."

Almer terus menerus menggumamkan kata maaf. Membuat Elisa tak kuasa menahan tangis dan sesak dalam hatinya.

"Kenapa meninggalkanku tanpa kabar? Tak menghubungi sama sekali. Aku seperti seorang kekasih yang dicampakkan begitu saja."

"Maafkan aku, sayang."

Almer membenamkan kepalanya pada ceruk leher Elisa. Menghirup dalam-dalam aroma menenangkan yang tercipta dari harum tubuh wanita itu.

"Kenapa tidak ada saat aku bangun? Apa pekerjaanmu begitu penting hingga melupakanku?"
"Rasanya sakit, Almer. Tubuhku remuk tak bertenaga. Sakit semua."

The Perfect Obsession (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang