35. Kangen.

198 46 106
                                    

"Woi, Blaze! Ngapain aja lo di kamar? Keluar sini, bantuin gue ngangkat belanjaan!" seru Halilintar lantang sambil membawa beberapa kantung plastik berisi makanan.

Blaze yang sedang asyik bermain game langsung menoleh. "Bentar, Bang! Lagi seru nih!"

"Daripada main, mendingan bantuin gue!" Halilintar meletakkan kantung belanjaan di meja di dapur lalu berjalan menuju kamar Blaze.

Melihat Blaze yang masih asyik dengan gamenya, Halilintar menghela napas. Ia mengacak-ngacak rambut adiknya itu dengan gemas. "Dasar nakal!"

"Aw, Bang! Sakit!" rengek Blaze.

"Cepetan keluar, atau gue hapus semua save game lo!" ancam Halilintar.

Blaze langsung berlari keluar kamar. "Jangan, Bang!"

"Jangan lupa besok lo gak boleh bully Ice lagi Blaze, ajakin dia main!" teriak Halilintar dari kejauhan.

Solar yang melihat interaksi antara Halilintar dan Blaze hanya memasang ekspresi datar. Ia kembali fokus pada televisi, seakan tidak ada yang terjadi di sekitarnya.

...

Malam itu, suasana kos terasa begitu sunyi. Hanya suara jarum jam yang berdetak dan hembusan angin malam yang menembus jendela kayu yang menjadi teman setia Solar. Ia tengah asyik membaca buku di sofa kecil dekat jendela, ketika tiba-tiba terdengar ketukan pelan di pintu.

Solar mengernyit heran. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Siapa yang akan datang di jam segini? Dengan langkah malas, ia berdiri dan berjalan menuju pintu. Ketika membukanya, Solar terkejut bukan main. Di hadapannya berdiri seorang pemuda dengan wajah yang sangat mirip dengannya.

"Duri?" gumam Solar tak percaya.

Duri, kembaran identiknya itu, hanya tersenyum tipis. Ia langsung memeluk Solar erat. "Lama nggak ketemu, Solar."

Solar terdiam beberapa saat, kaget dengan kedatangan Duri. Pelukan Duri terasa asing, seperti sentuhan dari orang yang baru dikenalnya. Solar membalas pelukan itu dengan canggung, lalu melepaskan diri.

"Kenapa lo tiba-tiba ke sini?" tanya Solar, suaranya datar.

Duri tersenyum masam. "Kangen. Udah seminggu kita nggak ketemu."

"Baru seminggu aja kangen," kata Solar, pemuda itu menghela napas, dia menyingkir sebentar dari tengah pintu, mempersilakan sang kembaran masuk.

Duri melangkah masuk ke dalam kamar kos Solar, matanya menyapu sekeliling ruangan. Ada secangkir kopi hitam masih mengepul di atas meja kecil di samping sofa, buku yang tadi dibaca Solar masih terbuka di halaman terakhir. Duri mengambil tempat di samping Solar, memandangi wajah sang kembaran.

"Kamu berubah, Solar," ujar Duri, suaranya terdengar lirih.

"Gue nyadar kok," balas Solar sambil memaksakan senyum pada kakak kembarnya.

Di sisi lainnya terlihat Ice sedang rebahan di atas kasur sambil memijat kepalanya yang terasa pusing.

"Duh kayaknya aku kelelahan karena sering ngerjain tugas sekolahnya Blaze," gumamnya dengan murung.

Dia jadi teringat pada Blaze, kira-kira teman, ralat pembully nya itu sedang apa ya?

Ice menghela napas panjang, mencoba mengusir bayangan wajah Blaze dari pikirannya. Pemuda itu menggeliat tak nyaman di atas kasur, berusaha mencari posisi yang paling nyaman. Tiba-tiba, ingatannya melayang pada kejadian sore tadi.

Blaze dengan segala kekasarannya, ternyata cukup perhatian padanya saat Ice tak sadarkan diri tadi sore ketika hujan-hujanan di dekat kos nya Blaze.

Ice memukul-mukul pelan bantal, berusaha mengalihkan pikirannya. Dia membayangkan wajah Blaze saat itu, saat pemuda itu menatapnya dengan tatapan yang tak bisa dia artikan. Ada kekhawatiran, ada juga sedikit ... Rasa peduli? Ice menggelengkan kepala, berusaha menepis pikiran itu.

Ice memejamkan mata, mencoba untuk tidur. Namun, bayangan wajah Blaze terus menghantuinya. Dia teringat bagaimana Blaze selalu mengganggunya, bagaimana pemuda itu selalu mencari-cari kesalahannya.

Di sisi lain, Ice juga ingat bagaimana Blaze membantunya saat dia membutuhkan kambing hitam kalau Ice mendapat luka baru akibat dipukuli sang ibu. Kata kambing hitam sepertinya terlalu kasar, maksudku Blaze dengan setengah hati mau dituduh karena dia mendapatkan keuntungan pribadi dari Ice.

"Waduh, mama pasti bakal ngecek nilai ku." Ice bergumam pelan sambil mengacak surainya, pemuda itu menggigit kukunya karena panik.

"Mampus aku," gumam pemuda bernetra aquamarine itu sambil mengobrak-abrik laci meja belajarnya lalu meraih beberapa kertas hasil nilai ulangannya hanya mendapat nilai 90 keatas, tak ada yang sempurna dari nilainya.

Ice menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu dengan cepat. Tangannya gemetar hebat, keringat dingin mulai membasahi dahinya. Pikirannya kacau, berbagai skenario buruk terlintas di benaknya. Ia membayangkan bagaimana ibunya akan marah besar jika mengetahui nilainya turun.

"Aku gak boleh cengeng," gumam Ice pada dirinya sendiri, suaranya terdengar lirih. Pemuda itu berusaha bangkit dari kasur, kakinya terasa lemas. Tubuhnya gemetar hebat, pandangannya mulai kabur.

Ice merasakan sesak di dadanya, seolah ada beban berat menindihnya. Ia berusaha menarik napas dalam-dalam, udara yang masuk terasa begitu sedikit. Kepalanya terasa berputar-putar, dunia di sekitarnya seperti berputar.

"Jangan ... Jangan ...," gumam Ice lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

Ice meremas seprai kasurnya dengan erat, napasnya memburu semakin cepat. Dadanya terasa seperti diremas, setiap tarikan napasnya terasa begitu berat. Dunia di sekitarnya berputar semakin cepat, suara-suara di luar kamar terdengar semakin jauh dan samar.

Keringat dingin membanjiri tubuhnya, membuat pakaiannya lengket dan tidak nyaman. Ice berusaha merangkak ke tepi kasur, ingin mencari udara segar. Tangannya gemetar, setiap gerakan terasa begitu sulit.

"Tolong ... Tolong ...," gumamnya lirih, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk pikuk pikirannya.

Pandangannya mulai kabur, bayangan-bayangan aneh berseliweran di hadapannya. Wajah ibunya yang marah, dan nilai-nilai ulangannya yang tidak mendapat seratus bercampur aduk menjadi satu. Ice merasa tubuhnya semakin lemas, kakinya terasa seperti tidak menapak pada lantai. Ia ingin berteriak sekuat tenaga, namun suaranya seperti terjebak di dalam tenggorokan.

"Aku nggak kuat ...," gumamnya lagi

Tiba-tiba, ketukan pelan terdengar di jendela kamarnya. Ice tersentak kaget, jantungnya berdebar kencang. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela, mencoba untuk fokus pada suara itu.

Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Ice berusaha bangkit dari kasur, tubuhnya terasa sangat lemas. Ia merangkak perlahan menuju jendela, tangannya gemetar hebat lalu mengeser tirai jendelanya. Di luar, ia melihat sosok yang sangat familiar. Blaze berdiri di luar rumahnya.

"Buka!"

Meski samar-samar, Ice bisa mendengar suara Blaze, Ice ragu-ragu, benarkah itu Blaze? Dia sedang tidak halusinasi, kan? Masa malam-malam begini Blaze jauh-jauh ke rumahnya Ice? Mau ngapain dia?

"Buka jendelanya anjir!" 

Bentakan dari Blaze seketika membuat Ice buru-buru membuka jendela kamarnya.

"Nih, gue sama Bang Hali ada lebihan makanan di kos. Takut basi ntar, makan sekarang!" Blaze menyodorkan kantung plastik berisi dua bungkus makanan.

Ice menerima kantung plastik itu dengan tangan gemetar.

"Lo kenapa? Takut sama gue sampai gemeteran gitu?" Blaze menaikkan sebelah alisnya.

Ice menggeleng dengan cepat, Ice takut dengan mamanya, tapi mulutnya tak bisa mengatakan itu.

"Yaudah, makan cepetan!"

Blaze berancang-ancang naik ke jendela itu.

"E-eh mau ngapain?" Ice mundur beberapa langkah.

"Ikut makanlah anjir, lo kira gue mau maling apa?" Blaze mendengkus kesal, kakinya baru saja masuk sebelah.

Ice masih diam di depan jendela padahal Blaze sudah memasukkan sebelah kakinya dan kepalanya juga sudah masuk ke dalam.

Bersambung.

Otw, jadi temen gak sih?

Behind the Mask of a Bully (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang