4. Tempramental yang parah

328 40 5
                                    

Blaze mendorong Ice sampai punggungnya menempel ke tembok. Blaze mencekik Ice karena marah, sikap tempramental Blaze muncul lagi.

Ice terdiam, tak mampu berkata apa-apa. Matanya melotot ketakutan, dadanya sesak karena cekikan Blaze semakin kuat. Air mata mulai mengalir di pipinya.

Tiba-tiba, seseorang menarik Blaze menjauh dari Ice. Blaze menoleh dengan tatapan tajam.

“Apa yang kamu lakukan?” tanya orang itu.

“Gempa, tolongin aku,” kata Ice dengan suara bergetar. Gempa mengangguk.

Blaze melepaskan cengkeramannya dari leher Ice. “Dia ceroboh! Dia numpahin kuah bakso ke tangan Gue!” bentak Blaze.

Gempa menatap Ice dengan tatapan prihatin. “Maafkan dia, Blaze. Dia pasti tidak sengaja,” kata Gempa dengan tenang.

Ice mengangguk dengan cepat. “Maaf, Blaze. Aku benar-benar tidak sengaja,” ucapnya dengan suara gemetar.

Blaze mendengus kesal. “Udahlah, pergi sana!” bentaknya pada Ice.

Ice segera berlari ke arah kelas, tak ingin berlama-lama di dekat Blaze saat ini. Gempa menatap Blaze dengan tatapan kecewa.

“Kenapa kamu bersikap kasar seperti itu?” tanya Gempa.

Blaze mengalihkan pandangannya. “Dia menyebalkan,” gumamnya.

“Berhentilah merundung Ice!” seru Gempa.

“Tidak mau,” balas Blaze sebelum pergi mencari Ice, padahal dia sendiri yang menyuruh Ice pergi.

Ice melangkah ke dalam kelas dengan perasaan campur aduk. Tubuhnya masih gemetar karena ketakutan setelah kejadian di belakang sekolah, dia merasa sesak.

Ketika matanya melihat Blaze, Ice langsung menunduk, mengalihkan pandangannya ke meja. Blaze duduk di bangkunya, di samping Ice, lalu mencengkram erat pundak Ice.

Blaze mendekat pada teman sebangkunya. “Urusan kita belum selesai,” bisiknya pada Ice.

Ice hanya diam membisu, rasanya dia semakin takut. Setelah itu, Gempa kembali ke dalam kelas, beberapa menit kemudian guru kelas X datang dan melakukan kegiatan belajar mengajar.

Bel pulang sekolah berbunyi, Ice segera lari keluar dari kelasnya.

“Tunggu!” teriakan dari Blaze membuat Ice refleks menghentikan larinya karena takut.

Ice menoleh ke arah Blaze dengan rasa was-was. Blaze berjalan menghampiri Ice dengan tatapan tajam.

“Kamu mau apa?” tanya Ice.

“Mau pergi bareng Gue?” ajak Blaze.

Ice mengerutkan dahinya, bingung dengan perubahan sikap Blaze yang tiba-tiba. “Pergi ke mana?” tanyanya.

“Pulang,” jawab Blaze singkat.

Ice masih ragu. “Aku mau pulang sendiri aja,” ucapnya pelan.

“Pulang sama gue!” bentak Blaze sambil menarik tangan Ice.

Ice berusaha melepaskan pegangan Blaze, tetapi Blaze semakin kuat menariknya. Ice terhuyung-huyung mengikuti Blaze yang berjalan dengan langkah lebar.

Ice mengikuti Blaze yang mengambil sepedanya di pagar belakang sekolah. Dia naik di belakang, lalu Blaze mengayuh sepedanya dengan cepat menuju rumah Ice.

“Turun!” seru Blaze.

“Makasih,” kata Ice sebelum lari ke dalam rumahnya.

Ice membuka pintu rumahnya dengan perasaan bingung. Dia tidak menyangka Blaze mengantarnya pulang, padahal dia selalu merundungnya selama beberapa hari ini.

Di dalam rumah, Ice disambut oleh pemandangan mamanya yang sedang duduk di sofa sambil menonton televisi. Mamanya tidak pernah menunjukkan kasih sayang kepada Ice. Bahkan, dia sering memarahi Ice.

“Ice, kamu pulang lama sekali!” bentak mamanya. “Cepat ganti baju dan bersihkan rumah ini!”

Ice menelan ludah dengan gugup. Dia tidak berani membantah perintah mamanya. Dia segera ke kamarnya untuk mengganti baju dan membersihkan rumah.

Ice menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dia ingin segera beristirahat karena dia merasa trauma setelah kejadian dengan Blaze di sekolah.

Ice pergi ke kamarnya dan merebahkan diri di tempat tidurnya. Dia menutup matanya dan mencoba untuk melupakan semua kejadian hari ini.

Di sisi lainnya Blaze pulang ke rumahnya dengan cepat, hari ini dia istirahat bekerja karena ibunya meminta bantuan untuk memasak makanan yang akan dijual ke pasar pada hari minggu.

“Bagi duit lagi!” bentak sang ayah pada Blaze.

Blaze yang sedang membantu ibunya memasak sampai terkejut dan menumpahkan sedikit nasi ke lantai.

“Ayah, hari ini Blaze nggak kerja setelah pulang sekolah,” jawab Blaze.

“Pokoknya Gue nggak mau tahu, Lo harus ngasih duit ke Gue!” bentaknya.

Ketika Blaze ingin membalas ucapan sang ayah, tiba-tiba ibunya datang dan memberikan uang pada suaminya.

“Bunda!” teriak Blaze, dia menggeleng heran, kenapa uang tabungan ibunya malah diberikan pada ayahnya Blaze yang kasar itu.

“Nggak apa-apa Blaze,” kata ibunya dengan suara lembut.

Sang ayah mengambil uang itu dengan kasar sebelum pergi. Blaze kesal, dia memukul meja di depannya dengan keras.

“Sabar Blaze!” seru ibunya dengan panik, dia tahu jika anak-anaknya meniru sikap tempramental dari ayah mereka.

“Sabar Nak,” bisik ibunya sambil mengelus punggung sang anak.

Blaze melirik ibunya sebentar sebelum membersihkan nasi yang tidak sengaja dia tumpahkan. Besok hari minggu, Blaze jadi tidak bisa menyiksa Ice untuk melampiaskan emosinya.

“Blaze nggak mukul orang lagi kan?” tanya ibunya ketika Blaze terlihat semakin kesal.

Melihat Blaze hanya diam saja membuat sang ibu mengelus kepala anaknya.

“Jangan meniru perbuatan ayahmu!” Ibunya berusaha menasehati Blaze.

Blaze mengangguk dengan ragu-ragu. “Iya,” balasnya.

Bersambung.

Lanjut?

Tiba-tiba author inget mau hiatus, tapi author pengen namatin book sebelah dulu, jadi pastinya book lainnya nggak keurus.

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang